PANTAU PERGERAKAN GAJAH LIAR, WWF PASANG GPS COLLAR DI TANGGAMUS LAMPUNG
Oleh: Hijrah Nasir
Sebagai satwa payung (umbrella species), peran gajah sangat besar dalam mempertahankan keanekaragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya yang turut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya.
Gajah memiliki daya jelajah yang sangat luas hingga mencapai 20 kilometer persegi perhari dan mengkonsumsi sekitar 180 liter air serta 150 - 300 kg makanan perhari. Dengan wilayah jelajahnya yang luas ini, biji tanaman yang ada di dalam kotoran gajah akan tersebar di seluruh areal hutan yang ia jelajahi yang akan membantu proses regenerasi hutan secara alami.
Namun, populasi gajah setiap tahun diperkirakan semakin menurun. Fragmentasi dan penyusutan habitat berkontribusi besar terhadap laju penurunan populasi ini. Ditambah lagi dengan masih tingginya angka perburuan dan perdagangan gajah serta tingginya konflik antara manusia – gajah yang terjadi di desa-desa yang berbatasan dengan kawasan konservasi. Penyusutan habitat dan berkurangnya pakan, seringkali memaksa Gajah Sumatera untuk mendatangi lahan perkebunan masyarakat yang memicu konflik manusia dan gajah dan berakhir dengan kematian gajah dan menyebabkan kerugian ekonomi bagi masyarakat. Hal ini pula yang terjadi di sekitar wilayah TNBBS dan Hutan Lindung KPH IX Kota Agung Utara, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Konflik terjadi karena gajah kehilangan habitat dan pakan alaminya yang telah mengalami alih fungsi lahan menjadi perkebunan kopi dan pemukiman.
Kawasan Hutan Lindung KPH IX Kota Agung Utara yang berfungsi sebagai area penyangga bagi kawasan TNBBS selama beberapa dekade terakhir mengalami degradasi alih fungsi hutan yang sangat tinggi. Sebagian kawasan tersebut kini telah diubah menjadi kebun kopi, coklat, pisang, dan lada sehingga mengurangi daya dukung ekosistem bagi habitat satwa liar termasuk gajah untuk hidup, berpindah, dan mencari makanan alaminya. Kondisi tersebut mengakibatkan gajah liar keluar dari habitatnya dan mengakibatkan terjadinya konflik antara manusia dan gajah liar yang telah berlangsung sejak Juli 2017 dan telah mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat di 6 desa di Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus.
Sejak konflik terjadi, berbagai upaya telah dilakukan, seperti penggiringan dan penghalauan di batas kawasan antara area masyarakat dengan kawasan Hutan Lindung KPH IX Kota Agung Utara hingga wilayah yang berbatasan dengan TNBBS. Namun upaya tersebut masih belum efektif dalam mencegah gajah keluar kembali ke area perkebunan dan pemukiman masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa kapasitas habitat alami gajah di kawasan TNBBS dan HL kian berkurang dan menyempit terutama dalam menyediakan makanan, air, dan mineral. Oleh karena itu, tim WWF menyadari perlu adanya analisis penggunaan habitat oleh gajah liar di kawasan tersebut dengan menggunakan GPS Collar sehingga bisa menentukan area yang masih digunakan oleh gajah liar untuk hidup, berpindah, dan mencari makanan. Hasil analisis ini nantinya akan dijadikan dasar kebijakan pengelolaan bagi pemerintah dalam pemeliharaan habitat.
WWF bersama dengan Balai Besar TNBBS, Balai TNWK, BKSDA Bengkulu – Lampung, Taman Satwa Lembah Hijau, ILEU-YABI, Mahout Elephant Patrol (EP) Pemerihan dan Masyarakat melakukan pemasangan GPS Collar pada Rabu, 4 April 2018 pukul 19:05 WIB di area lahan garapan masyarakat Talang Sido Rahayu Blok 5 Hutan Lindung register 39 KPH IX Kota Agung Utara. Rangkaian proses pemasangan GPS Collar ini berlangsung selama 5 hari sejak tanggal 2 hingga 6 April 2018.
GPS Collar dipasangkan pada individu gajah betina dewasa (dominan) berupa kalung yang dapat memancarkan titik koordinat ke satelit dan perangkat komputer. Titik koordinat tersebut kemudian akan dianalisis menggunakan aplikasi hingga menghasilkan data berupa peta sebaran dan area jelajah gajah. Termasuk jalur pergerakan dan titik lokasi keluarnya gajah ke kebun dan pemukiman masyarakat. Dengan menggunakan informasi ini, tim bisa mengetahui wilayah jelajah dan pergerakan kelompok Gajah Sumatera yang berada di wilayah TNBBS dan Hutan Lindung KPH IX Kota Agung Utara, membangun sistem peringatan dini sebagai upaya mitigasi konflik antara manusia dan gajah liar, mengetahui porsi penggunaan habitat kelompok gajah liar di wilayah TNBBS dan Hutan Lindung KPH IX Kota Agung Utara, serta sebagai bahan masukan untuk pengelolaan habitat gajah sumatera yang berada di wilayah TNBBS dan Hutan Lindung KPH IX Kota Agung Utara.
Pemasangan GPS Collar diawali dengan melakukan monitoring posisi keberadaan kelompok gajah liar dan identifikasi individu dominan (pemimpin kelompok). Kemudian dilakukan pembiusan terhadap gajah dominan (target), apabila efek obat bius sudah bekerja selanjutnya GPS Collar dipasang. Setelah pemasangan, Tim WWF dan Mahout EP Pemerihan masih melakukan monitoring di lokasi untuk memastikan alat GPS Collar tersebut terpasang dengan baik dan nyaman bagi gajah. Selain itu, monitoring juga dilakukan untuk memastikan individu gajah tersebut telah kembali beraktifitas normal seperti biasa dan bergabung dalam kelompoknya. Pemasangan GPS Collar ini diharapkan dapat berkontribusi pada pengelolaan kawasan konservasi untuk menghindari terjadinya konflik manusia – gajah di kawasan tersebut.
GPS Collar merupakan hasil dari kampanye fundraising yang diinisiasi oleh musisi Tulus yang bertema “Jangan Bunuh Gajah”. Melalui tagline #janganbunuhgajah, penyanyi Tulus terus menyuarakan konservasi gajah dan berhasil menggalang dukungan dari publik. Hal ini turut berperan penting dalam upaya konservasi gajah sumatera. Saatnya publik mengambil peran dalam upaya pelestarian gajah Sumatera agar keberadaan mereka di alam terus terjaga.