CEGAH KEBAKARAN LAHAN DENGAN MENYELAMATKAN GAMBUT
Siang hari tapi gelap, hidung dan dada terasa sesak, mata perih, jalan terhalang kabut; itulah yang dirasakan di seluruh wilayah Riau pada pertengahan 2015 hingga menjelang akhir tahun, atau setidaknya awal November. Siswa-siswa diliburkan karena udara sudah tidak sehat terbukti dari alat indikator udara yang terpasang di tengah-tengah Kota Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau menunjukkan udara pada level berbahaya.
Tidak berhenti di situ saja, Bandara Sultan Syarif Kasim II yang terletak di tengah kota pun ditutup berhari-hari. Hal ini membuat penumpang pesawat dari Riau harus terbang dari Padang, terpaksa menempuh jalur darat selama 7 jam, nelayan terpaksa tidak melaut. Pengorbanan tidak berhenti disini saja, rumah sakit dan pusat layanan kesehatan dibanjiri masyarakat yang mengeluh terganggunya pernapasan. Dan petaka itu pun merenggut nyawa, tercatat 5 korban jiwa akibat kabut asap tahun 2015 di Riau. Ini catatan kelam bencana kabut asap yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa karena gangguan pernapasan.
Salah satu lokasi lahan gambut yang cukup besar dan kerap berkontribusi pada kejadian kabut asap adalah di Provinsi Riau adalah Lanskap Giam Siak Kecil-Bukit Batu terletak di bagian utara kota Riau tepatnya di Kabupaten Bengkalis. Lansekap ini terdiri dari Suaka Margawatwa Bukit Batu, Suaka Margawatwa Giam Siak Kecil, Hutan Produksi yang dibebani izin IUPHHK-HT dan belum dibebani izin, perkebunan sawit dan wilayah perkebunan masyarakat. Lansekap ini perlu mendapat perhatian khusus karena memiliki ekosistem hutan rawa gambut yang membuatnya sangat rentan terhadap kebakaran.
Lahan gambut pada kondisi alami tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun, apabila lahan gambut kondisinya sudah mulai terganggu misal karena alih fungsi lahan maka keseimbangan ekologisnya akan terganggu. Dengan kondisi ini, pada musim kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah, sulit dideteksi dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan, bisa berlangsung berbulan-bulan dan baru dapat dipadamkan dengan hujan yang intensif.
Jika tidak dikelola dengan baik, kebakaran dan pembukaan hutan alam dengan cepat mengubah keseimbangan alam di lansekap atau Kesatuan Hidrologi Gambut Giam Siak Kecil-Bukit Batu. WWF-Indonesia bersama mitra dan para pihak berkomitmen untuk mengurangi kejadian kebakaran di kawasan gambut di KHG Giam Siak Kecil-Bukit Batu melalui program pengelolaan kawasan gambut terintegrasi dengan berbagai kegiatan seperti peningkatan kapasitas masyarakat dalam pemadaman kebakaran berbasis masyarakat, pembangunan sekat kanal, rehabilitasi lahan gambut, dan penguatan sistem paludikultur. Program ini dimaksudkan untuk mewujudkan pengelolaan lahan gambut yang terintegrasi dengan memperhatikan tata hidrologi gambut sehingga lebih efektif dalam mengurangi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu WWF Program Sumatera Tengah bekerja sama dengan Pusat Studi Bencana (PSB) Universitas Riau serta Jikalahari, Walhi Riau, dan Yayasan Mitra Insani dengan pendampingan intensif di 10 desa sasaran yakni Tanjung Leban, Sepahat, Sejangat, Dompas, Pakning Asal, Kampung Jawa, Pangkalan Duku, Pangkalan Jambi, Sungai Selari dan Buruk Bakul. Program ini dimulai sejak pertengahan 2017, berbagai kegiatan telah dilaksanakan seperti pendampingan dan bekerja sama dengan masyarakat dalam pembangunan sekat kanal, pembuatan peraturan desa dalam hal pengelolaan kawasan gambut, dan lain-lain.
Untuk menjaga ekosistem gambut dan mengembalikan fungsi ekosistemnya pada lahan yang sudah terdegradasi dikenal konsep 3R yakni Revitalization, Rewetting dan Revegetation. Revitalization adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian, perikanan hingga ekowisata. Rewetting adalah membasahi kembali lahan gambut sesuai standar kelembaban gambut untuk penurunan kebakaran lahan, dan Revegetation adalah melakukan penanaman kembali lahan gambut sehingga ekosistem alami dapat pulih dan mengembangkan tekhnik agrikultur ramah gambut.
Rewetting dilakukan dengan cara menyekat kanal atau saluran drainase, kanal ini harus disekat karena jika tidak maka kanal menjadi kering menjadi kering dan mudah terbakar di musim kemarau. Kanal ini juga mengakibatkan terurainya materi gambut dan tercuci ke aliran sungai dan perlahan menyebabkan penurunan permukaan gambut dan menimbulkan cekungan yang akan tergenang air. Ketika kering, lahan gambut sudah tidak produktif dan akan ditinggalkan oleh pengelolanya. Untuk menghindari kondisi seperti ini, kanal-kanal yang sudah dibangun perlu disekat-sekat untuk mempertahankan permukaan gambut. Ruang antar sekat dipertahankan berair dan digunakan untuk budidaya ikan rawa. Sementara itu wilayah kiri dan kanan kanal ditanami dengan tanaman rawa yang tahan genangan air. Jika lahan gambut mengalami subsiden (penurunan permukaan gambut) maka tanaman rawa yang sudah ditanam tersebut akan segera dapat menggantikan tanaman yang ada di wilayah gambut tersebut.
Sejak diimplementasikannya program ini di KHG Giam Siak Kecil-Bukit Batu, sebanyak 26 sekat kanal sudah dibangun bersama masyarakat. Sementara itu, rangkaian pertemuan bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis dan perusahaan yang beroperasi di sekitar lansekap Giam Siak Kecil-Bukit Batu untuk kesepakatan teknis pembagian air dengan masyarakat untuk menanggulangi ancaman api pada saat musim kemarau dan sebaliknya ancaman banjir pada saat musim hujan.
Untuk antisipasi terjadinya kebakaran, pada Oktober 2018 lalu, WWF menyerahkan empat unit mesin pemadam kebakaran, 10 unit smartphone untuk memantau informasi dari 10 unit alat deteksi dini kebakaran atau early warning system. Dengan adanya perangkat dan fasilitasi ini diharapkan kejadian kebakaran dapat lebih awal diketahui dan masyarakat dapat lebih sigap menanganinya.