MENGHIDUPKAN KEMBALI KESEIMBANGAN EKOSISTEM DI KOTO PANJANG
Ketika menyebutkan nama Koto Panjang, informasi yang paling banyak didapatkan adalah tentang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang yang terletak di Kabupaten Kampar, Riau. PLTA ini menghasilkan listrik berkapasitas 114 Megawatt yang dihasilkan oleh tiga buah turbin dan menjadi pemasok sepuluh persen listrik untuk Pulau Sumatera. Sumber tenaga penggerak turbin PLTA Koto Panjang adalah aliran air yang berasal dari Sungai Kampar Kanan dan Sungai Batang Mahat, yang termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar (Sub DAS Kampar Kanan). Besarnya kapasitas listrik yang dihasilkan oleh PLTA Koto Panjang cukup vital bagi kebutuhan listrik di Pulau Sumatera.
Namun kini debit air di bendungan Koto Panjang tidak stabil. Saat musim kemarau, debit air berkurang drastis sehingga tidak mampu menggerakkan turbin. Akibatnya, pasokan listrik berkurang dan terjadi pemadaman bergilir. Sedangkan ketika musim hujan tiba, permukaan air di bendungan akan melebihi debit normal yang mengakibatkan area di sepanjang sungai akan rawan banjir.
Permasalahan tersebut muncul karena kondisi daerah resapan air di Koto Panjang sudah sangat memprihatinkan. Luasan hutan berkurang secara signifikan dari 3.331 km2 pada 1985, menjadi 886,1 km2 pada 2014, atau sebanding dengan telah berkurangnya 73,40% luas hutan yang ada sebelumnya. Penebangan hutan yang tidak terkendali, alih fungsi untuk perkebunan kelapa sawit dan karet memengaruhi debit air di bendungan. Bila kita melihat pemandangan sekitar Koto Panjang dari udara, kebun-kebun sawit telah “mengepung” bendungan tersebut. Daerah resapan air pun tak lagi maksimal.
Selain permasalahan kritisnya daerah resapan air, pembangunan bendungan Koto Panjang sendiri telah menyimpan sejarah yang cukup kelam secara sosial maupun ekologi. Setidaknya ada 10 desa yang ditenggelamkan dalam pembuatan bendungan Koto Panjang kala itu. Sepuluh desa yang ditenggelamkan telah direlokasi ke sekitar bendungan Koto Panjang.
Penggenangan bendungan juga telah menghilangkan habitat terestrial (daratan) bagi satwa. Lokasi Koto Panjang dulunya merupakan salah satu kantong Gajah Sumatera di Riau. Adanya pembangunan bendungan Koto Panjang menyebabkan gajah-gajah yang mendiami daerah tersebut harus diselamatkan dengan memindahkannya ke beberapa tempat, salah satunya ke PLG (Pusat Latihan Gajah) Minas. Seluruh ekosistem sungai pun ikut rusak dan migrasi ikan serta spesies air tawar lainnya terganggu akibat kehadiran bendungan.
Memang kondisi tidak bisa dikembalikan seperti awal mula. Namun, kita masih bisa “menghidupkan” kembali keseimbangan ekosistem di Koto Panjang demi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam. Kawasan DAS memiliki fungsi-fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi yang sangat penting dan saling berkaitan. Pengelolaan DAS harus terintegrasi sebagai suatu kesatuan dari hulu hingga hilir, termasuk daerah tangkapan hujan.
Salah satu kegiatan rehabilitasi yang akan dilakukan oleh WWF-Indonesia di Koto Panjang adalah dengan restorasi hutan di sekitar bendungan untuk memperbaiki daerah resapan air yang rusak. Dalam melakukan rehabilitasi ini, WWF akan melibatkan masyarakat lokal untuk kegiatan penanaman pohon serta berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Restorasi lahan di Koto Panjang yang disertai dengan mitigasi sedimentasi ini juga akan memperbaiki debit air dan meningkatkan kualitas air di daerah aliran sungai.
Selain untuk menghidupkan kembali keseimbangan ekosistem di Koto Panjang, kegiatan penanaman pohon tersebut juga akan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar yang akan menanam, merawat, dan memonitor perkembangannya untuk memastikan pohon tumbuh dengan baik. Penyelamatan daerah resapan air Koto Panjang memerlukan kerja sama dari semua pihak lintas sektor. Anda pun dapat turut melakukannya. Saatnya kita dukung dan berikan kontribusi nyata untuk revitalisasi Koto Panjang karena #SungaiUntukSemua!