PENYU LEKANG NAN MALANG
(12/4) Seperti malam-malam sebelumnya, tim enumerator WWF-Indonesia turun ke pantai peneluran penyu untuk melakukan pemantauan terhadap penyu yang naik ke pantai untuk bertelur. Begitu pula dengan Salem – Enumerator di Desa Wamlana telah bersiap menjalankan tugasnya dengan ditemani cahaya senter di tangan. Salem juga membekali dirinya dengan pita meter untuk mengukur morfometri atau panjang lengkung karapas penyu, alat pengambilan sampel, alat pemasangan pit tag dan lainnya yang tersimpan di dalam tas anti air. Aktivitas ini sudah berlangsung hampir empat tahun terhitung sejak 2017 di Desa Waenibe, Waspait dan Wamlana di Kecamatan Fena Leisela, Kabupaten Buru, Maluku. Berdasarkan data pemantauan pada tahun-tahun sebelumnya, diketahui bulan April hingga Mei merupakan musim puncak peneluran bagi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea).
Dinginnya malam, gemuruh ombak dan desir semilir menemani pemantauan Salem. Beruntung malam ini cahaya rembulan cukup terang sehingga menambah jarak pandangnya untuk tidak terlalu sering menggunakan senter saat berjalan di pantai karena penyu sangat sensitif terhadap cahaya. Adanya cahaya dapat menakuti penyu yang ingin bertelur, sehingga membuat penyu mengurungkan niatnya untuk bertelur di lokasi itu. Salem melakukan pemantauan malam pada pukul 21.00 - 04.00 WIT dengan cara menyusuri pantai sepanjang 4,42 km dari total area pemantauan sepanjang 12,7 km. Salem kemudian berjaga di lokasi yang merupakan hot spot area peneluran penyu. Pemantauan malam ini dilakukan untuk mendapatkan data morfometri penyu yang datang untuk bertelur, mengumpulkan sampel jaringan kulit untuk mengetahui informasi genetik penyu, serta mengamankan sarang dari ancaman manusia dan predator. Pemantauan malam juga bertujuan untuk mengamati individu penyu yang bertelur. Jika penyu ditemukan bertelur di bawah pasang tertinggi atau di lokasi yang rentan hilang akibat predator maupun manusia, maka telur penyu akan direlokasi ke tempat yang lebih aman sesuai prosedur.
Salem turun ke pantai menuju arah timur yang berbatasan dengan area pemantaun rekannya di Desa Waspait. Belum lama Salem berjalan, terlihat penyu sang reptil laut mengais pasir yang berlokasi tidak jauh dari pemukiman warga. Sesegera mungkin Salem mendekati lokasi penyu. Terlihat satu individu Penyu Lekang sedang menggali lubang badan atau biasa disebut body pit. Penggalian lubang badan dilakukan agar penyu tetap nyaman ketika melakukan proses pembuatan sarang. Penyu membuat body pit dengan flipper dan tubuhnya yang bergerak hingga terbentuklah lubang dengan ukuran yang sesuai untuk menyokong tubuhnya selama proses peneluran.
Ketika akan melakukan pengukuran, Salem merasa ada hal aneh pada Penyu Lekang ini, karapasnya memiliki beberapa cacat berukuran besar seperti akan hancur, sungguh Penyu Lekang nan malang. Kondisinya sangat mengkhawatirkan, bagian belakang karapas kiri dan kanan terlihat patah dan terlepas, serta terlihat adanya dua goresan besar berbentuk bulan sabit sepanjang ± 25 cm dan lebar 10 cm di sisi kiri karapas. Selain itu, terlihat pula retakan yang hampir memenuhi bagian karapas dan ditemukan krustasea menempel di bagian dalam karapas. Salem yang saat itu merasa keanehan segera menghubungi Rendra yang merupakan koordinator enumerator di lapangan. Mereka berdua hanya bisa mendokumentasikan kondisi kerusakan pada karapas sembari melakukan pengukuran morfometri dan mengkonfirmasinya dengan rekan-rekan ahli penyu melalui grup diskusi whatsapp. Dari hasil pengukuran morfometri, diketahui bahwa Penyu Lekang ini memiliki panjang lengkung karapas 63 cm dan lebar lengkung karapas 65 cm. Penyu Lekang ini juga memiliki lebar jejak sebesar 68 cm.
Hasil analisa dokumentasi, drh. Maulid Dio Suhendro, M.Si salah satu pengurus IAM Flying Vet (Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia) menerangkan bahwa Penyu Lekang yang ditemukan bertelur di Pulau Buru sebelah Utara mengalami patah tulang karapas (carapace fracture) pada bagian ekor (posterior) belakang dan cedera tempurung (large shell injury) berupa luka sayat (vulnus insivum) pada bagian karapas tengah atas (dorsal carapace). Diduga cidera yang dialami berasal dari dua kejadian berbeda, dimana patahnya tulang karapas pada bagian ekor belakang diduga disebabkan oleh gigitan predator berukuran besar seperti hiu atau buaya. Hal ini disimpulkan berdasarkan bentuk luka yang dalam dan patahan yang tidak teratur yang diduga akibat interaksi pertahanan dengan gaya tarik dua arah sehingga menyebabkan terjadinya patahan pada bagian belakang karapas. Luka ini menyebabkan infeksi dan umumnya akan dijumpai parasit yang menempel pada luka patahan tersebut. Sedangkan luka pada bagian sirip penyu (flipper) diduga berasal dari sayatan benda keras dan tajam, misalnya propeler kapal. Mengingat penyu seringkali ke permukaan laut untuk bernafas, sehingga tak dapat dipungkiri adanya kemungkinan penyu mengalami benturan seketika jika terdapat kapal yang melintas didekatnya. Dua kejadian ini diduga terjadi dalam perjalanan migrasi penyu dari habitat pakan menuju habitat peneluran yang terjadi lebih dari seminggu yang lalu. Meskipun demikian, layaknya mesin yang telah di-setting atau diatur, penyu akan berjuang untuk meletakkan telurnya ke pantai jika memasuki fase peneluran, sebagai bagian dari siklus reproduksinya.
Penyu Lekang merupakan spesies penyu terbanyak yang bertelur di pantai peneluran penyu Pulau Buru sebelah Utara, diikuti oleh Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dan Penyu Hijau (Chelonia mydas). Setiap tahunnya, data pemantauan menunjukan Penyu Lekang yang ditemukan mendarat selalu bertambah. Angka tersebut meningkat dari 237 jejak dan sarang di tahun 2017, menjadi 247 jejak dan sarang di tahun 2018, dan 364 jejak dan sarang pada tahun 2019. Banyaknya Penyu Lekang yang mendarat untuk bertelur juga tidak luput dari ancaman. Ditahun 2017, sebanyak 85% sarang ditemukan hilang karena diambil oleh manusia. Jumlah sarang hilang karena manusia turun drastis menjadi 28% pada tahun 2018. Penurunan ini terjadi juga seiring masuknya WWF-Indonesia yang melakukan upaya penyadartahuan masyarakat mengenai status perlindungan penyu dan manfaatnya terhadap ekosistem. Namun sangat disayangkan, masyarakat yang menyadari pentingnya penyu ini belum seluruhnya. Adapula yang sudah sadar mengetahui penyu dilindungi oleh undang-undang, namun masih tetap melakukan pemanfaatan. Hal ini ditunjukkan dengan data bahwa di tahun 2019 angka sarang bertelur penyu yang hilang meningkat 8% menjadi 36% dari tahun sebelumnya.
Selain telur yang sering diambil manusia untuk dikonsumsi atau diperdagangkan, masih banyak ancaman lain yang terjadi. Sarang-sarang yang hampir menetas banyak diserang oleh predator seperti anjing dan biawak, sehingga gagal menetas. Selain itu, ada juga tukik yang baru menetas menjadi bulan-bulanan kepiting dan burung untuk dimangsa. Seketika tukik masuk kedalam air laut, maka ikan-ikan laut siap memangsa mereka. Tak cukup sampai disitu, perjalanan kehidupan yang berat bagi seekor penyu masih dialami seketika mereka sudah dewasa. Penyu masih sangat terancam ditangkap nelayan baik secara disengaja maupun tidak disengaja (bycatch) dan dikonsumsi oleh masyarakat. Aktivitas lalu lalang kapal juga menjadi ancaman bagi penyu, seperti kasus ini yang besar kemungkinan diduga karapas penyu rusak karena terkena baling-baling mesin kapal (propeller speed boat). Padahal dibalik itu ada fungsi ekologi penyu yang sangat vital bagi keseimbangan di ekosistem laut.