PULAU KOMODO : SAMPAH TIDAK KULDESAK
Oleh Indarwati Aminuddin
Dahlan memiliki pembawaan ramai, riang, penolong dan meluangkan waktu untuk mengurusi warga di Kampung Air. Rumahnya pernah dikunjungi Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia saat Sail Komodo 2013 dan membuatnya mendapatkan bonus satu paying besar persegi yang ditancap samping rumahnya dan jadi pusat berkegiatan warga ; Posyandu, pertemuan nelayan, pertemuan politik dan pengajian.
Sebagai ketua RT 012, tugas Dahlan tak jauh dari mendengarkan keluhan warga. Dari sederet persoalan terdapat satu masalah yang tampak kuldesak ( tak ada jalan keluar) sampah! “Pemerintah bilang buang sampah di tempatnya, namun semua tempat sampah penuh, ”katanya. Ia berulang kali mengikuti rapat soal sampah hingga tiba pada satu keputusan, “bosan”. Keputusan buruk pun dilakukan warganya membuang sampah di laut.
Kampung Air, tempat menarik untuk mendapatkan rekam akulturasi dan melaut para nelayan Bugis-Makassar sejak 1950, yang saat ini populasinya mencapai 200 kepala keluarga. Kampung ini salah satu penyangga kawasan taman Nasional Komodo dalam dua pengertian sekaligus peluang dan ancaman. Di sini, ratusan nelayan aktif beroperasi dalam dan sekitar taman Nasional Komodo, dan berjuang menghindari persoalan hukum yang diakibatkan penangkapan ikan berlebihan, atau tak ramah lingkungan. Di satu sisi, warga Kampung Air melihat peluang nyata kepariwisataan, dimana produk kuliner, serta kesenian dan budaya bisa di kembangkan (meski harus berperang melawan sampah yang menumpuk depan kampung Air). Bila pariwisata berkelanjutan dikembangkan dan diiringi dengan pengurangan sampah, maka Kampung Air menjadi kawasan penyangga yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi Komodo.
Mengurai Sampah
Beban berat bagi warga Kampung Air adalah mengurai simpul sampah hingga Kampung Air bersih dan menarik hati wisatawan untuk mampir. “Kami bermimpi mendapatkan penghasilan tambahan dari kunjungan turis di Komodo ini,” kata Dahlan. “Namun sampah benar-benar berantakan dalam arti harfiah, menyumbati selokan, menumpuk di pembatas pantai, depan rumah, bawah pohon dan di sisi jalan utama.”
Persoalan sampah menurutnya di mulai dari proses pembuangan tidak pada tempatnya (rata-rata warga tak memiliki tempat sampah), proses pengangkutan sampah (dalam setahun dihitung jari pengangkutan sampah ketempat pembuangan akhir sampah). “Jadinya mau buang kemana?“ keluh Dahlan. Namun masalah sampah Kampung Air adalah persoalan semua pihak di Manggarai Barat, dimana pertumbuhan pengunjung berjalan seiring peningkatan volume sampah. Tak terhitung jumlah tamu sebal lalu menjadi volunteer, mengumpul sampah plastic dan mengajak warga lain ikut serta. “Mereka gerah melihat sampah,” kata Stefan.
Hasil studi WWF-Indonesia dan Balai Taman Nasional Komodo menunjukkan 90 persen sampah tak tertalangi adalah sampah plastic yang justru berpeluang menambah pendapatan, bisa di daur kreatif ,dan tergeletak di sejumlah ruas jalan (lihat peta). Tiap rumah tangga Labuan Bajo memproduksi sampah minimal satu kantong plastic berukuran 40x50 cm atau setara dengan 4710 cm3 (2x 3,14) x 15 x 50).
Jika total rumah tangga 1294 di Labuan Bajo di kalikan dengan 4710 cm3 maka warga Labuan Bajo menghasilkan 6,094.740 cm3 sampah per hari. Wilayah penyangga dan wilayah dalam kawasan taman Nasional Komodo juga memproduksi sampah sebanyak: 1,577,850 cm3 (Pulau Papagarang), 1,931,100 cm3 (Pulau Komodo), 1,818,060 cm3 (Pulau Pasir panjang), dan 942,000 cm3(Kampung Air).
Marsel Sani, staf Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Manggarai Barat mengatakan, “kemampuan staf kebersihan sendiri adalah 9meter3 per sekali angkut,” jelasnya. Ini diiringi dengan minim fasilitas pendukung 3 truk sampah tak beroperasi tiap hari, dan tempat pembuangan akhir sampah berukuran 500 M2 berusia 20 tahun yang tak mampu menampung sampah lagi.
Akibatnya bisa ditebak, ledakan sampah terjadi dimana-mana jalan, pasar, gedung perkantoran, hotel, restaurant dan sudah pasti di Kampung Air. “Kesadaran mengelola sampah harus jalan seiring dengan sarana pendukung pengelolaan sampah, ” kata Marsel.
Sejumlah pertemuan dilakukan WWF-Indonesia dengan para pihak di Manggarai Barat, baik Pemerintah, lembaga non swadaya masyarakat, komunitas hingga pihak pengelola bisnis sampah. Prioritas kerja WWF dibagi dalam empat komponen yakni (1) Dukungan terhadap management pengelolaan sampah berdasarkan hirarkinya pembuangan, daurulang, pengurangan, (2) dukungan terhadap mata rantai bisnis sampah, (3) dukungan terhadap peraturan-peraturan pengelolaan sampah, (4) dukungan terhadap peningkatan kesadaran pengelolaan dan pengurangan sampah. Target grup dari empat komponen ini adalah pelaku usaha, pemerintah dan komunitas.
Dalam pertemuan komunitas Kampung Air dan WWF-Indonesia, strategi awal yang dibangun adalah menjadikan sampah sebagai gerakan bersama dengan tujuan Kampung Air bisa menjadi salah satu lokasi wisata berbasis masyarakat bernilai plus. WWF selanjutnya menjembatani warga dengan kolektor pembeli sampah plastik. Tahap berikutnya adalah mengikat komunitas dengan kepariwisataan sembari mendorong konsistennya implementasi peraturan pengelolaan sampah. “Kami melihat peluang pariwisata tapi sekaligus melihat ancaman akibat sampah ini. Jadi yah meski kelihatan susah, tapi ini bukan berarti tak ada jalan keluar,” ujar Dahlan. Sampah tidak kuldesak.