SIMPOSIUM INTERNASIONAL HIDUPAN LIAR KEDUA; KONSERVASI SATWA LIAR, MANUSIA, DAN KEHIDUPAN HARMONIS KEDUANYA
WWF Indonesia bersama Universitas Riau dan Universitas Andalas mengadakan Simposium Internasional Hidupan Liar kedua pada 1-4 November 2015 dengan tema “Hidupan Liar dan Manusia: Memperkuat Kapasitas Menuju Keharmonisan” atau “Wildlife and People: Strengthening Capacity to Promote Harmony”. Simposium tersebut bertempat di Kampus Limau Manih-Universitas Andalas Padang-Sumatera Barat bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan dalam pengelolaan hidupan liar di Sumatera dan mencari solusinya. Beberapa pembicara datang dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Denmark, dan Indonesia yang merupakan pakar dan praktisi dalam bidang hidupan liar maupun konservasi alam.
Pulau Sumatera dikenal sebagai pulau yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi di dunia. Pulau ini didiami oleh 196 spesies mamalia yang 22 diantaranya tidak ditemukan di pulau lain di Indonesia (Rhee et al, 2004). Telah banyak penelitian dan terbitan ilmiah yang dihasilkan dari pulau ini namun masih belum dapat maksimal untuk mendukung pemanfaatan yang berkelanjutan. Sementara, kekayaan hayati pulau ini tengah menghadapi berbagai ancaman serius bahkan yang dapat menimbulkan pemusnahan yang sangat besar maupun kepunahan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mempererat semua pihak untuk dapat berkontribusi dan terintegrasi dalam penyelamatan kekayaan alam pulau ini bahkan yang lebih luas.
Salah satu upaya dapat dilakukan adalah mempererat semua pihak untuk dapat seluruhnya berkontribusi dan terintegrasi untuk penyelamatan pulau ini. Oleh karena, salah satu inisiasi nyata adalah diadakan 2nd International Wildlife Symposium yang diharapkan dapat mendorong lebih banyak orang untuk peduli dan terlibat dengan isu-isu terkini terkait keanekaragaman hayati di Sumatera maupun skala yang lebih luas, serta untuk meningkatkan kapasitas maupun integrasi dari masing-masing pihak yang terlibat di dalam pelestarian kehidupan liar. Simposium yang pertama telah sukses diselenggarakan di Universitas Riau pada 3 November 2014 silam.
Menanggapi pentingnya upaya konservasi hidupan liar, Dr. Ardinis Arbain dari Universitas Andalas menyatakan bahwa “Semua mahluk hidup mempunyai hak untuk hidup yang sama oleh karena itu, simposium ini diharapkan menjadi pijakan kuat untuk harmonisasi hidupan liar dan manusia.”
Senada dengan Dr. Ardinis Arbain, Dr. Sunarto dari WWF – Indonesia menambahkan “Kita perlu memperkuat hubungan dengan hidupan liar dan alam”. Selain itu ia juga menekankan arti pentingnya informasi ilmiah “Telah banyak penelitian ilmiah dihasilkan dari Pulau Sumatera namun masih belum terintegrasi dan saling memberikan informasi sehingga belum maksimal untuk mencapai keharmonisan antara manusia dan hidupan liar untuk pengelolaan sumber daya alam Sumatera yang berkelanjutan.”
Sumatera merupakan habitat bagi empat mamalia terancam punah yaitu harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), orangutan Sumatera (Pongo abelii). Deforestasi dan fragmentasi habitat alami hidupan liar telah menyebabkan konflik manusia-satwa liar yang menyebabkan kerugian di kedua belah pihak. Pada tahun 2012 telah ditetapkan penataan ruang Pulau Sumatera berbasis ekosistem melalui Peraturan Presiden nomor 13 namun upaya ini masih jauh untuk mencegah mereka dari tekanan dan ancaman kepunahan.
Simposium ini juga diharapkan akan menjadi buffer harmonisasi antara manusia dengan komponen penting seperti keberadaan hidupan liar, daerah tangkapan air, ancaman terhadap kawasan menjadi pertimbangan penting dalam penataan ruang berkelanjutan. Sunarto, ahli spesies WWF –Indonesia menyatakan,” Keterlibatan aktif dan sinergitas akademisi, ahli dan konservasionis dalam memberikan masukan berbasis informasi ilmiah kepada pemerintah dalam penataan ruang yang harmonis.” Selain itu, simposium ini harapannya juga dapat mengungkap berbagai informasi penting hidupan liar.
“Mengerti sebelumnya, mempelajari sekarang, dan memprediksi masa depan terkait hidupan liar itu sangat penting” tegas Dr. Andreas Wilting seorang pakar genetika hidupan liar yang juga menjadi keynote speaker.
Pada simposium ini, 56 abstrak penelitian berhasil dihimpun dan dipresentasikan yang terdiri dari berbagai objek penelitian maupun kegiatan konservasi hidupan liar mulai dari mamalia, tumbuhan, reptil/herpetofauna, ikan, aves, dan keanekaragaman hayati. Selain itu, pada simposium ini juga ditampilkan dua unit rancangan camera trap lokal buatan Indonesia yang didanai oleh WWF – Indonesia. Simposium ini juga dihadiri oleh lebih dari 200 orang dari berbagai negara.
Masyarakat luas juga harapannya menjadi mengerti bahwa upaya konservasi tidaklah mudah.
“Konservasi itu dapat bekerja ketika masyarakat tempatan melihat nilai dan manfaatnya” ujar Dr. Aletris M. Neils pakar karnivora dari Universitas Arizona yang menjadi salah satu keynote speaker.
Harapannya melalui simposium ini dapat menyebarluaskan isu – isu konservasi ke khalayak luas. Sebagai tindakan nyata, pada rangkaian simposium ini juga diadakan kunjungan lapangan untuk mengetahui sukses dan problem konservasi di Lembah Nyarai dan Pusat Konservasi Penyu Pariaman.
Simposium hidupan liar ini diharapkan menjadi agenda tahunan sebagai media untuk saling tukar informasi di antara akademisi, peneliti dan konservasionis dalam rangka menghasilkan rekomendasi penting untuk keberlanjutan hidupan liar dan ekosistem.