LA BELORO: TANDA ALAM YANG BERUBAH
Saya lahir dan besar di Kaledupa, namun pergi merantau pada usia 21 hingga 34 tahun. Ketika kembali dari merantau, saya sempat menjadi petani rumput laut mengikuti ayah saya. Namun sekarang saya bekerja sebagai ketua Forkani atau Forum Kaledupa Toudani, yang artinya Kaledupa yang tak akan terlupakan.
Forkani merupakan sebuah forum masyarakat yang beranggotakan kumpulan komunitas petani dan nelayan di pulau Kaledupa. Di forum ini, kami para nelayan dan petani bisa saling berdiskusi untuk bersama-sama memajukan kehidupan kami dan menjaga alam kami. Sangat penting untuk menjaga alam, karena hidup kami bergantung pada alam. Namun, akhir-akhir ini, beberapa katandai (bahasa Kaledupa yang berarti tanda alam atau ‘yang menjadi tanda’) sudah mulai berubah dan kami tidak tahu mengapa.
Musim sudah tidak menentu. Tahun ini, bulan November, masih saja ada angin timur. Padahal seharusnya bulan Oktober sudah mulai musim teduh atau tidak ada lagi angin timur yang kencang. Bulan Juli hingga Agustus yang seharusnya angin terus kencang, sekarang kadang-kadang ada waktu teduh.
Keanehan juga terjadi di musim kemarau tahun ini. Seharusnya musim kemarau sudah berakhir dan hujan sudah mulai turun sejak bulan Oktober. Namun, sampai saat ini udara masih terasa kering dan panas sekali. Yang lebih aneh lagi, di bulan September yang lalu, hujan yang amat deras turun satu kali, namun setelah itu kering kembali. Biasanya tidak pernah terjadi hujan deras di musim kemarau.
Saya tinggal di sebuah rumah panggung peninggalan ayah saya tempat saya dibesarkan. Rumah saya berada sekitar 30 meter dari tepi laut. Sejak 2 tahun yang lalu, jika sedang terjadi gelombang pasang, air laut masuk semakin jauh ke daratan. Sebelumnya, masih ada jarak sekitar 3 meter antara batas air dan rumah saya. Dua tahun lalu air sudah mengenai batas rumah. Tahun lalu bahkan air laut sudah menggenangi kolong rumah saya dengan ketinggian air yang bertambah sekitar 10 cm. Saya tidak tahu penyebabnya. Kata orang tua, mungkin karena bumi sudah tua, sehingga alam berubah.
Kejadian air pasang tinggi seperti yang dialami akhir-akhir ini pernah terjadi sekitar tahun 1971. Namun saat itu, terjadi juga gelombang tinggi. Sementara, kenaikan air pasang yang terjadi dalam dua tahun terakhir tidak pernah disertai dengan gelombang tinggi.
Pulau kecil seringkali kesulitan air tawar. Demikian juga dengan Kaledupa. Sejak kecil saya terbiasa hidup berkekurangan air bersih. Jika musim kemarau tiba, untuk menghemat air, keluarga saya terbiasa mandi dan mencuci dengan air laut, hanya pada bilasan terakhir baru menggunakan air tawar. Di rumah pun, kami memiliki bak penampung hujan yang cukup besar dan membuat saluran penampung air di atap rumah. Selain menampung air hujan, kami juga mendapatkan air bersih dari sumur galian.
Ada dua jenis sumur galian yang kami gunakan yaitu Tee Uhu dan Tee Waloa. Sumur-sumur ini merupakan sumur umum yang bisa digunakan oleh penduduk tanpa harus membayar. Tee Uhu airnya agak payau sehingga hanya bisa digunakan untuk mencuci, sementara Tee Waloa airnya tawar sekali, jadi bisa digunakan untuk minum dan memasak.
Air di Tee Waloa jernih sekali, sehingga bisa langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu. Beberapa orang mengambil air di Tee Waloa dengan mobil dan drum besar. Air ini kemudian dijual keliling ke penduduk yang lokasinya jauh dari Tee Waloa atau pun sumber air lain. Harga yang dibayar oleh pembeli sebenarnya adalah ongkos angkut air dari Tee Waloa hingga rumah si pembeli. Praktek jual beli air ini sudah berjalan hingga tiga tahun lamanya.
Di desa lain, ada juga yang menjual air dari sumur pompa miliknya. Dari sumur pompa ini dipasang pipa-pipa ke rumah pembeli. Biayanya dihitung dari lamanya air pompa disalurkan. Biasanya harganya 5 ribu rupiah per jam. Praktek ini sudah berjalan sejak sekitar tahun 2007.
Kemarau panjang sudah biasa terjadi di Kaledupa. Namun demikian, Tee Waloa yang berlokasi sekitar 200 m dari pantai tidak pernah kering sekali pun sejak sumur itu ada, puluhan tahun yang lalu. Namun, di kemarau panjang tahun ini, Tee Waloa sempat kering selama beberapa jam, padahal tidak ada perubahan kondisi lahan di sekitar Tee Waloa. Tidak ada seorang pun yang berpikir bahwa Tee Waloa bisa kering. Hal ini menjadi bahan pembicaraan penduduk di pulau karena sangat mengejutkan kami dan juga para tetua. Namun kami tidak bisa menyimpulkan apa yang menjadi penyebabnya.
Jika hal ini terjadi terus menerus, kemungkinan keluarga kami harus mulai mengeluarkan uang untuk membeli air dari penjual air keliling atau pemilik sumur pompa.
Dalam diskusi dengan teman-teman di Forkani, saya sering berpikir sebenarnya apa yang menyebabkan semua ini. Kami hanya baru berpikir sampai pada tahap apa penyebabnya dan belum menemukan jawabannya. Dan juga belum berpikir apa yang bisa jadi solusinya. Apakah perubahan-perubahan ini ada kaitannya dengan pemanasan global? Kami tidak tahu. Yang jelas alam yang berubah menyulitkan kami, petani dan nelayan, yang menggantungkan hidup pada alam.