PERSAINGAN TEMPAT TINGGAL ANCAM HIDUP BADAK JAWA
Oleh: Nur Arinta
Taman Nasional Ujung Kulon merupakan satu-satunya habitat alami Badak Jawa yang tersisa di Indonesia. Taman nasional ini menjadi habitat yang cocok karena menyimpan kebutuhan bagi badak bernama latin Rhinoceros sondaicus ini, seperti baik tanaman pakan, tempat berlindung, air dan mineral, hingga tempat beranak pinak. Tidak hanya itu, badak bercula satu ini hanya dapat bertahan hidup di dataran rendah. Itu sebabnya lokasi Taman Nasional Ujung Kulon sangat cocok menjadi habitat Badak Jawa.
Sayangnya, Taman Nasional Ujung Kulon tidak hanya menjadi habitat bagi Badak Jawa, namun juga bagi mamalia besar lain seperti banteng. Beberapa temuan lapangan dari beberapa peneliti menunjukkan adanya indikasi persaingan antara Badak Jawa dengan banteng. Dikutip dari buku Teknik Konservasi Badak Indonesia karya Prof. Hadi Alikodra dkk, 2013, disebutkan persaingan terlihat dari banyaknya jenis tumbuhan pakan yang sama, adanya dominasi tumbuhan tertentu yang tidak menguntungkan bagi ketersediaan tumbuhan pakan Badak Jawa, dan jalur lintasan yang tumpeng tindih antar keduanya.
Prof. Hadi Ali Kodra mengatakan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon jauh lebih sering berada dan mencari makan di dalam hutan. Bahkan terdapat pula kelompok banteng yang hidup di dalam hutan dan tidak pernah mengunjungi padang penggembalaan. Kondisi yang demikian tentu berpengaruh pada kehidupan populasi badak yang khas dengan satu culanya. Mau tidak mau, Badak Jawa dan banteng akan berinteraksi dan konsumsi sumber daya yang sama yang ada, sehingga mempengaruhi proses regenerasi tumbuhan pakan tersebut.
Hal lain yang mempengaruhi terancamnya Badak Jawa dalam persaingannya di alam dengan banteng adalah perbedaan tingkat reproduksi yang berbeda. Tingkat reproduksi Badak Jawa sangat lamban dibandingkan dengan mamalia besar lainnya. Berdasarkan data yang dikutip dari mongabay.com, interval dalam satu kali masa melahirkan pada badak betina menghabiskan waktu sekitar 4 – 5 tahun, setelah masa kehamilan selama 15 sampai 16 bulan. Sifat badak yang soliter juga membuat spesies ini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menyendiri. Hal ini mendorong kecilnya potensi badak untuk berkembang biak dalam kurun waktu yang cepat. Hingga saat ini, populasi Badak Jawa di TNUK tercatat sebanyak 68 individu.
Berbeda dengan Badak Jawa, Banteng memiliki tingkat reproduksi yang lebih tinggi. Data pada buku Teknik Konservasi Badak Indonesia menunjukan bahwa populasi banteng di TNUK mengalami peningkatan yang signifikan. Sifat banteng yang hidup berkelompok juga mendorong tingginya tingkat reproduksi satwa ini. Mengutip dari buku yang sama, banteng sejatinya merupakan herbivora pemakan rumput (grazer) daripada pemakan daun dan semak (browser). Namun Profesor Ali Kondra mengatakan, banteng yang hidup di TNUK lebih bersifat browser. Hal ini didukung dengan banyaknya kelompok banteng yang hanya mencari makan di dalam hutan, bukan di padang rumput untuk penggembalaan.
Selain adanya persaingan ekologi dengan banteng, populasi Badak Jawa di TNUK juga menghadapi ancaman lainnya. Posisi TNUK yang berdekatan dengan gunung berapi yang masih aktif, yakni Anak Gunung Krakatau, membuat ancaman bencana alam menghabisi populasi Badak Jawa yang tersisa di alam. Gunung berapi yang masih aktif tersebut sewaktu-waktu dapat meletus dan menimbulkan bencana tsunami. Bila tsunami terjadi, bukan tidak mungkin ombak laut yang besar itu dapat merenggut semua populasi Badak Jawa yang ada di TNUK.
Populasi Badak Jawa dilihat dari sisi kemampuan reproduksinya yang lamban dan ancaman bencana alam, seperti tsunami yang bisa terjadi kapan saja. Ini diperkuat dengan adanya studi yang diterbitkan oleh jurnal konservasi dunia yang cukup bergengsi, Conservation Letter. Dalam studi tersebut menyatakan bahwa sebagian populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) berada dalam jangkauan Gunung Berapi Krakatau dan dekat dengan Cekungan Sunda, lokasi ini merupakan daerah konvergen lempengan tektonik yang berpotensi menyebabkan gempa bumi, dan dapat memicu terjadinya tsunami. Dalam studi ini, para peneliti membuktikan bahwa jumlah populasi pada tahun 2013 yang berjumlah 62 individu ini merupakan populasi yang padat dalam satu habitat. Dalam studi ini juga diproyeksikan jika terjadi bencana tsunami setinggi 10 meter, atau sekitar 33 kaki dalam 100 tahun kedepan, dapat mengancam 80 persen area kawasan taman nasional, padahal kawasan ini merupakan habitat dengan kepadatan populasi Badak Jawa tertinggi.
Oleh karena itu, upaya yang tepat harus segera dilakukan untuk mencegah punahnya Badak Jawa dari Indonesia dan dunia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membangun habitat baru (second habitat) setelah TNUK untuk Badak Jawa. Adanya ide akan habitat baru ini pasalnya sudah ada sejak tahun 1989 yang kemudian dituangkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak Jawa melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.43/Menhut-II/2007. Namun perwujudan habitat baru untuk Badak Jawa masih dalam diskusi hingga sekarang.