NATHANIEL YARU, KETUA KELOMPOK TANI YANG TAK KENAL LELAH MEMOTIVASI PETANI
Oleh: Andhiani M. Kumalasari
Dengan bangga, Nathaniel menjelaskan kakao Kampung Sabeyab Besar sudah go international ke Eropa. Ucapannya benar adanya. Kakao dari kampungnya telah menjadi bahan baku produk cokelat premium, Original Beans yang dipasarkan di Eropa.
Sambil duduk bersila di tanah, mulut komat kamit mengunyah buah pinang dengan bibir merah berwarna, Nathaniel Yaru (63 tahun) menyampaikan tantangan yang dihadapi dalam hal budi daya kakao Belanda atau dikenal juga dengan coklat kerafat. Menurutnya, petani masih kekurangan alat untuk aktivitas budidaya seperti, parang, galah, dan polybag agar produksi kakao mereka bisa lebih lancar dan baik kedepannya.
Menurut Nathaniel, ini bagian penting dari proses budidaya kakao, betapa tidak, berkebun adalah merupakan mata pencaharian utama masyarakat di Kampung Sabeyab Besar, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura, yang juga merupakan tempat Nathaniel. Sejak 2008, masyarakat kampung telah sepakat membentuk kelompok tani kakao, Srukumani namanya, yang artinya sumber daya yang tidak pernah habis. Ada 32 petani yang bergabung dalam kelompok tani ini, rata-rata punya kebun seluas 2–3 ha.
Nathaniel menjelaskan sebenarnya kelompok tani ini cukup lama mati suri, namun sejak tahun 2012 aktvitas kelompok tani Srukamani mulai menggeliat lagi, inipun setelah mendapat dampingan dari WWF Indonesia. Melalui program pendampingan kelompok tani oleh WWF Indonesia, Nathaniel dan petani lain telah mendapatkan beragam pelatihan dan peningkatan kapasitas budidaya kakao. Sebagai ketua kelompok tani, dia tidak lelah untuk memotivasi petani lain untuk memperhatikan kondisi kebun mereka. Dia tidak pelit berbagi pengalaman dan pengetahuannya untuk setiap tahapan proses persiapan panen, perawatan kebun, proses panen dan pascapanen.
“Sekarang Sa –saya- senang, biji kakao torang -kami su –sudah- dibeli dengan harga tinggi,” ujarnya Nathaniel dengan logat Papua yang kental. Nathaniel menambahkan bahwa dulu biji basah kakao dibeli hanya dihargai Rp 2.000 per kg, kemudian dengan adanya dampingan WWF dan masuknya original beans, sekarang sudah menjadi Rp 7.000 per kg, belum lagi jika menjual biji kering, harganya bisa meroket sampai Rp 16.000 per kg.
Dengan bangga, Nathaniel menjelaskan kakao kampung Sabeyab Besar sudah go international ke Eropa, tepatnya di Swiss. Ucapannya memang benar adanya. Kakao belanda dari kampungnya telah menjadi bahan baku produk cokelat premium, Original Beans yang dipasarkan di Eropa. Namun prestasi luar biasa ini juga memberikan tantangan baru baginya. Sekarang dia dan petani lain sudah tidak bisa “main-main” lagi dalam membudidayakan kakao belanda. Kualitas biji kakao kering yang dihasilkan harus benar-benar memenuhi standar kualitas biji kakao premium.
“Sekarang torang harus rajin bersihkan kebun, fermentasi dan keringkan torang punya biji kakao dengan benar,” lanjutnya. Oktober (2015) lalu saja, Nathaniel dan kelompok tani sudah dapat juga pelatihan untuk sertifikasi organik. “Su dari dulu kebun torang tak pakai pupuk kimia, kebun torang su ada di dalam hutan sejak lama, tumbuh alami begitu saja,” imbuhnya.
Bangga menunjukan lokasi kebun percontohan baru milik kelompok tani, Nathaniel menjelaskan saat ini petani juga belajar cara pembibitan dan teknik sambung samping dan sambung pucuk untuk perkembangan vegetatif tanaman kakao. Banyak petani tidak sabar untuk melakukan hal sama dengannya. Prosesnya memang bertahap tapi baginya perhatian pemerintah dan dukungan pihak lain untuk membantu kelompok taninya sangat dibutuhkan.
Baginya, hasil yang dia peroleh saat ini sudah cukup bagus dan membantu peningkatan ekonomi keluarganya. Namun sekali lagi yang membuat dia bangga karena dia telah memulainya. “Kalau torang mau memulai pasti ada hasilnya,” ungkapnya serius.
Menyimak cerita teladan Nathaniel, rasanya ingin memintanya mengutip kalimat milik sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, “Semua yang baik datang berduyun-duyun. Hanya karena aku sudah memulai. Yang lain-lain akan datang sendirinya. Semua membutuhkan permulaan. Permulaan sudah ditempuh.”