MENGENAL HIU PAUS DARI SUDUT PANDANG MASYARAKAT LOKAL INDONESIA
Indonesia memiliki 117 spesies hiu sehingga dikenal sebagai salah satu lokasi dengan tingkat keanekaragaman hayati hiu tertinggi di dunia. Salah satu jenis hiu yang sering dijumpai di Indonesia adalah Hiu Paus (Rhincodon typus) yang kerap disebut sebagai ikan terbesar di dunia. Selain ukurannya yang sangat besar, hiu paus juga dikenal dengan ciri khas pola totol-totol putih di sekujur tubuhnya dan sikapnya yang cenderung ramah terhadap manusia. Sayangnya, populasi hiu paus terus menurun hingga di tahun 2016, status konservasinya ditetapkan menjadi terancam punah (Endangered/EN) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) akibat berbagai aktivitas manusia.
Salah satu upaya perlindungan yang dilakukan pemerintah adalah dengan adanya KEPMEN-KP No. 18 Tahun 2013 yang menetapkan hiu paus sebagai satwa yang dilindungi secara penuh, sehingga segala bentuk pemanfaatan ekstraktif hewan tersebut sudah dilarang. Disamping itu, sebagai salah satu bentuk upaya konservasi hiu paus yang berkelanjutan, telah tersedia juga strategi konservasi yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Hiu Paus 2021-2025 yang baru saja diterbitkan pada bulan April 2021 lalu.
Hiu paus memiliki nilai budaya tersendiri yang cukup unik di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di berbagai lokasi yang telah lama menjadi titik kemunculan satwa tersebut.
Kalimantan Timur – Derawan, Balikukup dan Talisayan
Masyarakat lokal Derawan sudah lama mengenal hiu paus yang sering muncul di bagan-bagan nelayan setempat. Hiu paus dipercaya sebagai hewan keramat sehingga masyarakat setempat melarang penangkapannya. Konon katanya, dahulu ada kisah mengenai hiu paus yang menyelamatkan seorang korban tenggelam. Selain itu, hewan tersebut juga dianggap sebagai pembawa berkah oleh nelayan karena umumnya kehadiran hiu paus disertai juga dengan kehadiran ikan-ikan lain yang menjadi target tangkapan bagi nelayan.
Bagi masyarakat Balikukup, hiu paus dikenal dengan nama hiu mbok atau hiu nenek. Masyarakat Balikukup percaya bahwa hiu paus merupakan jelmaan dari roh seorang nenek yang baik hati. Apabila nelayan di Balikukup bertemu dengan hiu paus saat melaut, mereka meyakini bahwa akan banyak rejeki yang menyertai mereka pada hari itu.
Dahulu, masyarakat Talisayan menganggap hiu paus sebagai hama karena kebiasaan berenangnya yang dianggap merusak jaring nelayan. Namun lambat laun, masyarakat mulai menyadari bahwa hiu paus memiliki daya tarik yang begitu tinggi sebagai objek wisata. Kini masyarakat sudah bisa hidup berdampingan dengan hiu paus.
Jawa Timur – Muncar
Masyarakat di daerah Muncar mengenal hiu paus sebagai Hiu Kekakek. Nama tersebut berasal dari kepercayaan setempat bahwa hiu paus adalah kakek atau leluhur dari ikan di laut. Hiu paus juga dianggap sebagai sosok penjaga laut, sehingga ketika nelayan menemui hiu paus di laut, mereka memberikan persembahan dalam bentuk rokok atau nasi sembari mengucapkan doa dalam Bahasa Jawa “Mbah amit putune ajeng e megawe, njenengan paringi rezeki” yang berarti “Mbah permisi cucunya mau kerja, tolong dikasih rezeki.”
Pada tahun 1976, ketika masyarakat menemukan hiu paus terdampar di Muncar, masyarakat bergotong-royong untuk menguburkan hiu paus tersebut menggunakan kain kafan. Hal ini dilakukan karena hiu paus juga dianggap sebagai hewan yang sakral bagi mereka. Ketika mulai diberlakukan peraturan perlindungan yang melarang penangkapan dan pemanfaatan hiu paus, masyarakat semakin yakin bahwa hiu tersebut memang seharusnya dijaga dan dilestarikan.
Nusa Tenggara Timur – Labuan Bajo
Hiu paus dikenal dengan nama lokal Kareo dede. Masyarakat Bajo memiliki kepercayaan adat setempat yang melarang penangkapan hiu paus. Mereka percaya bahwa hiu paus dijaga oleh dewa sehingga hiu tersebut memiliki kemampuan untuk menolong nelayan yang sedang melaut. Sebagai contoh, salah satu nelayan menceritakan bahwa seekor hiu paus pernah menyelamatkan sekelompok nelayan yang hampir tenggelam di laut dengan membawa mereka di punggungnya.
Gorontalo – Botubarani
Masyarakat Botubarani mengenal hiu paus sebagai Munggianggo hulalo yang berarti hiu bulan. Masyarakat setempat menyebutkan bahwa Botubarani sudah menjadi tempat tinggal hiu paus sejak dahulu. Kemunculan hiu paus dianggap sebagai pertanda dimulainya musim ikan-ikan kecil. Masyarakat percaya bahwa apabila tidak ada hiu paus, maka tidak ada ikan-ikan kecil juga yang bisa ditangkap oleh nelayan. Dahulu, hiu paus dianggap juga sebagai hama pengganggu oleh nelayan karena kebiasaan hiu paus yang memakan ikan-ikan kecil di laut. Namun, semenjak masyarakat menyadari daya tarik hewan tersebut sebagai objek wisata, mereka sudah menerima keberadaan dan kemunculan hiu paus dengan baik. Beberapa nelayan bahkan rela merusak jaring mereka dan kehilangan ikan-ikan tangkapannya agar hiu paus yang terperangkap dalam jaring dapat dilepaskan kembali ke alam bebas.
Nusa Tenggara Barat – Sumbawa
Masyarakat di sekitar Teluk Saleh, Sumbawa mengenal hiu paus dengan sebutan Pakek Torok yang berarti hiu tuli. Sebutan tersebut berasal dari perilaku hiu yang seolah-olah tidak mendengar suara deru mesin bagan ketika sedang mengangkat jaring dan tetap mendekat ke bagan. Hiu paus dianggap sebagai pertanda baik oleh nelayan karena serupa dengan kepercayaan masyarakat Derawan, kehadiran hiu paus umumnya disertai juga dengan kehadiran ikan-ikan lain yang menjadi sasaran nelayan.
Papua Barat – Teluk Cenderawasih
Masyarakat di Teluk Cenderawasih, khususnya di Kwatisore, percaya bahwa desa mereka adalah rumah bagi hiu paus. Masyarakat setempat mengenal hiu tersebut dengan nama Gurano Bintang yang berarti hiu dengan bintang-bintang. Nama sebutan tersebut berasal dari pola totol-totol putih pada hiu yang menyerupai bintang. Hiu paus juga dipercaya membawa keberuntungan dan berkah sehingga hiu tersebut dilarang disakiti, dibunuh ataupun dimakan oleh masyarakat setempat.
Hiu paus telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia yang telah hidup berdampingan dengan hewan tersebut sejak dahulu. Selain melestarikan kearifan lokal yang menjadi ciri khas tersendiri masyarakat adat di Indonesia, nilai-nilai budaya yang juga secara bersamaan mengusung nilai konservasi dan keberlanjutan tentunya dapat mendukung upaya konservasi hiu paus. Disamping itu, konservasi berbasis kearifan lokal juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa hiu paus perlu dilestarikan tidak hanya karena peran pentingnya dalam menjaga keseimbangan ekosistem, namun juga sebagai aspek budaya dan tradisi lokal yang tidak tergantikan bagi masyarakat Indonesia.