#XPDCMBD: MENGIKUTI KESERUAN ‘BAMETI’ NELAYAN CILIK DESA USTUTUN
Penulis: Ignatius Tri Hargiyatno (KKP)
Ketika kita harus lebih berhati-hati dalam melangkahkan kaki di kawasan air laut yang mulai surut hingga bibir pantai – atau dikenal dengan istilah ‘meti’ – mereka berjalan dengan lincah di antara padang lamun menghindari duri bulu babi yang tajam bagaikan jarum yang siap menusuk. Ya, begitulah keseharian anak-anak Desa Ustutun di Pulau Liran, salah satu pulau terujung di Kabupaten Maluku Barat Daya yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.
Saat itu waktu untuk menimba ilmu di sekolah telah usai. Segerombolan anak-anak Desa Ustutun langsung bergegas ke ‘taman bermain’ yang tidak asing lagi bagi mereka, yaitu pantai dan laut. Sebagian dari anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku SD dan SLTP ini, membawa ember-ember kecil sebagai wadah untuk mengumpulkan kerang-kerang laut di antara padang lamun yang terhampar luas akibat ‘meti’. Bila ember-ember itu telah penuh, mereka akan menggunakan sampan sebagai wadah penampung sementara kerang-kerang itu. Selain kerang, ada beberapa anak yang membawa karung untuk memburu bulu babi, yang menurut mereka lezat untuk disantap walaupun masih dalam keadaan mentah.
Di sebagian besar wilayah Indonesia Bagian Timur – termasuk Kepulauan Maluku – kegiatan menangkap dan memanfaatkan sumber daya laut dan pesisir saat air laut dalam kondisi surut atau ‘meti’ ini dinamakan ‘bameti’. Selain kerang dan bulu babi, para nelayan cilik Desa Ustutun ini juga sering menangkap ikan saat kondisi ‘meti’, baik mengambil langsung ikan yang terperangkap di kolam-kolam kecil (tidal pool) maupun menggunakan alat tangkap.
Desa Ustutun masih memberlakukan sistem sasi. Menariknya, sasi atau peraturan yang berlaku bukan dari adat, melainkan dari gereja. Jika ada yang melanggar, maka akan terkena sanksi berupa dosa. Sasi ini sangat dihormati oleh warga Desa Ustutun, mengingat 70% penduduk desa tersebut beragama Kristen Protestan. Sasi di Desa Ustutun melarang warga untuk memanen teripang, lola, dan batulaga. Sasi tersebut berlaku selama empat tahun, yang setelah itu hanya dibuka selama 1-2 minggu. Saat sasi dibuka, warga diperbolehkan untuk memanen ketiga spesies laut tersebut bersama-sama.