KELOMPOK KETIGA KEANGGOTAAN TBI DIRESMIKAN
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Jakarta (19/01)-Menandai babak ketiga perjanjian kerjasama The Borneo Initiative (TBI) menuju pengelolaan hutan berkelanjutan, empat perusahaan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) menandatangani nota kesepakatan kerjasama (MoU) dengan TBI, Selasa (18/01). Ini merupakan langkah penting bagi keempat perusahaan tersebut dalam meraih sertifikasi pengelolaan hutan lestari dalam skema Forest Stewardship Council (FSC).
Ketua Dewan Pelaksana TBI Jesse Kuijper, Perwakilan Dirjen Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Iman Santosa, serta Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna memandu seremoni penandatanganan MoU tersebut di Grand Ball Room Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat. Momen penting itu turut dihadiri oleh Direktur Eksekutif WWF-Indonesia Dr Efransjah, Director Office Indonesia TBI Rizal Bukhari, keempat HPH, seluruh anggota TBI, serta sejumlah ahli kehutanan.
Babak ketiga perjanjian kerjasama ini berbeda dari yang sebelumnya mengingat dua perusahaan diantaranya berlokasi di luar Pulau Kalimantan. Empat HPH penandatangan kesepakatan tersebut adalah PT Wukirasari (116.320 ha) di Kalimantan Barat, PT Rizqi Kacida Reana (55.150 ha) di Kalimantan Timur, PT Salaki Summa Sejahtera, (48.420 ha) di Sumatera Barat, serta PT Mamberano Alasmandiri (677.310 ha) di Papua. Empat perusahaan dengan total area konsesi hampir 900.00 hektar tersebut telah menyatakan kesiapan dan komitmennya untuk mengikuti proses menuju sertifikasi pengelolaan hutan lestari dengan dukungan dari TBI.
“Sertifikat SFM (Sustainable Forest Management) bukan hanya merupakan bukti nyata bahwa HPH telah menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan, ia juga bermanfaat untuk mengembangkan pangsa pasar serta meningkatkan bargaining position HPH dalam proses negosiasi harga kayu khususnya di pasar internasional,” jelas Nana Suparna dari APHI.
Sementara itu Jesse Kuijper menyatakan, upaya yang dilakukan TBI untuk mendorong pengelolaan hutan lestari di Indonesia menitikberatkan pada tiga aspek. “Pertama, TBI memberi bantuan finansial yang akan dialokasikan untuk certification bodies dan sejumlah proyek sosial dan lingkungan. Kedua, kami membangun kapasitas, mengembangkan sumber daya manusia, dan memfasilitasi diskusi kelompok bagi mereka yang ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang sertifikasi. Terakhir, kami menghubungkan pasar. TBI memastikan adanya pasar kayu yang menjanjikan di Eropa dan Amerika Serikat.”
Setelah penandatanganan MoU, dua perusahaan HPH dari kelompok mitra pelopor TBI berbagi pengalaman mereka menuju sertifikasi. Dua pembicara tersebut adalah Untung Iskandar, Presiden Direktur PT Belayan Timber dan PT Narkata Rimba yang berlokasi di Kalimantan Timur serta I.B.W. Putra, Direktur Operasi PT Suka Jaya Makmur di Kalimantan Barat.
“Dengan bangga kami memperkenalkan sistem baru ini yang diberi nama mono-cables. Kami telah menggunakan ini sejak 2009, didukung oleh The Nature Conservancy, U.S. Agency for International Development (USAID ), dan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Kami sudah beralih dari traktor dan menggunakan sistem baru ini dalam rangka mengurangi dampak penebangan pohon,” ujar Untung.
Selain mendukung praktik hutan lestari, inovasi kehutanan ini turut berkontribusi dalam menekan beban produksi. Kedua perusahaan itu kini memiliki 16 mesin mono-cable dan berencana untuk meningkatkan pengadaannya hingga 25-30 unit tahun ini.
Praktik pengelolaan hutan berkelanjutan juga dilakukan PT SJM. Ia menjalin kerjasama dengan sejumlah LSM. Misalnya, studi High Conservation Value Forest (HCVF) yang digawangi oleh The Nature Conservancy dan Fauna & Flora International serta sensus orangutan yang dilakukan oleh ahli spesies dari WWF-Indonesia.
“Pada Januari 2010 lalu, GFTN-Indonesia dan sejumlah ahli spesies dari WWF melakukan penelitian orangutan di dalam wilayah PT SJM selama dua minggu. Hasil temuannya, ada 996 sarang orangutan. Menurut estimasi WWF, 619-672 individu orangutan hidup di dalam wilayah konsesi kami,” jelas Putra.
Penelitian ini akan melahirkan rencana pengelolaan orangutan sebagai bagian dari aksi HCVF yang juga merupakan salah satu upaya perusahaan tersebut dalam rangka meraih sertifikasi FSC. Dokumen itu juga nantinya akan mencakup upaya kolaboratif untuk melindungi orangutan, sarangnya, serta pohon sebagai sumber pakannya. Melalui rencana pengelolaan itu, SJM juga berkomitmen untuk melindungi wilayah yang telah teridentifikasi memiliki populasi orangutan yang tinggi dari aktivitas penebangan dan perburuan.