PILIH PANGAN BIJAK UNTUK KEANEKARAGAMAN HAYATI, KETAHANAN PANGAN, KESEHATAN, DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Jakarta, 22 Mei 2019 -- Lima lembaga, Hivos, WWF-Indonesia, NTFP-EP, ASPPUK dan AMAN, yang tergabung dalam konsorsium proyek "Local Harvest: Promoting sustainable and equitable consumption and local food systems in Indonesia" meresmikan peluncuran kampanye “Pangan Bijak Nusantara” di Jakarta, bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional yang diperingati tanggal 22 Mei 2019.
Kampanye publik dan multi-tahun ini diharapkan mampu mendorong perubahan gaya konsumsi pangan yang signifikan ke arah konsumsi produk pangan yang berasal dari sumber yang etis dan berkelanjutan, melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen mengenai dampak dari pilihan makanan mereka. Kuasa Usaha Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Charles-Michel Geurts menambahkan "Uni Eropa selaku pendukung dana proyek "Local Harvest: Promoting sustainable and equitable consumption and local food systems in Indonesia" mendukung konsumsi pangan berkelanjutan sebagai salah satu sasaran program EU SWITCH Asia II.
Tujuh komoditas yang diangkat dalam kampanye Pangan Bijak Nusantara hanya beberapa contoh hasil dari sistem produksi pangan tradisional dan produk pangan lokal, lestari, adil dan sehat yang banyak ditemukan di berbagai wilayah pedesaan di Indonesia. Sistem produksi ini merupakan solusi untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan yang ramah lingkungan dan sehat, mendorong kesejahateraan masyarakat, dan membantu pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs).”
“Kebutuhan produksi pangan yang terus meningkat membuat sektor pertanian menjadi salah satu penyebab signifikan terjadinya degradasi lingkungan dan kepunahan keanekaragaman hayati di tingkat global, termasuk di Indonesia. Namun, sebenarnya ada cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi tekanan produksi dan konsumsi pangan terhadap lingkungan, dan memitigasi polusi air, tanah dan udara, yaitu dengan mempertahankan dan memperkuat karakter-karakter budidaya pangan tradisional dan lokal sebagai sebuah praktik konservasi dan gaya konsumsi dan produksi yang lebih sehat dan berkelanjutan,” kata Aditya Bayunanda, Direktur Kebijakan dan Advokasi WWF-Indonesia.
Penjelasan Aditya tersebut sejalan dengan tema utama yang diangkat Hari Keanekaragaman Hayati Internasional tahun 2019, “Our Biodiversity, Our Food, Our Health” yang menekankan pentingnya keanekaragaman hayati untuk kesehatan dan ketahanan pangan. Hal yang sama juga ditekankan dalam laporan IPBES (Intergovernmental Science and Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) yang dirilis tanggal 6 Mei 2019, yang menyatakan hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk keanekaragaman genetik akan melemahkan banyak sistem pertanian sehingga beresiko serius bagi ketahanan pangan. Semakin sedikit varietas dan jenis tumbuhan dan binatang yang dibudidayakan dan dipelihara di dunia saat ini untuk memenuhi kebutuhan pangan. Berkurangnya keanekaragaman tanaman pangan ini mengindikasikan ketahanan ekosistem pertanian yang semakin lemah.
Istilah “Pangan Bijak” sendiri dipilih untuk mewakili sejumlah prinsip dalam produksi dan konsumsi pangan yang lokal (setempat), adil (harga yang adil untuk produsen dan konsumen), sehat (organik, alami) dan lestari (menjaga lingkungan, melestarikan keanekaragaman sumber pangan).
Direktur Regional Hivos Asia Tenggara, Biranchi Upadhyaya menerangkan, “Produksi pangan lokal, adil, sehat dan lestari sangat penting artinya untuk memastikan keberlanjutan kehidupan masyarakat yang sejahtera, sehat dan selaras dengan lingkungan. Kampanye ini akan mendukung berbagai upaya lainnya yang dilakukan konsorsium melalui advokasi kebijakan dan mendorong praktik produksi pangan lokal yang menghargai aspek-aspek kesehatan, keadilan ekonomi dan kelestarian lingkungan.”
Kampanye Pangan Bijak Nusantara mengangkat tujuh produk utama sebagai contoh produk ‘pangan bijak’, yaitu beras Adan Krayan asal dari dataran tinggi Krayan, garam krosok asal Rembang, minyak kelapa murni asal Nias, gula semut aren asal Kolaka, madu hutan Danau Sentarum, kopi Toraja dan sagu Sungai Tohor. Ketujuh produk ini dihasilkan oleh kelompok produsen masyarakat adat dan lokal yang tersebar di 14 kabupaten di 8 provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sumatera Utara, Riau, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Tujuh produk tersebut menjadi contoh produk-produk yang dihasilkan dari sistem pertanian tradisional yang dikembangkan dan dikelola masyarakat adat dan lokal. Melalui praktik pertanian tersebut, masyarakat di masing-masing daerah telah membuktikan mampu menjalankan sistem produksi pangan yang efisien, berkelanjutan, adil untuk kaum petani dan berintegrasi baik dengan ekosistem sekitarnya, dan menjaga kenanekaragam hayati sumber pangan. Konsorsium mendorongkan sistem-sistem serupa dan pengetahuan tradisonal yang terkait untuk didokumentasikan, didukung, dan diperkenalkan kepada konsumen, khususnya konsumen urban. Dengan demikian konsumen akan berperan dengan meningkatkan permintaan atas produk pangan lokal yang memiliki sertifikasi asal produk yang jelas, membatasi penggunaan bahan kimia berbahaya dan berkontribusi ada kesejahteraan ekonomi kaum petani dan produsen, baik laki dan perempuan dan masyarakat adat.
- SELESAI-
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Margareth Meutia | Public Campaign Specialist, WWF-Indonesia | mmeutia@wwf.id | +6281 5881 2844
Cristina Eghenter | Deputy Director for Social Development, WWF-Indonesia | ceghenter@wwf.id | +6281 347121590
Miranda | Project Manager SWITCH Asia Local Harvest, Hivos | miranda@hivos.org | +6282 110360053
Tentang Konsorsium Proyek EU Switch Local Harvest Hivos adalah lembaga internasional yang mengupayakan solusi baru untuk menghadapi isu-isu global. Dengan proyek tepat guna, kami menentang diskriminasi, ketidaksetaraan, penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Untuk itu kami bekerjasama dengan pelaku usaha, masyarakat dan lembaga masyarakat yang inovatif. Kami berbagi mimpi dengan mereka untuk meraih ekonomi yang berkelanjutan dan masyarakat yang inklusif.
WWF-Indonesia dalah organisasi nasional yang mandiri dan merupakan bagian dari jaringan global WWF. Mulai bekerja di Indonesia pada tahun 1962 dengan penelitian badak jawa di Ujung Kulon, WWF-Indonesia saat ini bergiat di 32 wilayah kerja lapangan di 17 provinsi mulai dari Aceh hingga Papua. Didukung oleh sekitar 500 staf, WWF-Indonesia bekerja sama bersama pemerintah, masyarakat lokal, swasta, LSM, masyarakat madani dan publik luas. Sejak 2006 hingga 2013, WWF-Indonesia didukung oleh sekitar 64.000 suporter dalam negeri. Kunjungi www.wwf.id.
Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Micro (ASPPUK) adalah jaringan Ornop/LSM perempuan yang beranggotakan 54 Ornop/LSM yang tersebar di 22 propinsi di Indonesia. Aktivitas utama ASPPUK adalah melakukan penguatan perempuan usaha kecil mikro dalam pengembangan usaha dan penyadaran kritis Perempuan melalui pengorganisasian, pelatihan, diskusi kritis, seminar, bantuan teknis, fasilitasi pengembangan dan kualitas produk Local sampai pada pemasaran.
Non-Timber Forests Products-Exchange Programme Indonesia (NTFP-EP Indonesia) adalah organisasi jaringan kerja sama antar organisasi masyarakat sipil dan organisasi komunitas masyarakat lokal dan adat yang berbasis hasil hutan bukan kayu di Indonesia. Bersama masyarakat kami bekerja untuk memperkuat kapasitas komunitas, khususnya hasil hutan bukan kayu untuk pengelolaan sumber daya alam yang lestari.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan independen dengan visi untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera bagi semua Masyarakat Adat di Indonesia. AMAN bekerja di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk mewakili dan melakukan advokasi untuk isu-isu Masyarakat Adat. Saat ini, AMAN beranggotakan 2.332 komunitas adat di seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar ± 17 juta anggota individu. Kami menempati wilayah adat kami secara turun-temurun. Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan mereka sebagai komunitas adat.
Tentang Program EU SWITCH Asia Sejak 2007 Uni Eropa telah mendanai lebih dari 300 juta Euro untuk mendukung tiga komponen program SWITCH Asia, yaitu proyek hibah, proyek kebijakan di tingkat nasional dan regional serta Sustainable Consumtion and Production (SCP) Facility. Sampai saat ini SWITCH Asia program telah mendanai 116 proyek hibah, 5 proyek kebijakan tingkat nasional dan 1 proyek kebijakan tingkat regional untuk 19 negara di Asia. Tujuan proyek ini adalah untuk kemakmuran kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan di Asia dengan cara mempromosikan konsumsi dan produksi berkelanjutan. Di Indonesia, SWITCH Asia telah mendanai 11 proyek di berbagai sektor industri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) seperti batik, tahu dan tempe, furnitur berbasis kayu, rotan dan sebagainya. Informasi lebih lanjut tentang program SWITCH Asia dapat diakses melalui: www.switch-asia.eu.