KURA-KURA MONCONG BABI, SATWA ENDEMIK PAPUA YANG “GO INTERNATIONAL”
Kura-kura moncong babi (KMB), satwa endemik yang diburu di habitat aslinya, diperjualbelikan, dan diselundupkan hingga keluar negeri, banyak yang bertahan hidup tidak sedikit pula yang mati dalam perjalanan.
KMB yang dikenal juga labi-labi moncong babi ( Carettochelys Insculpta), adalah satwa endemik dari wilayah selatan Papua yang masuk dalam 21 species ikonik yang marak diperdagangkan secara illegal. Dari habitat aslinya di beberapa kampung di kabupaten Asmat, KMB sudah rentan terhadap perburuan. Masyarakat lokal sudah mengkonsumsi telur KMB sejak turun temurun dalam jumlah terbatas. Maraknya permintaan pasar dan harga yang tinggi terhadap telur KMB, membuat KMB jauh lebih berharga sebagai komoditas daripada sumber makanan.
Beberapa titik pengepul juga tersedia di tingkat kabupaten, mereka melibatkan masyarakat lokal untuk melakukan perburuan, membeli telur-telur nya dan membuat penangkaran untuk penetasan telur. Penjualan tukik lebih menguntungkan ketimbang telur. Setelah telur menetas, tukik-tukik tersebut kemudian dijual dan diselundupkan. Tukik-tukik tersebut dikemas dalam wadah secara berkelompok, dan dikirim melalui bandar udara hingga tujuan internasional. Negara tujuan terbesar adalah hongkong dan taiwan. Permintaan yang besar dari kedua pasar tersebut tidak lepas dari khasiat KMB yang dipercaya sebagai obat kuat dan bahan kosmetik kecantikan, sebagaimana pengakuan salah satu tersangka penyelundupan yang telah ditangkap Oktober tahun lalu. Walauoun belum ada penelitian yang serius atas klaim tersebut.
Para penyelundup ini merupakan jaringan perdagangan satwa tetapi kemudian memfokuskan diri pada penjualan KMB karena harga pasarnya yang menjanjikan. Tukik dapat dijual di pasar internasional dengan harga masing-masing $ 39- $ 56. Perdagangan KMB di tingkat nasonal pun makin marak dengan harga KMB dewasa mulai dari 1,5-3 juta rupiah. Umumnya penjualan di pasar nasional adalah sebagai hewan peliharaan.
Dalam setahun terakhir, penyelundupan tukik yang digagalkan sudah mencapai ribuan tukik. ratusan tukik dapat dikembalikan ke habitat aslinya di Selatan Papua , sejumlah tukik tidak terselamatkan, dan temuan kasus juga sebagai barang bukti yang hilang. Kasus terakhir ini baru saja terjadi di bandar udara Mopah Merauke pada tanggal 19 Januari 2019. Petugas bandara manggagalkan penyelundupan KMB keluar dari Mopah dengan barang bukti berupa satu buah koper berisi KMB. Sayangnya karena kelalaian petugas, barang bukti tersebut kemudian hilang. Saat ini kasus tersebut sedang dalam penyelidikan pihak berwajib, dengan mengumpulkan bukti-bukti, rekaman CCTV dan keterangan saksi.
Perdagangan KMB ilegal secara luas beroperasi karena sejumlah alasan. Kelalaian petugas dengan hilangnya barang bukti merupakan salah satu faktor dari kurangnya pengawasan. Sementara itu regulasi terutama perlindungan terhadap KMB melalui penegakkan hukum belum memberikan efek jera bagi pelaku. Sebut saja terdakwa kasus penyelundupan 1.190 KMB diputuskan 4 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Merauke dan denda 5 juta rupiah, apabila terdakwa tidak mampu membayar maka diganti dengan kurungan 2 bulan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yakni 8 bulan penjara.
Status KMB menurut IUCN Redlist masuk dalam kategori EN (endangered) atau terancam punah. Sementara menurut CITES, KMB masuk dalam kategori appendix II yang artinya daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Ini dapat diartikan KMB tidak seharusnya diperjualbelikan jika mereka dikumpulkan dari alam. Tetapi, seorang pedagang akan mengatakan bahwa KMB adalah hewan yang dikembangbiakan dari indukkan yang juga dikembangbiakan. Alih-alih Inilah yang kemudian menjadi celah untuk memperdagangkan KMB dengan kuota terbatas. Pada kenyataannya hingga saat ini belum ada penangkaran atau budi daya KMB secara legal.
WWF-Indonesia saat ini bekerja di wilayah selatan Papua di Kabupaten Boven Digoel, Mappi, Merauke, terus hingga ke Kabupaten Asmat hingga ke wilayah dataran rendah Taman Nasional Lorentz di Kabupaten Mimika. Beberapa kampung yang tersebar di wilayah tersebut merupakan habitat dari KMB. Dari hasil survey yang dilakukan di beberapa kampung, ditemukan beberapa sarang telur KMB, hanya saja beberapa juga sudah dirusak dan diambil telurnya. Masalah ekonomi menjadi isu sentral dalam pengambilan telur tersebut.
Southern Papua Landscape Manager, Bernardus Ronald Tethool tidak menampik jika memang telah terjadi kelangkaan pada satwa - satwa endemik Selatan Papua termasuk KMB akibat terjadinya perburuan dan perdagangan ilegal. Untuk itu menurutnya harus ada komitmen bersama antar para pihak baik institusi pemerintahan, masyarakat, dan CSO guna mencari dan mendapatkan solusi terbaik demi menjaga kelestarian keanekaragaman hayati serta meningkatkan kesejahteraan masyatakat di Selatan Papua. Kerja sama para pihak inilah yang tengah didorong oleh WWF di beberapa site untuk meningkatkan pengawasan terhadap perdagangan satwa hingga penegakkan hukum, sekaligus memberikan alternatif peningkatan ekonomi bagi masyarakat.
Keseriusan dalam pengelolaan habitat, pengawasan dan peningkatan perekonomian masyarakat lokal diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup KMB di alam liar.