SUP SIRIP HIU: APAKAH BENAR BERMANFAAT?
Sup sirip hiu terkenal sebagai hidangan tradisional yang bermula dari kekaisaran Tionghoa. Konon katanya, hidangan ini melambangkan kesejahteraan, kesuksesan dan kemakmuran. Harganya yang mahal membuat sup sirip hiu hanya dapat dinikmati keluarga kaisar saja di zaman dulu. Namun dewasa ini, akses mendapatkan sirip hiu semakin tersedia dan mudah untuk didapatkan. Hal tersebut pun membuat semakin banyak orang yang dapat mengonsumsinya. Seiring berjalannya waktu, permintaan sirip hiu untuk dikonsumsi terus meningkat, terutama menjelang hari raya Imlek.
Permintaan sirip hiu menjadi salah satu penyebab turunnya populas hiu dari tahun ke tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shark Conservations Team WWF-Indonesia, beberapa restoran dan hotel di Jakarta dapat menghidangkan sekitar 12.633 kilogram sirip hiu, dalam kurun waktu satu tahun. Sedangkan di Kuta, Bali, ditemukan sebanyak 12 restoran dapat menghidangkan sekitar 2.050 kg sirip hiu, dan 756 kg hidangan kepala hiu.
Selain faktor budaya yang mendukung konsumsi sup sirip hiu, terdapat pula banyak anggapan bahwa sup sirip hiu memberikan banyak manfaat bagi kesehatan. Sirip hiu dipercaya dapat meningkatkan kualitas kulit, menurunkan kolesterol, melawan kanker, mencegah gangguan jantung hingga meningkatkan kemampuan seksual. Namun hal ini tidaklah setimpal dengan resiko yang diambil.
Pertama, kandungan merkuri pada sirip hiu tergolong tinggi. Apa ancaman yang didapatkan konsumen ketika terpapar konsentrasi merkuri yang tinggi? Mengonsumsi merkuri meningkatkan risiko gangguan pada saraf, dan juga menyerang berbagai macam organ tubuh, di antaranya mata, ginjal, dan hati. Selain itu, kadar merkuri jika dikonsumsi oleh ibu hamil akan berisiko mengganggu perkembangkan janin.
Kedua, studi terbaru mengungkapkan bahwa ditemukannya sianobakteri yang merupakan bakteri penghasil kandungan non-proteinogenic amino acid (BMMA). BMMA adalah neurotoksin yang berpotensi memiliki peran dalam berbagai penyakit saraf. Seperti demensia, penyakit parkinson, ALS, maupun Alzheimer. Kehadiran sianobakteri pada hiu diperkirakan muncul karena daerah migrasinya.
Ketiga, daging hiu mengandung banyak urea. Urea merupakan hasil dari pengolahan protein yang dilakukan oleh ginjal. Jika manusia mengonsumsi kadar urea yang banyak, maka hal tersebut akan meningkatkan kerusakan ginjal bahkan dapat menyebabkan gagal ginjal.
Setelah kita tilik kembali, mengkonsumsi hiu tidak sebanding dengan banyaknya risiko yang diambil. Selain menyebabkan berbagai penyakit yang dapat membahayakan tubuh, mengonsumsi hiu secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan populasi hiu secara drastis. Kepunahan menjadi momok ancaman yang nyata bagi hiu, dan kepunahan hiu mampu menyebabkan terganggunya rantai makanan serta keseimbangan ekosistem laut.
Yakin masih mau coba makan hiu? #WeChoosetoSave