HUTAN KITA SELAMATKAN DUNIA
Ada peneliti asing asal bunyi saja dan menuduh Indonesia menyumbangkan emisi karbon cukup besar. Barangkali, otak peneliti asing itu sudah terlalu menganggap jelek Indonesia hingga tak mampu berpikir jernih lagi. Kalau Indonesia saja yang hutannya sangat luas malah jadi kontributor emisi gas karbon, bagaimana dengan negara yang tak punya hutan seperti Singapura?...
Hutan Indonesia luasnya masih jutaan hektar, namun ancaman pengrusakan hutan juga masih sangat besar. Dari luas hutan yang ada, Indonesia akan menjadi penyerap emisi murni (net sinker) dengan kemampuan menyerap karbon 0,89 giga ton Co2e (emisi karbon) pada 2020. Kemampuan menyerap karbon sebesar itu bisa memberikan sumbangan dalam upaya mengurangi emisi sebesar 14% dari total 26% pada 2020.Menurut Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan, jika kegiatan kehutanan dilakukan dengan praktek ""business as usual"" (bisnis seperti biasanya), emisi sektor kehutanan pada 2020 mencapai 1,24 giga ton dan serapan karbon 0,71 giga ton.
""Namun, dengan program renstra 2010-2020, di antaranya penanaman 500 ribu hektar/tahun, kehutanan berpotensi menjadi sektor yang mampu menyerap karbon hingga 1,31 giga ton,"" kata Menhut di Jakarta, Rabu.Persoalannya, untuk mencapai renstra itu di butuhkan dana Rp18,6 triliun per tahun. ""Dana itu merupakan kebutuhan total sektor kehutanan, sementara untuk rehabilitasi dan penanaman butuh Rp4 triliun. Saat ini, anggaran kita tak cukup. Karena itu, kita akan perjuangkan untuk mendapat APBN-P setidaknya Rp2,5 triliun,"" kata Zulkifli.Sementara itu, Kepala Litbang Kehutanan Dephut, Tachir Fathoni, mengatakan, rencana penanaman 1 miliar pohon tahun 2010 akan dimasukkan dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi dari hutan-hutan di Indonesia (Reducing Emmission Deforestation and Degradation/HEDD Plus) yang disiapkan menggantikan program clean development mecha-nisme (CDM/mekanisme pembangunan bersih) pada 2012.
Menurutnya, pemerintah RI pasca pertemuan COP 15 di Kopenhagen terus menggodok pematangan mekanisme Redd Plus hingga menyiapkan demonstration project (proyek demonstrasi) di daerah. ""Penanaman sekurang-kurangnya 1 miliar pohon ini menjadi salah satu pendukung utama tertanam-nya pohon sebagai kegiatan kehutanan yang mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca dan masuk dalam skema REDD plus ini,"" ujar Tachrir.Ia menambahkan, DA-REDD di sejumlah daerah merupakan dasar adanya kesepakatan dan pemahaman terhadap mekanisme REDD di Indonesia.""Kita siapkan REDD dengan DA, di antaranya di Jambi, Kalimatan Timur, Kalimantan Tengah dan Jawa Timur dengan harapan bisa diterima menjadi mekanisme internasional dalam rangka perubahan iklim, menggantikan CDM hasil Protokol Kyoto pada 2012,"" kata dia.
Dia mengakui daerah yang menjadi DA-REDD ini sudah sangat paham apa yang bisa menjadi keuntungan daerah dan negara.Sementara Dirjen Bina Produksi Kehutanan (BPK), Hadi Daryanto mengatakan, dalam menyiapkan DA-REDD, Indonesia juga memperoleh bantuan dari Australia yang mengalokasikan dana 40 juta dolar Australia dalam rangka pendanaan mitigasi. Negara itu akan menambah komitmennya sebesar 30 juta dolar Australia sampai 2012.Negara lain yang membantu mendukung penurunan emisi gas rumah kaca dan pengelolaan hutan lestari, di antaranya Jerman melalui lembaga GTZ (3,5 juta euro untuk 3 tahun dan KfW sebesar 20 juta euro untuk 7 tahun), Norwegia (melalui skema UN-REDD sebesar US$ 5,64 juta untuk 20 bulan) TNC (US$50-100juta), ITTO-Jepang (900 juta dolar selama 2009-2013, dan Korea (USS 5 juta untuk periode 2009-2012).
Namun, kata Hadi, dana yang disumbangkan pihak asing itu hanya bagian kecil dibandingkan upaya Indonesia sendiri dalam menjaga hutannya termasuk merehabilitasi lahan kritis.Bahkan, ""tugas"" mengurangi emisi 26% sampai 2020 bisa dilakukan sendiri oleh Dephut tanpa bantuan dari pihak lain. ""Kita bisa kurangi emisi 14% sendiri tanpa dukungan asing. Kalau ada dukungan asing, 41% pada 2050 bisa direalisasikan,"" katanya.Hanya saja, pemerintah (Dephut) perlu menyusun verifikasi penghitungan karbon yang berlaku nasional. ""Ini perlu disusun agar secara nasional ads hitungan baku, tak mengacu hitun-gan/verifikasi pihak asing,"" jelasnya.
Tachrir menambahkan, kesiapan Dephut secara teknis seperti penurunan emisi dari deforestasi, degradasi, konservasi stok karbon hutan, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan stok karbon hutan bisa lebih dimantapkan dengan standar verifikasi penghitungan karbon nasional.""Jadi jelas, akan ada berapa nilai rupiah yang bisa didapat masyarakat di daerah jika bisa menjaga hutannya ketika karbonnya dikonversikan dengan nilai nominal,"" kata Tachrir. Kam/DBS