MISI PENYELAMATAN SI CULA DUA DI SELATAN SUMATERA (1)
Oleh: Hijrah Nasir (Communication and Education Officer WWF-Indonesia Southern Sumatra Program)
Kubu Perahu berada di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), tepatnya di Kabupaten Lampung Barat. Kawasan hutan hujan tropis yang terbentang di Sumatera bagian selatan ini merupakan kawasan perbukitan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Beberapa waktu lalu, saya beruntung karena berkesempatan mengikuti kegiatan tim lapangan di Kubu Perahu, Resort Balik Bukit. Kegiatan ini merupakan praktikum lapangan dari Lokalatih dan Berbagi Pengalaman Survei Badak Sumatera di TNBBS yang diikuti oleh petugas lapangan dari beberapa lembaga konservasi di Lampung, antara lain WWF-Indonesia, Yayasan Badak Indonesia, dan petugas Balai Besar TNBBS, Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MMP), serta mahasiswa Jurusan Biologi dan Kehutanan UNILA yang dilaksanakan atas dukungan TFCA Sumatra (Tropical Forest Conservation Action Sumatra).
Pelatihan ini bertujuan untuk berbagi pembelajaran dari survei lapangan yang telah dilaksanakan oleh tim survei Badak Sumatera di TNBBS, melakukan review buku pedoman metode survei Badak Sumatera, menghimpun rekomendasi untuk menambah pengetahuan tentang metode survei, memastikan tim survei memiliki kapasitas mengenali tanda-tanda keberadaan Badak Sumatera, dan dapat membedakan tanda keberadaan Badak Sumatera dengan satwa lainnya khususnya tapir. Mengingat keberadaan Badak Sumatera di TNBBS yang semakin mengkhawatirkan, pelatihan ini sangat penting untuk memperoleh informasi yang komprehensif tentang keberadaan badak dan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan populasi dan habitat mereka sehingga target pengelolaannya adalah meningkatkan populasi untuk pemulihan spesies Badak Sumatera yang tersisa.
Menariknya, tim lapangan bukan hanya berlatih tentang metode survei Badak Sumatera, namun juga belajar tentang teknik bertahan hidup di alam liar dan melakukan evakuasi serta pertolongan pertama (SAR) yang dipandu oleh Dedi Setiadi dan Muhammad Abdurrahman, praktisi kegiatan alam yang merupakan pendidikan WANADRI. Melakukan monitoring atau patroli di dalam hutan TNBBS memang merupakan pekerjaan sehari-hari bagi mereka, namun pemahaman tentang teknik bertahan hidup di alam dan teknik SAR menjadi hal yang penting ketika berada di alam liar.
“Sejak 1997, tepatnya dua puluh tahun yang lalu, saya sudah mulai melakukan kegiatan monitoring satwa di dalam kawasan TNBBS. Tahun 2004, kami masih sering bertemu jejak badak dan gajah di Bengkunat. Kami mempelajari perilaku badak, misalnya mempelajari di radius 100 meter. Jika ada jejak, maka kami mengecek di radius 50 meter ada kubangan. Jika bertemu jejak badak, kita perlu bukti pendukung lain seperti plintiran atau kubangan. Jika tidak yakin, tidak usah bilang kalau itu badak. Selama melakukan monitoring di dalam hutan, kami tidak pernah mengalami konflik dengan satwa, bahkan tidak pernah dipatok ular. Kami justru merasa dijaga oleh satwa tersebut. Sekarang jika ada konflik manusia dengan satwa, apalagi sampai ada korban, kita manusia perlu evaluasi. Jika satwa tidak terusik, mereka tidak akan mengusik manusia. Dari situ, saya belajar mencintai hutan karena jika hutan kita terjaga, maka kita tidak akan ada konflik dengan satwa. Sampai sekarang saya masih meyakini ada badak di TNBBS, namun mereka selalu menghindari manusia,” ucap Maman Suherman, salah satu peserta yang merupakan petugas Balai Besar TNBBS yang menuturkan pengalamannya selama melakukan survei dan monitoring di dalam hutan TNBBS.
Sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan survei Badak Sumatera di lapangan, peran tim lapangan sangat penting. Kapasitas tim dan motivasi mereka menjadi kunci keberhasilan kegiatan survei. Melalui pelatihan ini, tim tidak hanya memperdalam pengetahuan tentang materi metode survei, namun langsung mempraktikkannya di lapangan, misalnya praktik pemasangan camera trap, okupansi, trajectory, dan praktik pengambilan sampel E-DNA air dari kubangan badak.
Menelusuri hutan TNBBS bersama tim lapangan adalah pengalaman istimewa bagi saya karena saya bisa ikut secara langsung mengumpulkan data bersama tim di lapangan. Apalagi dengan misi mencari keberadaan satwa istimewa seperti Badak Sumatera. Medan yang curam dan terjal tak menyurutkan langkah kami. Seringkali kami harus merangkak menaiki punggung bukit yang berbatu. Dibutuhkan kewaspadaan dan ketelitian ekstra karena kami harus mencari tanda-tanda keberadaan satwa di sepanjang jalur okupansi dan mengidentifikasi ancaman. Semua temuan tersebut harus dicatat oleh tim dan didokumentasikan untuk selanjutnya menjadi data dan informasi yang bisa dianalisis. Sayangnya, pada simulasi okupansi di grid yang diberikan pada kami hari itu, tak ada jejak keberadaan badak. Kami hanya berjumpa tapak dan kotoran tapir, rusa, babi, serta kubangan rusa. Kami juga menjumpai tanda-tanda ancaman berupa penebangan pohon kayu manis secara ilegal. Penebangan pohon di dalam kawasan taman nasional ini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kelestarian habitat badak. Spesies langka itu semakin kehilangan tempat tinggal dan hidup terfragmentasi di dalam hutan TNBBS yang semakin menyulitkan tim lapangan untuk menemukan tanda keberadaan mereka. Dengan keberadaan badak yang semakin terancam di selatan Sumatera, apakah kita ingin anak cucu kita hanya bisa mendengar cerita atau dongeng tentang Badak Sumatera?