SETAHUN MORATORIUM SAWIT MENYUSUN LANGKAH STRATEGIS IMPLEMENTASI
Jakarta, 10 Oktober 2019 – Pada 19 September 2018, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan industri sawit, kebijakan yang selanjutnya berjudul Instruksi Presiden No.8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Menyadari pentingnya mengawal implementasi Inpres tersebut, Yayasan WWF-Indonesia (WWF-Indonesia) bekerja sama dengan KOMPAS menggelar diskusi publik bertajuk “Setahun Moratorium Kelapa Sawit, Intensifikasi Tanpa Ekspansi” di Jakarta pada 10 Oktober 2019. Hadir sebagai narasumber Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dr. Prabianto Mukti; Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Direktorat Jenderal Perkebunan Ir. Irmijati Rachmi Nurbahar; Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Ir. Mukti Sardjono; dan Direktur Komunikasi Yayasan AURIGA Nusantara Syahrul Fitra.
Terdapat empat poin penting dalam Inpres No.8/2018 ini, yaitu melakukan penundaan penerbitan izin baru, meninjau ulang perizinan yang telah terbit, menyelamatkan lahan yang sudah berizin namun belum dimanfaatkan atau diterlantarkan, dan memastikan bahwa pemenuhan kebutuhan pasokan tandan buah sawit untuk diolah berasal dari peningkatan produktivitas kebun dan berasal dari lahan yang clean and clear.
Namun setelah setahun berjalan, penerapan Inpres ini dinilai masih kurang maksimal. Pihak pemerintah sudah melakukan konsolidasi data perkebunan sawit di Indonesia, harapannya data ini yang akan menjadi acuan para pihak terkait yang relevan untuk menjalankan moratorium sawit. Jika tidak dilakukan perbaikan maka moratorium sawit tak akan sampai pada tujuannya. Di samping itu, kemungkinan adanya pembukaan lahan baru yang disalahgunakan akan terus terjadi.
Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti menyampaikan, “adanya perbedaan data luas kebun sawit menjadi tantangan implementasi Inpres No.8/2018 ini. Kami menyadari untuk melaksanakan Inpres ini tidak bisa dilakukan tanpa adanya satu data akurat yang bisa diterima semua pihak. Saat ini pemerintah terus melakukan rekonsiliasi peta tutupan sawit nasional. Hal ini diperlukan untuk mengintegrasikan data dalam Kebijakan Satu Peta (KSP) yang nantinya akan menjadi dasar pengambilan keputusan terkait kebun sawit.”
Desember 2018, Presiden RI meluncurkan Geoportal Kebijakan Satu Peta yaitu sistem yang menyediakan satu peta akurat dan akuntabel sebagai acuan perencanaan pembangunan, penyediaan infrastruktur, penerbitan izin dan hak atas tanah, serta berbagai kebijakan nasional. KSP didaulat sebagai sebuah portal umum tunggal berisi data dan informasi yang tersinkronisasi dan digital mengenai penggunaan lahan, tutupan dan batasannya, mengenai konsesi dan berbagai lapisan tematik lain. Adanya KSP diharapkan meminimalisir terjadinya masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan.
“Pelaku industri perkebunan kelapa sawit memerlukan kepastian hukum dan data untuk berusaha. Saat ini masih terjadi tumpang tindih berbagai izin terutama hak guna usaha dan kawasan hutan. Perizinan yang tidak sinkron tersebut dapat memicu terjadinya perdebatan dan konflik. Hal ini justru tidak memberi kepastian dalam berinvestasi dan menjauhkan target untuk meningkatkan produktivitas. GAPKI mengapresiasi Inpres No.8/2018 ini karena akan membantu perbaikan tata kelola dan peningkatan produktivitas, terutama perkebunan sawit rakyat. Semoga implementasi Inpres ini memperbaiki ketelanjuran yang ada,” tegas Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Mukti Sardjono.
Pada diskusi publik ini, Direktur Komunikasi Auriga Syahrul Fitra turut mengingatkan, "ada pelepasan area 1,4 juta hektar lahan yang masih berhutan yang dialokasikan untuk korporasi sawit oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jika semua pihak benar menyepakati prinsip moratorium untuk intensifikasi tanpa ekspansi lahan, maka area berhutan namun telah dilepaskan ini perlu segera dikembalikan fungsinya sebagai hutan."
Selain sebagai sarana evaluasi, diskusi publik ini bertujuan mendiseminasi informasi, data, serta tantangan-tantangan implementasi Inpres untuk menghubungkan satu lembaga dengan lembaga lainnya atau satu kebijakan dengan kebijakan lainnya. Dalam mengawal moratorium sawit yang usianya hanya tiga tahun ini, perlu peran serta berbagai lembaga untuk mendukung pemerintah. Tantangan terbesar yang perlu segera diselesaikan adalah bagaimana tipologi permasalahan sawit di kawasan hutan, serta menjadikan momentum ini untuk menekan laju ekstensifikasi lahan sawit dan menerapkan intensifikasi.
Senada dengan Auriga, WWF-Indonesia menegaskan bahwa isu sawit mendesak untuk ditangani oleh berbagai pihak, apalagi pasar di berbagai negara secara terbuka menuntut bukti sawit berkelanjutan sebagai komoditas unggulan kebanggaan Indonesia.
"Moratorium adalah langkah awal yang baik namun tidak cukup jika sebatas lip service. Moratorium harus dijalankan penuh, yang artinya produktivitas diintensifkan, ekspansi dihentikan, praktik berkelanjutan wajib dijadikan pedoman" kata Direktur Kebijakan dan Advokasi WWF-Indonesia Aditya Bayunanda.
Diskusi, kajian, dan liputan yang diselenggarakan bersama dengan Kompas hari ini dan sebelumnya akan dituangkan ke dalam buku yang berisikan rekomendasi langkah-langkah strategis implementasi Inpres oleh berbagai pihak. Hasil rekomendasi ini rencananya akan diserahkan kepada Presiden RI dan Menteri Kabinet Kerja periode 2019 – 2024 sebagai referensi untuk melengkapi strategi pemerintah mengingat waktu berlakunya moratorium masih tersisa dua tahun ke depan.
“Industri kelapa sawit merupakan kebutuhan sekaligus kewajiban kita bersama untuk memastikan produktivitas yang optimal, dilakukan dengan praktik berkelanjutan dan bebas konflik. Selain terus mendorong tata kelola melalui kontrol pelaksanaan kebijakan yang berpihak pada moratorium kelapa sawit, WWF-Indonesia juga berinisiatif menuangkan hasil diskusi publik ini dalam sebuah buku. Nantinya, buku ini akan diserahkan kepada Presiden RI dan Menteri Kabinet Kerja periode 2019 – 2024 sebagai rekomendasi strategis implementasi Inpres dalam sisa waktu dua tahun ke depan,” tutup Direktur Kebijakan dan Advokasi WWF-Indonesia Aditya Bayunanda.
- SELESAI -
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:
- Karina Lestiarsi, Media Relation Specialist WWF-Indonesia (Email: Klestiarsi@wwf.id | Hp : +62 852-181-616-83)
Tentang WWF-Indonesia
WWF-Indonesia adalah organisasi nasional yang mandiri dan merupakan bagian dari jaringan global WWF. Mulai bekerja di Indonesia pada tahun 1962 dengan penelitian badak jawa di Ujung Kulon, WWFIndonesia saat ini bergiat di 34 wilayah kerja lapangan di 17 provinsi mulai dari Aceh hingga Papua. Didukung oleh sekitar 500 staf, WWF-Indonesia bekerja sama bersama pemerintah, masyarakat lokal, swasta, LSM, masyarakat madani dan publik luas. Sejak 2006, WWF-Indonesia didukung oleh sekitar 100.000 suporter dalam negeri. Kunjungi www.wwf.id