TAMAN PESISIR ACEH TAMIANG DAN JALAN BERLIKU UNTUK KE SANA
Mangrove: Habitat Penting Tuntong Laut dan Udang
Pesisir Kabupaten Aceh Tamiang memiliki ciri khas populasi mangrove yang terletak di tepi pantai hingga mendekat ke pemukiman warga. Mangrove di Aceh Tamiang merupakan habitat penting bagi beberapa komoditas perikanan serta merupakan habitat pakan dan ruaya bagi kura-kura Tuntong Laut (Batagur borneonsis). Tuntong Laut adalah salah satu satwa khas serta spesies dari keluarga kura-kura yang habitat hidupnya terdapat di ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Aceh Tamiang dan habitat bertelurnya adalah wilayah pantainya. Keberadaan tuntong laut saat ini telah mengalami penurunan populasi dan hampir punah akibat kerusakan ekosistem mangrove (BPSPL Padang, 2018). Spesies telah dilindungi oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi. Spesies ini juga tergolong ke dalam kategori critically endangered (kritis terancam punah) menurut IUCN. Selain itu, spesies ini merupakan satwa yang termasuk ke dalam prioritas Sangat Tinggi (skor 95) di dalam Permenhut No.58/Permenhut/2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Nasional 2008-2018.
Perairan Aceh Tamiang merupakan salah satu kawasan penghasil induk udang windu (Penaeus monodon) yang berkualitas dan secara konsisten menjadi sumber kebutuhan induk bagi hatcheri/fasilitas pembenihan udang windu diseluruh Indonesia. Udang Windu merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjadi komoditas ekspor yang diminati pasar dunia. Selain itu udang windu Aceh dikenal sebagai salah satu udang dengan kualitas terbaik di dunia dan dikenal dengan sebutan black tiger atau tiger shrimp (Soetomo, 2000). Beberapa wilayah di Aceh Tamiang yang berpotensi dijadikan sebagai daerah asuhan udang windu seperti di Kuala Berangau, Kuala Sungai Udang, dan Kuala Peunaga. Hasil analisa menunjukkan kelimpahan tertinggi post larva udang terdapat di Kuala Peunaga (13.737 ind/1.000 m3), kuala Sungai Udang (6.362 ind/1.000 m3) (BP2KP-KKP, 2016).
Meningkatnya jumlah aktivitas manusia terhadap eksploitasi sumber daya alam menyebabkan berkurangnya potensi dan keanekaragaman hayati dan memungkinkan terjadinya kepunahan biota sebagai akibat dari kerusakan habitat. Berdasarkan hasil analisis spasial pada tahun 2017 yang dilakukan oleh WWF-Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala menunjukkan adanya penurunan luasan mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang dari tahun 2013 hingga tahun 2017 sebesar 1.342 ha. Penurunan luasan mangrove ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan penurunan luasan mangrove di daerah lain di Provinsi Aceh (WWF, 2017). Penurunan nilai luasan mangrove ini disebabkan oleh beralihnya fungsi hutan mangrove menjadi lahan sawit, tambak, dan kebutuhan bahan baku pembuatan kayu arang (BPSPL Padang, 2018).
Degradasi habitat dan lahan pada beberapa wilayah populasi mangrove di Aceh Tamiang berdampak pada populasi udang windu dan tuntong laut. Selain itu, penurunan populasi udang windu di alam juga disebabkan oleh penangkapan udang secara berlebih dengan menggunakan alat tangkap yang tidak selektif seperti pukat layang dan pukat langgih (bottom trawl) serta adanya introduksi udang vannamei yang menyebabkan masuknya virus IHHNV sehingga membuat udang windu menjadi rentan terhadap penyakit (BP2KP-KKP, 2016). Tanpa adanya upaya pengelolaan, maka akan sangat berpotensi untuk merusak keanekaragaman jenis dan ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Aceh Tamiang.
Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah
Melihat kondisi ini Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang mirintis upaya pengelolaan dimulai dengan perlindungan Tuntong Laut, ditandai dengan mengeluarkan Peraturan Bupati Aceh Tamiang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pelestarian Spesies Tuntong Laut yang kemudian pada tahun 2016 dijadikan Peraturan Daerah/ Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perlindungan Spesies Tuntong Laut. Upaya ini kemudian dilanjutkan dengan beberapa sosialisasi tentang pentingnya upaya pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman jenis, habitat dan ekosistem wilayah pesisir Kabupaten Aceh Tamiang.
Kesadaran dari masyarakat pun mulai timbul hingga pada tanggal 21 Juni 2018, Panglima Laot Kabupaten Aceh Tamiang berinisiatif mengirim surat permohonan pencadangan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang disampaikan melalui BPSPL Padang. Bak gayung bersambut, tertanggal 26 November 2018, Gubernur Aceh melakukan penetapan Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Aceh berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 523/1297/2018 tentang Penetapan Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Aceh, dimana Kawasan Konservasi Perairan Taman Pesisir Aceh Tamiang dengan luas 2.797,21 Ha termasuk di dalamnya. Pengembangan kawasan konservasi perairan ini bertujuan untuk melindungi habitat penting, spesies maupun komoditas yang ada di dalamnya, sekaligus memastikan adanya manfaat yang diperoleh masyarakat secara berkelanjutan.
Setelah pencadangan, tantangan selanjutnya adalah mendorong penetapan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Selain itu, perlu memastikan percepatan penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ), sebagai salah satu dokumen penting yang akan digunakan dalam memastikan efektifitas pengelolaan nantinya dan juga sebagai syarat penetapan KKP. Sebelum dilakukan penyusunan dokumen RPZ, tahapan yang harus dilakukan yaitu pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Penyusun Dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan serta peningkatan kapasitas tim Pokja.
Sebagai bentuk kolaborasi, WWF-Indonesia mendukung dalam pelatihan penggunaan aplikasi Miradi sebagai alat analisis non spasial dalam penyusunan dokumen RPZ, sedangkan BPSPL Padang memfasilitasi kegiatan tersebut pada 8-9 April 2019. Kegiatan ini tidak hanya diikuti oleh DKP Aceh, BPSPL Padang tetapi juga diikuti oleh beberapa DKP provinsi lain serta mitra seperti DKP Riau, DKP Jambi, DKP Kepri, DKP Sumut, LKKPN Pekanbaru, Flora Fauna International. Sehingga hasil dari pelatihan ini bisa mejadi referensi bagi pengembangan KKP di tempat lainnya.
Penyusunan Zonasi KKP3K Aceh Tamiang
Gubernur Aceh membentuk tim Penyusun Dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPZ KKP3K) di Aceh pada tahun 2019 melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 523/ 528 Tahun 2019 tentang Pembentukan Tim Penyusun Dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Aceh. SK Pembentukan Pokja menjadi acuan para pihak begerak bersama, melewati tahapan demi tahapan untuk finalisasi dokumen RPZ. Di sini, peran kemitraan begitu kental terasa. Semua pihak yang tergabung dalam Pokja memberikan dukungan berdasarkan tupoksinya. Begitu juga WWF, turut berkontribusi melakukan asistensi teknis dan pendampingan kepada DKP Aceh, BPSPL Padang dan Tim Pokja terutama dalam penyusunan RPZ KKP3K Taman Pesisir Aceh Tamiang.
Selain memberikan dukungan peningkatan kapasitas dalam analisis non spasial, WWF juga memberi dukungan dengan ikut terlibat dalam analisis spasial menggukanan aplikasi marxan dan penulisan draft dokumen RPZ KKP3K Taman Pesisir Aceh Tamiang.
Tahapan demi tahapan dilalui, dimulai dengan pengumpulan data dari semua mitra, melakukan gap analysis terkait kebutuhan data dan informasi, melakukan analisis spasial dan non spasial sampai memberikan rekomendasi pilihan scenario untuk zonasi yang didasarkan pada data ilmiah dan kondisi eksisting, melakukan verifikasi lapangan bersama masyarakat dan Panglima Laot. Proses penting lainnya yaitu melakukan pertemuan konsultasi publik untuk mendapat masukan dari stakeholder dan masyarakat setempat. Konsultasi publik ini sendiri melibatkan semua unsur yang terlibat dan terkait dari pengelolaan kawasan ini seperti : DKP Aceh, Bappeda Aceh Tamiang, DPKP Aceh Tamiang, KPH III DLHK Aceh, Universitas Samudra, Beberapa LSM lokal di Aceh Tamiang, Panglima laot Aceh Tamiang dan perwakilan nelayan dari tiap desa pesisir yang berada dalam kawasan.
Penyusunan dokumen final RPZ KKP3K Taman Pesisir Aceh Tamiang akhirnya selesai dilaksanakan. Proses penyerahan dokumen dari Tim Pokja ke DKP Aceh pun telah dilaksanakan pada tanggal 8 November 2019. Dengan dilalui tahapan-tahapan tersebut, Gubernur Aceh mengeluarkan surat permohonan penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Aceh Nomor 523/103 tanggal 6 Januari 2020 tentang Permohonan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Aceh.
Pengesahan Kawasan Konservasi Perairan Aceh Tamiang
Proses berlanjut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kementerian KP) memulai proses evaluasi pada tanggal 30 Januari 2020. Kementerian KP mengundang DKP Aceh untuk mendiskusikan revisi dokumen RPZ. KKP di Aceh Tamiang diusulkan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) yang dikelola sebagai Taman Pesisir. KKP3K Taman Pesisir Aceh Tamiang mendapat revisi minor untuk luasan zonasi. DKP Aceh langsung merespon dengan merevisi dokumen tersebut. Kemudian Kementerian KP melalui Biro Hukum Organisasi (BHO) mengadakan rapat daring pembahasan rancangan surat Keputusan Menteri untuk penetapan Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Aceh pada tanggal 9 April 2020. KKP3K Taman Pesisir Aceh Tamiang diminta untuk melakukan penyeragaman penulisan dan warna pada legenda peta, menyesuaikan peta Kawasan lainnya. Revisi ini dapat diselesaikan oleh Tim penyusun dengan baik.
Perjalanan panjang berakhir indah. Setelah perjuangan berliku, 13 Juli 2020, Kawasan Konservasi Perairan Aceh Tamiang ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 77/Kepmen-Kp/2020 tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Aceh Tamiang dan Perairan Sekitarnya di Provinsi Aceh untuk dikelola sebagai Taman Pesisir Aceh Tamiang dan Perairan Sekitarnya di Provinsi Aceh.
Upaya memberikan perlindungan mangrove, tuntong laut dan udang windu alam di Kabupaten Aceh Tamiang memasuki babak baru. Namun proses belum berakhir dan memang tidak akan pernah berakhir. Masih banyak tantangan yang perlu dihadapi. Tetapi langkah tak lagi rancu, SK Penetapan dari Kementerian-KP menjadi dasar untuk berkolaborasi dalam pengelolaan. Tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan efektifitas pengelolaan KKP3K Taman Pesisir Aceh Tamiang ini untuk memastikan ekosistem, habitat penting dan spesies di dalamnya terjaga baik, dan memeastikan manfaat berkelanjutan yang bisa dirasakan oleh masyarakat.