ROON, KEMBANGKAN ATURAN ZONASI WILAYAH KONSERVASI
Oleh: Feronika Mahonas
Perjalanan yang kami tempuh saat itu bertujuan ke Kampung Yende, salah satu kampung di Pulau Roon yang berpenduduk sekitar 635 jiwa. Sepanjang perjalanan kami singgah ke beberapa kumpulan mangrove. Pak Pri (Pimpinan rombongan kami dari staf BBTNTC) mulai mengambil beberapa dokumentasi
“Ini potensi dari Pulau Roon, ekosistem mangrove!” kata pak Pri.
Perjalanan ke Kampung yang mayoritas penduduknya adalah nelayan pancing dan molo atau menyelam dengan komoditas utama ikan karang, teripang, lobster, lola dan kima membutuhkan waktu selama tiga jam. Setibanya di sana, kami disambut Pak Waromi dan diarahkan ke kampung Niab.
Niab merupakan salah satu Kampung pemekaran dari Yende yang jaraknya tempuhnya sepuluh menit perjalanan laut dari yende. Di Niab, kami berkoordinasi dengan kepala Kampung Niab, Benhard Awi, untuk mengadakan pertemuan diskusi lepas dengan beberapa orang aparat kampung disana. Topik yang diangkat adalah letak zonasi dan tata kawasannya.
“Kami memang punya tempat hidup disana, tapi jika itu penting untuk masa depan kami pasti torang akan lindungi tempat itu baik-baik, namun harus di disertai dengan aturan adat kami dan saat ini Sasi merupakan satu-satunya hukum kampung yang di akui oleh masyarakat kami!” penjelasan dari pak Benhard Awi saat itu.
Pertemuan Bersama Masyarakat Niab
Pertemuan bersama masyarakat kampung Niab berakhir dengan beberapa rekomendasi antara lain; perlu dilakukan survey kembali tempat-tempat penting untuk bertelur ikan, kima, lobster dan teripang. Hasil survey tersebut perlu dikonsultasikan kepada masyarakat untuk ditetapkan dengan mengikuti aturan adat atau gereja.
Pertemuan pun berhasil mengumpulkan kurang lebih 15 orang pemuka masyarakat yang terdiri dari aparat kampung, kader konservasi serta guru honor yang ada disana. Namun, sayangnya tidak ada perwakilan perempuan disitu. Pak Prihatna langsung membuka pertemuan dengan mengangkat cerita tentang aturan zonasi yang ada di kepulauan Auri. Sama dengan di Kampung Niab bahwa mereka mengharapkan adanya aturan kampung yang diakui oleh masyarakat setempat untuk mengganti aturan zonasi yang ada. Tetapi, yang penting adalah informasi dasar dan ilmiah tentang alasan mengapa tempat itu perlu di ditutup dari kegiatan mencari ikan mereka, karena kenyataannya saat ini lokasi lindung yang ditetapkan dalam aturan zonasi tidak dipatuhi dan tetap menjadi lokasi target mencari nafkah mereka.
Keesokan harinya saya bangun dengan kepala yang berat serta terdengar suara dari ketua tim kami yang memberitahu kalau cuaca yang buruk menjadi alasan untuk menunda perjalanan kembali ke Kota Wasior. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk berkeliling kampung melihat dan merekam aktivitas masyarakat.
Saat pengamatan saya mulai menggali informasi tentang kondisi sekolah saat itu. Ternyata, sekolah tidak memiliki dana khusus untuk operasional, hanya ada guru honor dengan tingkat pendidikan SMA. Bahan ajarnya pun dari buku-buku lama yang ada dan kepala sekolah sudah beberapa bulan tak berkunjung. Di sekolah tidak ada kapur atau spidol untuk mengajar, mereka meminjam ruangan SD karena gedung sekolah baru yang dibangun belum diresmikan hingga saat ini.
Tak jauh dari situ ada sekumpulan anak-anak sedang bermain dipondokan yang dibangun masyarakat setempat sebagai tempat bersantai. Kemudian saya mengajak mereka untuk masuk kedalam pondok untuk belajar bersama.
Selama proses belajar sempat saya berpikir apa yang dipelajari mereka selama disekolah? Pendidikan seperti apayang mereka peroleh saat ini bahkan mengeja kata “rumah” pun mereka sulit.
Kembali Ke Kota Wisor
Akhirnya kami berangkat pada pukul 15.00 WIT, setelah angin reda dan air mulai pasang. Sama dengan perjalanan yang pertama kami menyinggahi beberapa tempat mangrove di perkampungan sekitar. Perjalanan ke Wasior yang seharusnya dapat ditempuh selama 2 jam kini memerlukan 4 jam yang ditambah ombak di akhir perjalanan, tidak mudah untuk dilalui.
Sama seperti kehidupan masyarakat Roon yang tidak mudah dilalui, tapi ada kemudahan alam yang tersedia. Seperti kata bapak Penias Ayamiseba (aparat kampung Yende),
“Dari dulu bantuan telah banyak diberikan kepada masyarakat kami, namun taraf hidup tidak juga berubah, apa yang menjadi penyebabnya fero?” tanya pak Penias.
Saya hanya memberikan pendapat sekilas bahwa sama seperti garam yang dibuang ke laut, tidak akan kelihatan hasilnya karena sama-sama asin, seperti bantuan yang saat ini terus dikucurkan oleh pemerintah yang harapannya dapat merubah taraf kehidupan masyarakat, tapi tidak disertai dengan membangun karakter dan pemahaman manusia, akhirnya bantuan tersebut habis tak berbekas di masyarakat. Butuh penyadaran dan pendidikan serta pendampingan yang rutin untuk warga Yende. Semoga suatu saat ada orang yang mulai tersentuh untuk membangun masyarakat Papua melalui pendidikan yang memadai agar “garam” itu tidak dibuang di lautan namun digunakan untuk memasak sayuran agar lebih enak terasa.