TANGKAL BENCANA DARI SUDUT CANTIK PAPUA
Sosoknya begitu ramah. Bibirnya kerap menyungging senyum, terutama kepada tetamu jauh yang baru saja ia kenal. Pemuda Papua ini tampak cekatan. Berbalut kepercayaan diri yang begitu tinggi, ia memamerkan keterampilannya.
Sedari awal, ia sudah mengenalkan dirinya. “Filemon,” ucapnya singkat sembari mengulurkan tangan kepada tetamu kampung. Bertubuh tegap, Filemon bagaikan mewariskan perawakan sang ayah, Hendrikus Wowokti, kepala kampung Erma, Distrik Sawa Erma, Kabupaten Asmat, Papua.
Apabila diteliti lebih seksama, wajah Filemon bak pinang dibelah dengan sang kepala kampung. Namun, anak muda Asmat ini tampak lebih segar dan memiliki energi yang berlebih. Ia tak menyimpan rasa malunya. Filemon memandu tetamu dari peradaban yang lebih maju menjelajahi hutan sagu, yang berdiri tegak di atas tanah berlumpur.
Dengan telaten, Filemon membukakan jalan. Bukan hanya itu, anak bungsu Hendrikus menyiapkan jalur khusus bagi tetamu yang tampak kesulitan berjalan di atas lantai hutan berlumpur. Dia menyiapkan daun kelapa yang disusun memanjang agar memudahkan kaki para tamunya berpijak tanpa harus terbenam lumpur sedalam 80 cm.
Sekalipun hanya menamatkan pendidikan di bangku SMP, Filemon sama sekali tak menampakkan rasa minder. Saat menjelaskan proses pengolahan sagu, Filemon tanpa kesulitan bertutur dengan runut. Dia seperti memuaskan dahaga pengetahuan lawan bicaranya yang belum memiliki pengalaman memanen bahan pokok warga kampung Erma.
“Sagu yang mau ditebang itu juga, pas itu dusunnya yang punya di sini. Lalu, nanti sebelum mau tebang itu, bicara. Alat satu untuk kita kayu,” cerita Filemon kepada tetamu jauh yang baru dikenalnya. Anak muda Asmat yang cekatan ini kembali melanjutkan cara memanen sagu.
“Waktu matahari keluar itu kami tunjuk. Itu kan pakai kita, pakai bahasa. Sesudah tebang, kupas kulit yang di luar. Di situ buka yang bagian dalam ini, yang bagian dalam. Yang luar juga itu ada. Sesudah buka yang bagian dalam, lalu buka. Pangkur. Sesudah pangkur, ramas, ramas.”
Sontak, wajah tetamu Hengky berkerinyit. “Ramas itu apa, mohon maaf?” tanya salah satu dari mereka dengan nada kebingungan.
Filemon dengan tangkas menerangkan pertanyaan mereka yang baru pertama kali melihat proses panen sagu warga Asmat untuk pertama kali. “Ini kan dia sedang pangkur, nanti sudah selesai. Dia punya 4 sini nanti sebentar taruh di pelepas sagu ni. Terus, kita ambil air dari sini, langsung siram di tempat pelepas sagu tu. Siram, baru kita ramas. Airnya turun ke bawah. Jadikan sagu. Proses juga nih cukup lama cukup lama 24 jam.”
Lalu, Filemon meneruskan cerita. Nah kalau yang sagu nya turun jadi sagu. Kalau cepat, sore juga bisa pulang, biasanya gitu.” Apabila proses itu belum selesai, pemanen sagu harus menginap di antara pohon sagu yang berdiri tegak di lantai belantara berlumpur lembek.
“Karena kalau bevat di sini bisa juga. Bevat tu penginapan sementara, peristirahatan sementara, dibuat dari daun-daun. Saya sudah ramas. Tepung sagu ini deh, saya sudah mengendap. Airnya bisa kita kasih ke luar, sagunya tinggal. Gitu nanti ganti lagi, ambil ampas sagu lagi, taruh di pelepas. Ramas, biasanya kalau sagu yang bagus, yang kering itu bisa 3 kali. Ada yang sampai 4 kali. Tergantung dia punya isinya, kalau tepung full ya ramas 3 kali. Jangan kita boros,” terang anak kepala kampung dengan ramah.
“Oh begitu, airnya hanya dari situ kah?” tanya seorang tamu kampung Erma yang begitu antusias melihat proses pemanenan sagu dengan mata kepalanya sendiri.
“Ya, airnya dari sini (mengarah pada tanah yang berlumpur dengan genangan air).” “Cukup?”
Filemon melanjutkan keterangannya dengan sabar atas pertanyaan yang datang tanpa henti seperti gelombang air laut lepas. “Cukup. Ini kan bisa, ketika dipakai, air hutan itu bagus, jernih. Enak, macam air yang dipakai. Ini yang ini masih putih putih, ini kalau yang di hutan sekali itu air merah. Jernih kakak. Tergantung ampas sagu, kalau ampas sagu ada ya langsung kerja, langsung kita bisa ramas. Tiga kali buang ampasnya, ganti yang baru. Ganti yang baru, nanti air itu tercampur dengan ampas sagu berubah menjadi putih. Ya, airnya warna putih, kayak susu.”
Menurut anak muda kelahiran kampung Erma ini, air yang berwarna putih susu itu dapat menyegarkan tenggorokan. “Yang ini (sagu yang sedang dipangkur) kan tidak terlalu panjang. Ini tidak sampai 24 jam. Satu jam lebih saja sudah bisa ramas. Kan pas ampasnya kan sudah banyak jadi sudah bisa ramas. Tergantung dari kita punya tenaga saja, kalau suami istri. Istri, tenaga full, kalau suami tenaga full ya, kerja cepat sama-sama. Namanya kerja sama, gotong royong begitu toh.”
Gotong royong, semangat yang saat ini sudah teramat jarang keluar dari bibir warga Indonesia, begitu terlihat dalam pelaksanaan program Voice for just Climate Action (VCA) di wilayah Asmat, salah satu sudut cantik Tanah Papua.
Tokoh-tokoh kampung, Lembaga masyarakat adat, dan gereja bahu-membahu melakukan kegiatan pemetaan wilayah, yang menjadi upaya bersama dalam program VCA dengan di bawah kendali WWF-Indonesia.
Upaya tanpa kenal lelah dilakukan oleh pihak gereja, berupa sosialisasi melalui dewannya. Sang pastor pun mendorong warga untuk mengikuti program ini. Dengan begitu, tetangga kampung Erma dengan senang hati mengikuti kegiatan yang mampu menangkal bencana di masa depan ini.
Posisi Kampung Sono bersisian dengan tanah kelahiran Filemon. Kedua kampung ini dihubungkan dengan sebuah jembatan kayu. Mereka hidup dengan tenteram. Sono berhiaskan panorama alam nan cantik. Sudut cantik Papua ini tergambar dengan jelas hingga memuaskan rasa penasaran tetamu yang datang sejauh 3.400 kilometer.
Pemandangan indah itu terlihat jelas dari gereja milik Sono dan Erma. Tetamu yang datang hanya perlu berjalan beberapa meter ke depan melalui pijakan kayu yang ada pada desa tersebut. Perjalanan menuju area tersebut disertai dengan pohon-pohon dan beberapa speed. Area perairan tentunya tak jauh dari dermaga mini milik Kampung Sono.
Di tempat itu, warga pendatang dapat melihat perairan jernih yang disertai dengan pepohonan lebat pada sebrang Kampung Sono. Terkadang, para speed lalu lalang mengisi indahnya bingkai pemandangan. Tidak hanya itu, burung-burung yang secara kolektif berterbangan mencari makan juga singgah pada lanskap indah Kampung Sono.
Salah satu keunikan menarik dari kampung ini adalah gerejanya. Walaupun di bawah keuskupan Katolik, gereja di kampung tetap terlihat membumi, berbaur dengan jenis bangunan yang tersebar pada kampung Asmat ini. Wujud konkretnya terletak pada penulisan ‘Gereja Bunda Maria Erma-Sono’ yang desainnya lugas dan terletak pada suatu benda yang berbentuk seperti perpaduan antara kotak pos dan rumah.
Bangunan gerejanya juga cenderung panjang dengan atap segitiga dengan seng, seperti rumah pada umumnya. Di samping gereja, terletak pastoran yang cukup besar. Sejenis dengan di Sawa-Er, sang pastoran cukup lebar untuk diisi dengan ruang tengah, ruang makan, dan lebih dari satu kamar tidur dengan material kayu.
Herman Ear, kepala kampung Sono begitu tunduk dengan aturan gereja. Herman berpendapat bahwa hidup menggereja bukan semata soal kebaktian dan pelayanan, melainkan juga bekerja. Dia mempelajari bahwa gereja juga mendorong manusia untuk menyatukan diri dengan alam.
Pondasi terpenting dalam memelihara alam, menurut gereja adalah menyadari bahwa iman adalah roh yang bekerja. Alam memiliki roh, begitu pula manusia. Namun, manusia telah merusak, bahkan membinasakan alam. Beliau melanjutkan, “Manusia dengan alam, itu salah satu roh yang bisa kita satukan, itu menjadi kita saudara bersatu. Makanya saya hanya mempelajari dan masuk ke dalam itu, lebih bagus saya harus pertimbangkan. Pertimbangkan bahwa alam itu adalah satu, teman kita dari Maha Kuasa. Hanya agar kampung lain-lain, hanya katanya merusak, tetapi berusahalah kita, kita tidak dirusak, alam kita, maka harus buat perbatasan,”
Sebagai seseorang yang telah menjabat sebagai kepala kampung selama 23 tahun, Pak Herman berproses dalam pemetaan partisipatif. Menurut beliau, wacana WWF-Indonesia disosialisasikan pada 1990an. Pada 2000, barulah pemetaan partisipatif dilakukan.
Lelaki yang senang mengenakan kalung khas Asmat ini merasa permasalahan utama sebelum adanya pemetaan adalah perkelahian antar dusun karena ketidakjelasan batas. Dalam mengupayakan pemetaan, cara yang ditempuh juga serupa, yakni menanamkan kelapa, sukun, bambu, dan jambu untuk membuat batasan. Hanya saja, Herman menambahkan bahwa setiap tanaman pembatas tumbang, ia mengerahkan warganya untuk menanam ulang, sehingga garis pemetaan tetap jelas. Secara spesifik, penanaman ini berlokasi di pinggir bevat (tempat istirahat ketika mengolah sagu/cari makan).
Herman lantas berharap agar WWF-Indonesia dapat terus menjalankan programnya, mengetahui bahwa generasi muda memiliki bibit buta akan uang. Padahal, dahulu mereka hanya terpaku dengan alam yang telah menyediakan makan dan minum, mengantar mereka kembali pada keluarga.
Menurut Herman, uang tidak berkeluarga, tidak pula ia memiliki saudara. Parahnya, ia habiskan pohon-pohon. Setelah semua jadi uang, tidak juga dibagi dengan saudara maupun bapaknya sendiri. Herman menuturkan pemikirannya saat mencurahkan kegundahan hati terhadap hari esok. Itulah alasan ia bersikeras mempertahankan perlindungan hutan mereka. Boleh jadi pemetaan wilayah berkontribusi meredam kekhawatirannya di masa yang akan datang.
Dalam kesempatan terpisah, Zaani Inaury yang memipin program VCA dari WWF-Indonesia menjelaskan gambaran utuh mengenai kegiatan yang dikerjakan warga Asmat. Kisah gotong royong demi menangkal bencana dari sudut cantik Papua ini muncul lantaran mereka bergandengan tangan dengan organisasi masyarakat sipil (CSO) setempat, yaitu Yayasan Alfonso Suada Asmat (YASA).
“Jadi, mitra kita di Asmat itu, yaitu YASA, sebenarnya dia adalah CSO binaan keuskupan gereja. Nah, dalam hal ini, pendekatan yang WWF dan mitra gunakan adalah pendekatan gereja. Jadi, bagaimana masyarakat bisa menyetujui dan mau untuk wilayah yang dipetakan dalam rangka perundungan itu melalui gereja, karena di Asmat gereja punya peran yang cukup besar. Artinya, selain pemerintah, masyarakat banyak sekali sangat menghargai dan menghormati keuskupan Gereja. Gereja digunakan untuk melancarkan proses salah satu kegiatan terhadap VCA, yaitu pemetaan ini.” Zaani menjelaskan dengan gamblang.
Menurut Zaani, target untuk semua wilayah kerja selalu merujuk pada tiga pilar. Salah satunya, bagaimana menguatkan kapasitas masyarakat adat. “Karena mereka saat ini merupakan kelompok yang ‘korban’ atau paling merasakan dampak krisis iklim. Lalu, di sisi lain, mereka sebenarnya adalah pihak yang luar biasa yang secara efektif dan efisien menjaga kelestarian lingkungan dan aturan dan wilayah adat mereka. Bahasa sederhananya, mereka yang paling menjaga tapi mereka jadi korban gitu terhadap perubahan iklim.”
Dalam kegiatan VCA, kata Zaani, sebenarnya ada kegiatan yang berhubungan dengan penanaman jangka pendek. Jadi, program utamanya itu dia tentang budidaya sagu karena sagunya mereka agak jauh. Mungkin sekitar 40 menit untuk sampai dusun sagu mereka, jauh secara akses. Program VCA itu sebenarnya mengenai bagaimana sagu itu pindah kedalam lokasi pemukiman. JAdi, ada beberapa lahan masyarakat untuk budidaya sagu. Penanaman yang dimaksud itu untuk melindungi tanaman sagu yang sedang dibudidaya itu.
Selain tanaman sela itu, mereka juga menanamkan tanaman hidroponik. Secara geografis, secara topografi, kita tahu Asmat itu daerah rawa yang tidak punya lahan. Jadi, mereka mengembangkan budidaya tanaman hidroponik itu menggunakan artifisial. Artinya, tanaman buatan yang dibuat di atas para-para.
“Nah, itu jadi bedeng buatannya tu di tanam di atas itu. Itu sebenarnya salah satu solusi lokal. Artinya ketersediaan lahan yang sangat kurang, juga kondisi geografi, topografi yang rawa begitu. Jadi, mereka mengakalinya dengan begitu. Lalu, untuk Asmat sendiri, secara aturan, SK penetapan pengakuan wilayah adat Rumpun Pomar Sirau itu sudah keluar sejak 2022 pada Oktober. Nah, itu sebenarnya bentuk dari perjalanan panjang sejak 2021. Bagaimana caranya melindungi wilayah dan hukum Adat Asmat, terutama Pomar Sirau.”
Zaani juga mendapatkan sejumlah pertanyaan menarik. “Kalau tadi tanaman sagu itu, apakah saat ini ada dampaknya terhadap perubahan iklim? Atau apa kaitannya hutan sagu ini sebagai salah satu makanan pokok masyarakat, tapi yang terkait dengan perubahan iklim yang terjadi?”
Dengan tangkas, Zaani menjelaskan dua pertanyaan mendalam itu. Artinya salah satu yang ingin disuarakan, sesuai dengan tiga pilar yang saya sebutkan tadi adalah bagaimana pangan lokal itu dilestarikan, dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini. Lalu, secara fungsi, sagu sangat bermanfaat untuk ketersediaan air, menahan tanah. Lalu, Asmat sendiri sekarang mengalami kenaikan permukaan air laut. Jadi, sagu itu sebenarnya dia berfungsi untuk melindungi daratan dari abrasi, selain tujuan utama bagaimana pangan lokal itu dilestarikan.”
“Ada satu kecenderungan di masyarakat bahwa mereka sangat bergantung dengan beras. Sedangkan, dalam situasi saat ini, agak sulit didapatkan. Jadi, bagaimana caranya mengembalikan makanan pokok (sagu) untuk (bukan) alternatif, tapi supaya jangan bergantung pada beras untuk melindungi dari busung lapar atau bahaya kelaparan yang terjadi di 2018/2017.”
Zaani juga menegaskan tujuan dari kegiatan pemetaan wilayah adat yang digelar secara partisipatif. “Sebenarnya salah satu kegiatan utama untuk Asmat dalam program VCA ini adalah pemetaan wilayah adat dalam rumpun Pomar Sirau. Pemetaan ini adalah pemetaan partisipatif yang melibatkan masyarakat sejak awal. Jadi, sejak 2021, mulai dari pra kondisi, kemudian pemetaan wilayah yang dilakukan bersama masyarakat rumpun Pomar Sirau, artinya da sepuluh kampung, di situ mereka secara partisipatif membuat peta yang digunakan sebagai alat advokasi untuk mendapat SK Bupati.”