MASYARAKAT ADAT, UJUNG TOMBAK KONSERVASI ALAM
Oleh: Sela Ola Olangi Barus
Setiap tanggal 10 Agustus, Indonesia merayakan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN). HKAN merupakan sebuah gerakan kampanye nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi alam, serta mengajak masyarakat berperan aktif dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati, kawasan konservasi, dan lingkungan hidup. Tahun 2017 merupakan perayaan ke delapan, sejak ditetapkan oleh Presiden RI melalui Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2009.
Secara umum, sebuah kawasan konservasi ditetapkan karena memiliki kekhasan tersendiri, keterancaman akan keberadaan flora dan faunanya, serta kegunaannya secara luas. Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan berbagai keanekaragaman hayati, sudah sepantasnya memiliki kawasan konservasi alam. Berdasarkan Data Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015, jumlah luas kawasan konservasi perairan dan daratan di Indonesia adalah 27.429.556 Ha. Dengan wilayah konservasi yang begitu luas, ancaman yang mengintai pun juga cukup tinggi, seperti perambahan hutan, perburuan liar terhadap satwa dilindungi, serta aktivitas mengganggu lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan peran seluruh pihak untuk menjaga kelestariannya, salah satunya ialah masyarakat adat setempat.
Kawasan konservasi Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (SMBRBB) atau yang biasa disebut kawasan Rimbang Baling yang berada di Pulau Sumatera bagian tengah merupakan rumah bagi Harimau Sumatera dan merupakan tempat tinggal masyarakat adat. Sebagai masyarakat yang tinggal di kawasan konservasi, masyarakat adat di SMBRBB sadar betul untuk menjaga kelestarian kawasan tersebut. Hal itu ditunjukkan melalui kebudayaan dan nilai-nilai yang dianut jauh sebelum adanya cerita konservasi di kawasan Rimbang Baling.
Salah satu adat istiadat yang masih dilaksanakan sampai saat ini adalah Semah Rantau dengan salah satu ritualnya memotong kerbau dengan mempersembahkan bagian kepala, hati, dan jantung untuk Harimau Sumatera. Ritual tersebut memiliki makna bahwa masyarakat adat Rimbang Baling sangat menghargai keberadaan Harimau Sumatera sebagai sosok yang diagungkan. Tidak hanya itu, di Desa Pangkalan terdapat Sungai Kunadi dengan luas ± 200ha telah ditetapkan sebagai daerah larangan sejak zaman nenek moyang. Dengan begitu, untuk mengambil hasil alam seperti kayunya pun hanya diperuntukkan kebutuhan papan saja, tidak untuk diperjualbelikan.
Secara tidak langsung, kebudayaan dan adat istiadat masyarakat adat tersebut memiliki peran vital dalam menjaga Kawasan Rimbang Baling. Hal ini tentu baik, namun perlu adanya sinergi antara konsep konservasi dengan kebudayaan masyarakat setempat.
WWF-Indonesia yakin bahwa tanpa adanya dukungan masyarakat setempat, upaya pelestarian tidak akan berjalan maksimal. Oleh karena itu, WWF-Indonesia melibatkan masyarakat dalam kegiatan konservasi. Pada Kawasan Rimbang Baling, hal tersebut ditunjukkan dengan mengikutsertakan Bengkel Seni Rantau Kampar Kiri untuk mengajarkan konsep konservasi pada generasi muda di kawasan tersebut. Tidak hanya itu, WWF-Indonesia juga mengajak masyarakat dalam kegiatan penelitiannya. Salah satunya ketika WWF-Indonesia mencoba menghitung jumlah Harimau Sumatera dengan menggunakan camera trap. Masyarakat setempat juga dijadikan ranger atau penjaga hutan.
Sebagai pihak yang bersetuhan langsung, masyarakat adat setempat adalah salah satu aktor utama dalam menjaga kawasan konservasi. Melibatkan mereka dalam setiap kegiatan, akan membuat upaya konservasi lebih efektif. Dengan demikian, harmonisasi kehidupan masyarakat dengan alam dapat tercapai.