IKAN ASIN: PENYELAMAT EKONOMI GALE-GALE
Suasana pagi di pedesaan pesisir yang indah, sejuk, asri, jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan kota, hanya lantunan suara ombak yang mengiasi telinga. Sebagian masyarakat telah keluar dari rumah beranjak ke tempat kerja dan sebagian orang lainnya sibuk melakukan aktivitasnya masing-masing, ada yang ke sekolah, ke pasar, ke kebun. Bahkan ada yang sudah berada di pesisir pantai, tidak lain menunggu kedatangan para nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan. Pagi itu, biasanya para perempuan di Desa Gale-Gale sudah lebih dahulu di pantai dengan membawa parteng (wadah penyimpanan ikan), tidak lain untuk membeli ikan hasil tangkapan nelayan.
Setibanya nelayan berlabuh di pantai, mama-mama mulai menawar harga untuk membeli hasil tangkapannya, “Abang, beta (saya) ikan 200.000” ujar salah satu mama.
“Abang beta jua (juga) ikannya 300.000” ujar mama di sebelahnya.
“Abang beta lae (lagi) ikannya 500.000” seru yang lainnya. Begitulah suasana jual beli ikan di pesisir pantai Gale-Gale. Kemudian para mama-mama mulai mengangkat parteng yang sudah terisi ikan, membawanya pulang untuk diolah menjadi ikan asin.
Sudah sejak lama masyarakat Desa Gale-Gale, Kecamatan Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, menjadi salah satu desa penghasil ikan asin. Biasanya mama-mama memasarkan ikan asinnya bukan hanya di dalam desa tetapi juga di luar Desa Gale-Gale, seperti di desa tetangga; Sapola, Karlutu dan Kota Masohi.
Itulah kebiasaan produktif mama-mama di Gale-Gale, selain menjadi ibu rumah tangga, juga membantu suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Mama-mama di Gale-Gale mengetahui bahwa ikan asin adalah salah satu cara mempertahankan mutu dan kualitas ikan sehingga bisa dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama, dengan mengolah ikan keuntungan yang didapatkan pun lebih besar. Mama-mama ini juga mengetahui bulan apa saja yang tangkapan ikan sedang banyak dan kapan tangkapannya sedikit, naik turunnya hasil tangkapan juga disebabkan oleh gelombang laut sehingga nelayan tidak melaut. Maka pada waktu hasil tangkapan ikan, mama-mama di Gale-Gale berbondong-bondong membuat ikan asin. Berbekal peralatan sederhana seperti pisau, kuru-kuru (alat untuk membuka sisik) dan parteng, mama-mama mulai mengolah ikan menjadi ikan asin. Produk ini dijadikan sebagai alternatif pendapatan di bulan yang kurang hasil tangkapan. Ikan asin tersebut sangat laku hingga terjual habis.
Jenis bahan baku ikan asin yang biasa diproduksi di antaranya adalah ikan lalosi (Caesio sp), ikan kakatua (Scarus sp), ikan sarlinya (Sardinella sp), ikan momar (Decapterus macarellus), ikan lema (Rastrelliger kanagurta), dan ikan make (Herklotsichtys quadrimaculatus), dan sebelumnya sebagian masyarakat membuat ikan asin dari jenis ikan maming (Napoleon).
“Katong (kami) seng (tidak) tau kalo (kalau) ikan maming (napoleon) itu tarabole (tidak boleh) ditangkap barang (karena) katong seng ada pemberitahuan” ujar Mama Uci, salah satu ibu rumah tangga yang mengolah ikan asin di Desa Gale-Gale. Secara hukum, ikan maming ini sudah dilindungi dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 37/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), secara terbatas untuk ukuran tertentu yaitu ukuran 100 gram sampai dengan 1000 gram dan ukuran lebih dari 3000 gram.
Kurangnya pengetahuan dari masyarakat setempat dan belum adanya sosialisasi mengenai jenis hewan laut yang dilindungi khususnya penyu, dugong, lumba-lumba, hiu, paus, pari manta dan jenis ikan maming membuat masyarakat desa Gale-Gale tidak mengetahui jenis ikan apa saja yang tidak boleh ditangkap, dikonsumsi maupun diperjualbelikan. Setelah adanya Tim Fisheries Enumerator WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana dari Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) di Desa Gale-Gale yang membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang jenis ikan yang dilindungi, masyarakat Gale-Gale mulai sadar akan hal itu dan tidak lagi menjadikan ikan maming sebagai ikan konsumsi dan bahan baku ikan asin.
Hal ini sesuai visi Kementrian Kelautan dan Perikanan, bekerja sama dengan WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) yaitu mendukung pembentukan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) di Seram Utara dan Seram Utara Barat. Salah satu solusi terbaik untuk menekan ancaman ekosistem laut adalah dengan terbentuknya KKP3K TPK (Taman Pulau Kecil) Serutbar (Seram Utara dan Seram Utara Barat) yang nantinya dapat melindungi habitat penting untuk ikan yang memijah dan jenis hewan laut yang sudah terancam punah. Hal tersebut dapat memberikan manfaat untuk membangun perikanan berkelanjutan dari sisi ekologi maupun sosial dan ekonomi. Dalam rencana pengelolaan KKP3K tidak hanya fokus ke perlindungan ekosistem laut, namun juga mengembangkan potensi produk perikanan yang sudah ada untuk menjadi salah satu alternatif pendapatan masyarakat setempat.