#XPDCMBD: SELAYANG PANDANG PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN SDL PULAU LUANG
Penulis: Estradivari (WWF-Indonesia)
Pulau Luang adalah lokasi penelitian yang spesial dalam ekspedisi ini karena merupakan pusat perikanan tangkap dan marikultur Maluku Barat Daya, yang mana 100% penduduk pulau ini bermata pencaharian sebagai nelayan. Tim Darat menghabiskan waktu dua hari di Pulau Luang dan satu hari di Atol Meatimarang – yang juga merupakan bagian dari Pulau Luang – untuk mengumpulkan data dan informasi.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh tim, baik via survei bawah laut dan wawancara, diketahui bahwa wilayah ini memiliki potensi sumber daya laut yang tinggi. Topografi yang unik dari area ini membuatnya menjadi rumah bagi spesies laut yang melimpah dan beraneka ragam. Tak hanya itu, daerah ini juga cocok untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Budidaya rumput laut pertama kali diperkenalkan pada akhir tahun 2008 dan sekarang sudah tersebar luas ke seluruh masyarakat, melibatkan mulai dari anak muda hingga orang tua. Setiap keluarga dapat memproduksi hampir dua ton rumput laut kering setiap 45-60 hari sekali sepanjang tahun. Kegiatan budidaya ini pun menjadi tumpuan ekonomi utama keluarga. Selain budidaya rumput laut, antara bulan September dan November tiap tahunnya, para nelayan pergi ke daerah sekitar terumbu karang untuk memancing ikan kerapu dan kakap. Ikan-ikan ini kemudian dijual dalam keadaan hidup kepada pengekspor ikan karang hidup. Di waktu lain, para nelayan menangkap ikan di dalam area ‘meti’ – yang berada di laguna di belakang gugusan karang – untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Selain itu, mereka juga memproduksi garam untuk masyarakat sekitar Pulau Luang dan pulau sekitar di Maluku Barat Daya.
Masyarakat setempat sadar bahwa mereka sangat tergantung pada sumber daya alam, namun mereka mengakui bahwa kawasan terumbu karang mengalami degradasi dalam beberapa tahun terakhir. Kebanyakan dari mereka menyalahkan para nelayan dari luar Maluku Barat Daya yang “mencuri” sumber daya ikan di wilayah Pulau Luang dan menggunakan alat tangkap merusak, seperti bom. Walaupun begitu, saya rasa alasannya tidak hanya nelayan dari luar. Namun, penggunaan sumber daya laut yang begitu besar, baik di Pulau Luang dan pulau-pulau sekitar, turut berperan dalam menambah tekanan terhadap degradasi terumbu karang ini. Tim Laut membenarkan bahwa kebanyakan terumbu karang yang berada di kedalaman kurang dari sepuluh meter telah terdegradasi secara signifikan dan didominasi oleh karang mati dan patahan karang. Namun di perairan yang lebih dalam, tim masih dapat ditemukan karang dengan kondisi yang baik.
Sasi, salah satu kearifan lokal yang ada untuk pemanfaatan sumber daya laut jenis tertentu, masih dilakukan hingga sekarang. Sistem sasi tidak lagi diatur di bawah hukum adat, melainkan di bawah hukum gereja. Hal ini cukup menunjukkan bahwa masyarakat sudah menyadari dan terbuka dengan upaya-upaya konservasi. Oleh karena itu, praktik perikanan tangkap yang benar dan rencana pengelolaan kawasan sangat penting untuk pengaturan dan perlindungan pemanfaatan sumber daya laut di Maluku Barat Daya sebelum terlambat.