UPAYA KOMPREHENSIF DIPERLUKAN GUNA MELESTARIKAN PULAU BORNEO
Oleh: Stephan Wulffraat
Pulau Borneo telah lama dikenal dengan keindahan alamnya dan kekayaan ekosistemnya yang tercakup didalamnya sebagian besar flora dan fauna dunia. Banyak spesies menakjubkan, seperti bekantan, hanya ditemukan di Pulau Borneo dan tidak di tempat lain di dunia.
Pulau Borneo digambarkan oleh banyak naturalis generasi awal sebagai surga keajaiban biologis. Hal tersebut dapat dikatakan benar saat ini, namun saat ini keajaiban biologis tersebut menghadapi tantangan serius.
Hutan dan ekosistem di Borneo mulai terancam pada tekanan ekonomi dan sosial kehidupan di abad ke-21. Banyak bentuk ancaman ini yang tidak asing lagi: pembukaan lahan untuk industri pertanian, penebangan dan penambangan yang tidak berkelanjutan, justru saat negara-negara berusaha mengembangkan sumber daya alam mereka.
Berdasarkan penilaian terakhir dari status lingkungan pulau Borneo oleh WWF yang baru-baru ini diterbitkan, terungkap bahwa efek dari ancaman ini akan memiliki konsekuensi serius jika tren perkembangan ekonomi pulau saat ini terus berlanjut tidak berubah.
Borneo berada dalam bahaya kehilangan ekosistem utamanya dan eko-layanan berharga yang mereka berikan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup jangka panjang masyarakat lokal dan ekonomi Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia.
Usaha untuk menghentikan laju degradasi ekosistem kritis tersebut masih memungkinkan, namun ketiga negara kawasan Borneo perlu melipatgandakan usaha mereka guna melindungi keanekaragaman hayati dan peluang kesejahteraan masyarakat.
Situasi mengkhawatirkan
Kondisi hutan Borneo terus menurun. Secara historis, luas lahan hutan tertutup hingga pergantian abad ke-20 adalah 96% dari pulau itu, namun pada tahun 2016 angka ini telah jatuh hingga sebagian kecil kawasan pulau, dan sebagian hutan yang tersisa mengalami degradasi lahan.
Tingkat penurunan ini tidak merata di seluruh ekosistem. Kawasan hutan rawa air tawar, yang disatu sisi menjadi tempat tinggal bagi banyak spesies lahan basah yang unik – tetapi juga banyak dikonversi menjadi lahan pertanian yang subur, secara bertahap menghilang hingga kurang dari seperempat dari jumlah lahan yang tersisa pada tahun 2016. Selain itu, kawasan hutan gambut juga sangat berkurang.
Secara keseluruhan, hutan dataran rendah - habitat penting untuk konservasi banyak spesies yang terancam punah - sejauh ini merupakan jenis ekosistem yang paling banyak mengalami konversi di Kalimantan. Kemudahan akses untuk produksi kelapa sawit dan pertanian menjadikannya salah satu habitat yang paling terancam punah di bumi.
Demikian pula, spesies unik mengalami kemunduran angka yang cepat, serta menghadapi masa depan yang tidak menentu. Orangutan, gajah dan bekantan misalnya; telah kehilangan separuh wilayah habitatnya akibat ancaman konversi lahan hutan berskala besar.
Beberapa kabar baik
Dua ekosistem utama di Pulau Borneo masih berjalan dengan baik dan belum mengalami konversi lahan yang massal. Hutan hujan dataran tinggi dan hutan pegunungan Borneo tumbuh pada ketinggian yang lebih tinggi dan tidak mengalami tingkat deforestasi yang tinggi, dengan hampir 90% cakupan sejarah masih tersisa. Memang, kawasan yang dikenal sebagai ‘Jantung Borneo’ (Heart of Borneo) ini telah bernasib jauh lebih baik daripada dataran rendah dan daerah pesisir. Hal tersebut menyoroti pemikiran dan keberhasilan relatif dari Deklarasi tiga negara pada tahun 2007 untuk melestarikan kawasan Heart of Borneo (HoB) seluas 23 juta di bagian tengah pulau.
Dengan ulang tahun ke-10 Deklarasi HoB di tahun 2017, temuan penilaian 2016 dapat memberikan dorongan untuk fokus yang baru pada masalah lingkungan Kalimantan. Fokus baru tersebut diperlukan karena, jika tindakan pencegahan tidak dilakukan, diproyeksikan – sebagaimana terdapat dalam proyeksi penilaian tersebut – kondisi lingkungan hidup akan semakin kritis, terutama menyangkut masa depan lingkungan dan keanekaragaman hayati di Kalimantan.
Lingkungan kritis
Penilaian tersebut menunjukkan bahwa penyelamatan beberapa ekosistem di Borneo hampir terlambat untuk dilakukan. Tanpa usaha pemulihan, penghijauan dan perlindungan yang belum pernah dilakukan sebelumnya, bersifat terpadu dan berskala besar, sebagian besar ekosistem asli akan terus menurun ke tingkat kritis.
Menurut proyeksi dalam laporan penilaian, jika tingkat deforestasi tahun 2005 hingga 2016 tidak mengalami penuruna, sebanyak 6 juta hektar hutan dapat digunduli sampai tahun 2020.
Proyeksi deforestasi terbesar akan terjadi di hutan hujan dataran rendah dan hutan rawa, namun tingkat penggundulan hutan di ekosistem lain juga akan tinggi secara tidak berkelanjutan. Hal ini akan mempengaruhi nasib banyak spesies yang terancam punah.
Ancaman
Sebagai bagian dari analisis, laporan penilaian mengidentifikasi perkembangan dan bentuk ancaman yang saat ini dihadapi oleh ekosistem di Borneo sebagai berikut:
- Kebakaran: Kebakaran merupakan ancaman utama, terutama lahan hutan gambut dan hutan hujan tropis, terutama di daerah-daerah perkebunan kelapa sawit – dimana perlu untuk dipertanyakan alasan ‘aksidental’ mengingat hal tersebut membuka jalan meluasnya pengalihan lahan.
- Konversi lahan: Perluasan perkebunan kelapa sawit dan industri bubut kayu (pulp) yang mengorbankan hutan alam, merupakan faktor utama dalam terus memburuknya ekosistem di Borneo.
- Perencanaan tata ruang yang tidak memadai: Kurangnya perencanaan tata ruang yang terkoordinasi telah menghasilkan alokasi izin pembukaan lahan yang meluas hingga kawasan lindung serta habitat bagi spesies khusus seperti orangutan dan gajah.
Perencanaan tata ruang terbilang menjadi faktor krusial dalam usaha deforestasi di Borneo. Penilaian tahun 2016 mengungkapkan bahwa lebih dari 8 juta hektar lahan hutan belum dialokasikan untuk dipertahankan untuk perlindungan atau produksi kayu lestari. Ini menyiratkan bahwa masih banyak kawasan hutan yang rentan untuk ditebang dan dikonversi.
Perencanaan tata ruang yang sistematis yang menyeimbangkan konservasi alam dengan pembangunan berkelanjutan akan perlu dilakukan untuk menghentikan deforestasi dan degradasi biologi lintas Borneo.
Rencana ke depan
Ada banyak kemungkinan tanggapan terhadap tantangan di depan dan penilaian status lingkungan yang menghasilkan sejumlah rekomendasi.
Kunci di antara hal tersebut antara lain:
- Memastikan konektivitas ekologis dari lanskap Borneo melalui perencanaan tata ruang di seluruh pulau untuk kegiatan konservasi keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem yang efektif.
- Melakukan evaluasi perencanaan tata ruang per-kawasan untuk memastikan keterwakilan yang memadai dari semua ekosistem dan habitat spesies.
- Melakukan identifikasi dan pembuatan rencana dasar baru untuk semua lahan non-hutan yang menganggur, dan menghitung kawasan tersebut sebagai alternatif untuk perkebunan baru.
- Mengembangkan sistem pemantauan dan tindakan preskriptif untuk memastikan bahwa semua hutan produksi tetap berada di bawah tutupan hutan alam.
Tiga negara di Borneo telah menunjukkan komitmennya untuk mencapai rekomendasi utama ini. Namun, pelestarian ekosistem dan spesies hanya dapat dicapai dengan mempertimbangkan seluruh kawasan di pulau Borneo. Diperlukan langkah-langkah komprehensif untuk memastikan bahwa perkembangan ekonomi seimbang dengan kebutuhan konservasi alam sehingga mencakup seluruh kawasan di seluruh Borneo.