SAATNYA MENCEGAT KEPUNAHAN
Clara Rondonuwu
SATU pangkal persoalan yang mengancam biodiversitas Indonesia ialah ketidaktahuan. Pemilik belantara tropis ini tak sanggup mencegat berlanjutnya kepunahan spesies sebab data sains tidak memadai. Tempat flora dan fauna berkembang entah jauh atau tidak mempunyai akses terbuka. Akibatnya, janji sewindu lalu gagal terpenuhi.
Indonesia, salah satu negara dalam Konvensi Keragaman Hayati PBB (CBD) yang sudah berjanji pada 2002 lalu untuk menurunkan secara signifikan tingkat kehilangan biodiversitas tepat 2010, gagal mencapai targetnya sendiri. Untuk harimau sumatra-satwa endemik yang kini berstatus kritis-misalnya, tingkat kehilangan habitat menurut WWF Indonesia mencapai 12 juta hektare atau 48% selama kurun 1985-2007.
Miskinnya penelitian dan evaluasi keragaman hayati ekosistem Sumatra telah menyebabkan ekspansi manusia kini merembet ke hutan lindung dan dataran rendah tempat hidup harimau. Pada akhir cerita, tidak hanya harimau sumatra yang bernasib tragis. Namun, seluruh harta karun biodiversitas yang kompleks di dalamnya pun terkena imbas.
Ekspansi manusia di hutan tropis, sebagaimana disebutkan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dalam pesan globalnya untuk menandai 2010 sebagai tahun biodiversitas, ialah mesin kepunahan yang 1.000 kali lebih cepat daripada proses kepunahan yang bergulir alamiah.
Ekonomi palem
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Endang Sukara mengatakan Indonesia akan lebih sehat jika mampu melihat biodiversitasnya secara jernih. Dia menegaskan eksploitasi ekosistem Sumatra dan Kalimantan yang sesungguhnya sangat rapuh merupakan kegagalan perspektif biodiversitas yang membawa kerugian besar.
Pasalnya, kawasan dengan gambut ini relatif lebih sulit dikembalikan ke kondisi semula ketimbang ekosistem lain di Indonesia.
Maka, untuk mencegah salah perspektif di masa mendatang, Endang kini sibuk menggarap salah satu mata riset berharga yang dipersiapkan untuk Tahun Biodiversitas 2010. Yakni penggalian ekonomi palem di kawasan timur Indonesia supaya pengusaha dan pemerintah tidak keliru mengapling hutan Papua.
Lebih dari 4 juta hektare belantara sagu di kawasan Indonesia timur yang sesungguhnya merupakan tegakan terluas di dunia saat ini. Selama ini, ungkap Endang, modal itu tidak dilirik dan dieksplorasi. Pembangunan justru mengincar eksploitasi hutan berharga Papua.
Pemrosesan kekayaan alam yang terpaku pada spesies-spesies padi, jagung, gandum, kentang, dan kedelai membuat kelimpahan sagu lupa dipoles menjadi perkebunan.
Teknologi pangan pun tidak melakukan investasi riset mendalam untuk mengolah sagu ke bentuk mi, instant granulo, atau bahkan riset energi dan bahari baku obat,"" pungkas Endang.
Itu sebabnya, ekonomi palem Indonesia ini salah satu topik yang bakal dimunculkan Endang ke tengah diplomasi global Conference oil Pasties to the Convention on Biological Diversity, Oktober mendatang di Nagoya, Jepang.
Dia berniat mengaitkan kekayaan palem Indonesia timur dengan pangan potensial untuk perubahan iklim. Pasalnya, menurut riset awal, pepohonan sagu juga lontar yang selalu tampak hijau pada kawasan Flores dan Rote di Nusa Tenggara Timur sesungguhnya paling tahan salinitas. Keunggulan itu tidak dimiliki tanaman pangan lain saat intrusi air laut menghantui kepulauan Indonesia.
""Dibuka sedikit, batang lontar sudah penuh dengan tepung. Belum lagi hasil gula niranya. Itu dia, Indonesia kurang riset dan kurang bersyukur akan kelimpahan ini,"" kata dia. (M-8)
clara@mediaindonesia.com