PERJALANAN MENUJU KEAJAIBAN ALAM YANG MENAKJUBKAN
Oleh: Anthonius
Field officer Bulungan, Kalimantan Utara
Editor: Arum Kinasih
Hutan tropis dan keanekaragaman hayati yang masih terjaga keasliannya oleh masyarakat desa – desa di sekitar kawasan hutan serta kearifan budaya lokal seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, petualang dan juga peneliti. Melakukan kegiatan di alam bebas, sekarang ini sudah bukan menjadi hal luar biasa lagi. Setiap orang pasti berlomba-lomba mencari sesuatu yang berbeda untuk mengenal ciptaan Tuhan dari dekat dan berlomba-lomba untuk melakukan kegiatan yang lebih ekstreme lagi. Taman Nasional, hutan lindung atau cagar alam merupakan destinasi wisata yang bisa menjadi referensi untuk beraktivitas di alam bebas. Salah satu Taman Nasional yang terletak di sebelah utara kawasan Jantung Borneo adalah Taman Nasional Kayan Mentarang, membentang dari Sungai Kayan di sebelah selatan hingga ke Sungai Mentarang di sebelah utara, yang sebagian besar wilayahnya berada di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.
Perjalanan kami di mulai dari Kota Tanjung Selor menuju Bahau Hulu dengan menyusuri Sungai Kayan, Sungai Punjungan dan Sungai Bahau menggunakan longboat dan memakan waktu selama 2 hari. Alat transportasi air ini memiliki peranan peting bagi masyarakat Bahau Hulu dikarenakan kondisi lapangan udara disana belum memadai dan juga jadwal penerbangan yang tidak menentu. Pesawat dapat dipastikan bisa terbang bila ada hal yang sifatnya urgensi seperti membawa orang sakit. Selain itu, longboat juga sering digunakan masyarakat untuk mengangkut berbagai kebutuhan pokok yang diambil dari Kota Tanjung Selor dan Tarakan. Karena kapasitasnya yang sangat besar, sebuah longboat bisa memuat barang – barang sekitar 7 ton untuk sekali perjalanan dengan biaya Rp. 1.000.000 – Rp. 1.500.000.
Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Kayan, Sungai Pujungan dan Sungai Bahau, kita disuguhi dengan pemandangan alam yang sangat menakjubkan. Hamparan hutan tropis, bukit-bukit hijau dan perkampungan masyarakat di sepanjang Sungai Kayan menjadi pemandangan yang memanjakan mata. Sesekali, terlihat beberapa ekor burung elang, bangau dan enggang melintas di atas kita, tidak hanya itu, beberapa jenis primata pun turut bergelantungan diantara pepohonan. Sebuah pengalaman yang tidak dapat kita jumpai di perkotaan saat ini.
Terkadang kita harus berpegangan erat di pinggiran perahu karena melewati jeram dengan arus yang cukup deras di sepanjang sungai. Apabila air sungai sedang surut (tohor), maka jeram-jeram akan semakin nampak. Ada beberapa jeram besar yang sangat sulit dilalui longboat yang sarat akan muatan karena banyaknya batu besar dan derasnya air, yakni di Jeram Baliu yang berada di Sungai Pujungan dan Jeram Telasu ’dado’ di Sungai Bahau. Di jeram Baliu dan Telasu ’dado’, kita harus turun dari perahu dan berjalan menyusuri tepian sungai sementara muatan di longboat pun harus dikurangi, kemudian dibawa naik sampai melewati jeram. Dan jika longboat berhasil melewati jeramnya, muatan akan dimasukkan lagi ke longboat tersebut. Sungguh sebuah perjalanan yang menguji adrenalin, menguras tenaga dan penuh perjuangan!
Kami tiba di Desa Long Alango yang merupakan ibukota dari Kecamatan Bahau Hulu. WWF-Indonesia Kayan Mentarang Landscape Project mendampingi masyarakat disana dalam perencanaan pembangunan desa melalui pemetaan partisipatif tata guna lahan desa. Dalam kegiatan ini, kami mengajak aparat serta masyarakat desa ikut berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan desa jangka pendek, menengah hingga panjang. Penyajian informasi mengenai desa, agenda kegiatan tahunan desa, serta potensi desa akan terangkum dalam dokumen yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai acuan arah pembangunan desa. Dari kegiatan ini kami mencoba menggali potensi apa saja yang ada di desa, temasuk potensi wisatanya.
Di Desa Long Alango misalnya, terdapat sebuah hutan adat atau Tana’ Ulen Lalut Birai yang terletak di muara Sungai Nggeng milik masyarakat Desa Long Alango yang mayoritasnya adalah suku Dayak Kenyah Leppo’ Ma’ut. Keberadaan Tana’ Ulen ini begitu penting bagi masyarakat disana karena terdapat lebih dari 15.000 jenis tumbuhan di Kalimantan dan separuhnya tidak ditemukan di tempat lain. Para peneliti mengidentifikasi 310 jenis burung dan dari jumlah tersebut, terdapat 28 spesies yang tidak ditemukan di tempat lain dan malah terancam punah. Pada tahun 1994 didirikan stasiun penelitian Lalut Birai di hutan adat Long Alango. Sejak itu, Lalut Birai ibarat menjadi laboratorium alam dan tempat bekerja para peneliti domestik, mancanegara, bahkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pelestarian alam.
Taman Nasional Kayan Mentarang juga memiliki keunikan tersendiri karena disana tersebar situs megalitikum seperti kubur batu, makam kuno dan batu berukir milik leluhur suku Dayak Kenyah. Kubur Batu Katembu, sebuah objek wisata sejarah yang bisa kita lihat yang terletak di Long Pulung dan Long Berini. Menurut penuturan masyarakat setempat, makam kuno ini merupakan peninggalan suku Ngorek. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak 400 tahun lalu, masyarakat Dayak sudah tinggal di kawasan ini. Di Desa Apau Ping, kita juga bisa menjumpai objek wisata air terjun yang terletak kira-kira 1 km dari desa. Berjalan sedikit ke utara, kita disuguhi padang rumput Long Tua dengan luas ± 200 hektar, yang merupakan habitat alami dari banteng (Bos javanicus) atau biasa disebut juga Kalasiau oleh masyarakat setempat.
Ditetapkannya Desa Long Alango dan Desa Apau Ping sebagai desa wisata oleh Pemerintah Kabupaten Malinau, membuka peluang bagi kedua desa ini untuk mengembangkan potensi wisata yang ada sehingga dapat meningkatkan kesejahterahan bagi masyarakat desa. Dengan pendampingan dari WWF-Indonesia, masyarakat bisa lebih menggali potensi yang ada di desa seperti wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah, agrowisata serta kearifan lokal yang menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tentu saja kendala yang kita hadapi saat ini adalah sulitnya akses menuju kesana, namun bukan berarti kita tidak membuat perencanaan pembangunan desa yang matang. Dengan adanya hal tersebut, serta peran aktif dari masyarakat desa, dukungan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), maka peningkatan kesejahterahan masyarakat desa bisa terwujud melalui pariwisata yang ada.