POHON SIALANG: MAAF, TAK ADA MADU KALI INI
Oleh: Diah R. Sulistiowati
Sekitar dua puluh orang lebih berkumpul di bawah sebuah pohon besar dan tinggi, kebanyakan remaja dan bapak-bapak, tidak ada kaum ibu yang ikut berkumpul dalam rombongan ini. Para bapak terlihat sibuk diskusi sambil menghisap rokok dan mempersiapkan peralatan, sedangkan remaja asik bersenda gurau sambil melirik kami rombongan dari Jakarta. Beberapa dari mereka sibuk main ludo melalui gawai elektronik, walaupun tidak ada sinyal di desa mereka, tetapi mereka banyak yang punya gawai elektronik.
Mereka penasaran, karena kami bicara dalam bahasa asing, Ya! Karena empat dari tujuh orang diantara kami berkulit putih, mereka adalah orang-orang dari WWF Networks yang sedang berkunjung ke Bukit Tiga Puluh untuk melihat kegiatan restorasi ekosistem di Bukit Tiga Puluh, Desa Samerantihan, Provinsi Jambi.
Menariknya, beberapa dari mereka ada yang berani “uji nyali” coba-coba untuk bicara dengan para orang asing ini, sambil bersalaman dan mengucap “My Name is…” kemudian kabur tersipu malu diledek teman-teman lainnya, dan ini dilakukan secara bergantian, cukup riuh dan menyenangkan suasana di bawah pohon ini, padahal kami berada di dalam hutan tropis dan diantara pohon-pohon sehat di dalam hutan restorasi ekosistem Bukit Tiga Puluh yang dikelola PT. Alam Bukit TIgapuluh (ABT).
Jika dilihat dari bawah, Pohon Sialang ini terlihat cabang-cabangnya seperti ditempeli sesuatu warna hitam berlubang-lubang. Jika didekati bisa mendengar suara berdengung, ya! itu adalah sarang lebah yang menempel pada cabang tinggi Pohon Sialang, pohon tinggi yang biasanya menjadi “rumah” bagi sarang lebah hutan. Pohon Sialang atau Koompassia excels merupakan jenis tumbuhan yang masuk dalam suku Johar-joharan, dan biasanya tinggi bisa mencapai lebih dari 88 meter, di bagian bawah pohon ini berbanir lebar dan tinggi.
Orang-orang yang berkumpul di bawah ini adalah suku Talang Mamak yang hendak memanen madu hutan. Pohon ini merupakan salah satu pendapatan alternatif masyarakat adat salah satunya adalah Suku Talang Mamak yang dilakukan secara berkelanjutan. Proses pengambilannya juga dilakukan secara berkelanjutan, dengan memperhatikan behaviour si lebah, hal ini dilakukan agar lebah kembali bersarang dan menghasilkan madu, jadi mereka tidak mau menakut-nakuti lebah ini.
Proses pengambilan madu lebah ini dilakukan dengan cukup menyeramkan, ya! Bagi kami membayangkan memanjat pohon tinggi ini dengan peralatan sederhana dan tanpa pengaman membuat kami bergidik, bahkan rekan-rekan dari WWF Network ini menunjukan muka bingung dan takjub, karena wajar, tidak ada histori di kepala mereka tentang pekerjaan yang membahayakan ini sehingga mereka kesulitan membayangkannya.
Proses pengambilannya cukup panjang, dilakukan sore menjelang malam, mengapa malam? menurut Sudirman, suku Talang Mamak, ini dilakukan untuk mencegah sengatan lebah yang bertubi-tubi, “Seperti manusia, kalau siang hari mayoritas aktif, kalau malam hanya beberapa yang aktif, lebah juga begitu”. Sudirman dan timnya lantas menyiapkan lantak, lantak adalah pijakan kaki yang akan ditancapkan ke pohon untuk menahan kaki memanjat. Biasanya untuk satu pohon bisa “habis” 40 lantak, peralatan lainnya adalah tungkul atau wadah madu dan tunam. Tunam ini adalah akar pohon yang dikeringkan seperti bentuk sapu lidi, nantinya akan dibakar dan mengeluarkan asap, asapnya inilah yang digunakan untuk mengusir lebah.
Sebelum memanjat dan menancapkan lantah ke pohon, dilakukan doa-doa agar diberi keselamatan pada proses memanjat pohon. “Dalam kepercayaan kami, ada namanya nabi pohon yang tinggal di pohon, jadi kami minta ijin biar tidak marah” ucap Sudirman lagi. Setelah berdoa, satu persatu lantah ditancapkan ke pohon, dipukul dengan palu dan dipastikan lantah tertancap kuat agar mampu menahan tubuh. Pelan tapi pasti, mereka memanjat dibekali penerangan seadanya, bahkan menurut mereka di atas cukup terang.
Tak Ada Madu Hari Ini
Proses pengambilan madu memakan waktu cukup lama, waktu sudah menunjukan jam 11 malam namun proses memanjat sambil memukul lantah belum selesai, karena kami belum makan malam dan tidak membawa bekal, kami pamit dahulu. Esok harinya kami mendapat berita bahwa mereka tidak berhasil mendapatkan madu, para orang asing ini langsung menujukan muka bingung ke arah kami, menuntut penjelasan lebih lanjut, mereka sangat bingung pekerjaan berbahaya yang sudah dilakukan tetapi tidak ada hasilnya.
Menurut cerita Sudirman, biasanya dalam satu pohon bisa sampai sekitar 100-150 buah sarang yang menempel dan menghasilkan sekitar 100-150 kilo madu, kali ini mereka hanya melihat tujuh sarang, makanya tidak ada madu yang didapat. Mengapa hal ini terjadi? Menurut Sudirman, pohon Sialang kali ini kerap untuk dipanjat orang dari luar (selain suku Talang Mamak), “Mereka memanjat siang hari” jelas Sudirman. Pohon yang dipanjat siang hari menyebabkan lebah enggan untuk mampir lagi, bahkan cerita Sudirman, orang yang kerap “mencuri” madu pada siang hari ini sering mengalami kecelakaan, karena tidak biasa memanjat pohon tinggi.
Perlu ada Penjagaan
Untuk itu, dengan adanya manajemen restorasi hutan yang dikelola oleh PT. Alam Bukit Tiga Puluh ini, diharapkan kedepan hal ini tidak terjadi lagi. Harus ada penjagaan ketat kawasan sehingga pohon Sialang kembali menghasilkan madu, bagi kesejahteraan suku Talang Mamak yang tinggal di dalam kawasan Restorasi Ekosistem Bukit Tigapuluh. Sudah ada skema penjualan madu oleh PT ABT, yang nantinya akan membeli dari masyarakat Suku Talang Mamak, mengemas dan memasarkannya dengan harga yang adil.