HARGA JUAL TINGGI, GELEMBUNG RENANG IKAN CONGGEK JADI INCARAN
Teluk Bintuni dikenal sebagai salah satu pusat perikanan dengan sumber daya melimpah di Papua Barat, salah satunya terdapat di Desa Sidomakmur - Distrik Aroba. Hasil pengamatan tim enumerator perikanan WWF-Indonesia pada tahun 2018, menemukan bahwa salah satu potensi perikanan di Kampung Sidomakmur adalah ikan kakap cina, yang biasa masyarakat sebut sebagai ikan conggek (Protonibea sp.). Mayoritas para nelayan mengincar gelembung renang pada ikan conggek dikarenakan harganya yang sangat tinggi dibanding dagingnya. Sebagai hasil tangkapan dengan nilai ekonomis yang tinggi, tidak aneh para nelayan terus-menerus melakukan penangkapan ikan conggek di perairan Sidomakmur.
Secara umum, gelembung renang pada ikan memiliki fungsi untuk mengendalikan daya apung ikan ketika berenang, selain itu juga bisa untuk menerima dan menghasilkan suara. Gelembung renang ikan conggek yang dijual biasanya sudah dikeringkan. Gelembung renang dikeluarkan dan dicuci bersih lalu dijemur di bawah sinar matahari selama 2 hari dan dikeringkan menggunakan kipas angin hingga benar-benar kering seperti kerupuk mentah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengepul gelembung renang ikan conggek di Sidomakmur - Rosikin, harga gelembung renang ikan conggek betina dimulai dari angka Rp. 1.650.000 per ons. Sedangkan harga gelembung renang ikan conggek jantan dimulai dari harga Rp. 2.700.000 per ons. Harga gelembung renang ikan conggek jantan lebih mahal dikarenakan gelembung renang jantan berkualitas lebih baik dibandingkan gelembung renang betina. Cara membedakan gelembung ikan jantan dan betina bisa dilihat dari bentuknya. Gelembung jantan memiliki pinggiran yang tipis namun bagian tengah yang tebal. Sedangkan gelembung betina memiliki permukaan yang cenderung lebih tebal. Pemasaran gelembung ikan conggek biasanya ke kota Yogyakarta, Surabaya hingga ke Negeri Cina.
Menurut Rusing Chai atau yang biasa dipanggil “Ongko Makassar “ yang merupakan salah satu pengepul gelembung di Bintuni Timur, pemanfaatan gelembung ikan conggek bagi masyarakat di Cina adalah untuk dikonsumsi. Umumnya, masyarakat Cina memasaknya menjadi sup gelembung. Mereka percaya, gelembung renang ikan conggek ini dipercaya memiliki khasiat kesehatan.
Selain gelembung renang, daging ikan conggek juga biasa dijual, harga dagingnya sekitar Rp.5.000/kg. Iwan, salah satu nelayan ikan conggek yang ada di Bintuni Timur, mengaku telah menjadi nelayan ikan conggek selama 6 tahun. Selama ia menjadi nelayan ikan conggek, ia menjual daging ikan conggek dengan harga Rp.16.000/kg. Perbedaan harga ini terjadi karena di Kampung Sidomakmur nelayan menjualnya ke pengepul terlebih dahulu, sehingga harga jual lebih murah daripada di Bintuni Timur yang menjual langsung di pasar.
Disisi lain, Iwan juga mengeluh hasil tangkapannya semakin menurun dan semakin sulit mendapatkan ikan conggek. Jumlah hasil tangkapan tidak seperti dulu pada saat awal menjadi nelayan ikan conggek. Dulu, dalam sehari nelayan bisa mendapatkan lima hingga enam ekor ikan conggek. Lokasi penangkapannya pun tidak terlalu jauh dan modal yang mereka keluarkan masih dibawah Rp.100.000. “Sekarang sekali melaut biasa lima sampai enam hari menginap di laut, itupun hanya mendapat dua sampai tiga ekor saja. Lokasi pun sudah semakin jauh, modal semakin besar buat kebutuhan BBM sampai perbekalan,” keluh Iwan.
WWF-Indonesia dengan dukungan Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) menginisiasi adanya pengelolaan perikanan berbasis masyarakat adat di Teluk Bintuni. Dengan pendekatan EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) yang saat ini telah diamanatkan dalam Peraturan Dirjen Perikanan Tangkap No.18 Tahun 2014.
Pengelolaan ini bertujuan untuk mencapai keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan memperhatikan tiga dimensi utama dalam perikanan, yaitu ekosistem, sosial dan ekonomi masyarakat serta kebijakan perikanan. Dimana masyarakat adat Kabupaten Teluk Bintuni adalah tujuh suku besar yang terdiri dari Kuri, Wamesa, Sough, Irarutu, Sebyar, Moskona dan Sumuri. Ketujuh suku besar ini akan berperan sebagai pengelola dan mengimplementasikan program-program pengelolaan yang termasuk dalam skema pengelolaan perikanan berbasis masyarakat tradisional. Diharapkan mampu dikelola secara baik oleh masyarakat hukum adat melalui konsep Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Adat.