JAGA KESEIMBANGAN EKOSISTEM LANSKAP KUBU
PONTIANAK - Lanskap Kubu adalah salah satu kawasan penting di Kalimantan Barat yang menjadi habitat bagi satwa-satwa dilindungi. Mamalia laut, bekantan, dan bangau storm, adalah jenis-jenis satwa lindung yang menjadikan bentang alam Kubu sebagai rumah tinggal mereka.
Berdasarkan hasil pendataan keanekaragaman hayati yang dilakukan WWF-Indonesia sejak 2011, lebih dari 112 jenis burung sudah teridentifikasi di lanskap ini. Selain itu, ada pula mamalia, herpet, dan berbagai jenis ikan.
Species Officer Landscape Kubu WWF-Indonesia Program Kalbar Dewi Puspitasari mengatakan Lanskap Kubu didominasi oleh sungai-sungai dan pesisir. “Dengan kondisi hutan mangrove yang baik itu, dengan sendirinya telah menciptakan ruang hidup yang unik pula. Khususnya bagi satwa-satwa yang membutuhkan ruang, termasuk jenis satwa yang hanya mampu beradaptasi di hutan rawa,” katanya di Pontianak, Selasa (25/4/2016).
Namun, seiring pemanfaatan lahan dalam bentang alam ini, kegiatan-kegiatan pembukaan lahan dan lainnya menjadi ancaman bagi keberadaan dan kelangsungan hidup mereka. Misalnya, pemanfaatan bakau serta jenis pohon lainnya di area mangrove.
“Sejatinya, aktivitas tersebut mesti dilakukan secara bijak dengan tidak mengabaikan kearifan lokal dalam menjaga ekosistem mangrove sebagai tempat berkembang biaknya biota laut, dan menjadi benteng terhadap abrasi,” kata Dewi.
Jika ada pemanfaatan bakau yang mengabaikan konsep kelestarian, tentu akan menjadi ikutan bagi kegiatan lain seperti penebangan secara sembarangan, yang sudah pasti menimbulkan abrasi.
Perburuan satwa juga akan berpengaruh pada putusnya rantai makanan sehingga menyebabkan terjadinya over populasi bagi jenis lain. Dampak turunannya adalah mengancam pertanian di tingkat lokal. Perluasan lahan pertanian juga harus mengedepankan prinsip pemanfaatan lahan ramah lingkungan. Misalnya, tidak membakar lahan dan tidak menggunakan pestisida yang berdampak pada pemusnahan jenis tertentu.
Jejak Pesisir Nusantara (JPN), sebuah lembaga yang juga berkomitmen tentang pengelolaan sumber daya alam pesisir ramah lingkungan dan berkelanjutan sering melakukan pendampingan masyarakat di lanskap ini.
“Kita selalu mengajak masyarakat lebih mengutamakan peningkatan pendapatan dengan mengembangkan ekonomi alternatif ketimbang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak berkelanjutan,” kata Yuan, Ketua JPN yang saat ini menjadi mitra kerja WWF Indonesia di Lanskap Kubu.
Menurutnya, pendampingan yang sudah berjalan adalah pengembangan Madu Kelulut dan Madu Bakau. Selain itu, ada pula pelatihan alat tangkap ramah lingkungan serta pelatihan olahan produk jadi hasil perikanan, pendampingan penyusunan Perdes daerah perlindungan laut di tujuh desa. Dan, melakukan pembibitan serta penanaman bakau bersama masyarakat dan anak sekolah sebagai upaya menjaga kawasan mangrove untuk mencegah terjadinya abrasi.
Mangrove di lanskap ini juga merupakan persinggahan burung-burung migrasi dari utara (Asia utara dan Siberia), sebelum mereka melanjutkan tujuan migrasi ke selatan (Australia dan New Zealand), serta arus balik dari selatan ke utara. Fenomena ini terjadi sekali setiap tahun antara Agustus ke April.
Hal ini semakin memperkuat posisi pentingnya lanskap Kubu, tidak hanya sebagai ruang hidup bagi satwa-satwa lokal, juga menjadi penopang hidup bagi jenis-jenis satwa yang bermigrasi. Abdurahman Al Qadrie dari Kawan Burung Ketapang (KBK) mengatakan keberadaan burung-burung migrasi sangat penting bagi lanskap ini. Begitu pula jenis-jenis lokal yang residen (penetap).
“Banyak jenis dari burung-burung ini sangat bermanfaat bagi pertanian, terutama jenis raptor yang menjadi pemangsa bagi hama pertanian. Jika terjadi perburuan dan penangkapan yang menyebabkan punahnya jenis-jenis tertentu secara lokal, akan berpengaruh pada produktivitas pertanian,” jelasnya.