EKSPEDISI LINTAS BATAS BETUNG KERIHUN-BATANG AI/LANJAK ENTIMAU
Oleh: Albertus Tjiu, M. Hermayani Putera dan Syahirsyah
Pada tahun 1994 telah ditetapkan kawasan konservasi lintas batas seluas hampir satu juta hektar di pulau Kalimantan. Daerah ini meliputi habitat hutan tropis terakhir yang tersisa di daerah yang telah berubah; banyak yang diubah menjadi daerah konsesi kayu dan perkebunan kelapa sawit. Sangat penting melestarikan keanekaragaman hayati di pulau itu bagi masa depan, daerah tersebut meliputi dua kawasan konservasi di Sarawak, Malaysia, Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary (LEWS) dan Taman Nasional Batang Ai (BANP), serta Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di Kalimantan Barat, Indonesia.
WWF-Indonesia meluncurkan buku baru, Masyarakat dan Konservasi: 50 Cerita Inspiratif dari WWF untuk Indonesia, buku baru itu berisi tentang perayaan 50 tahun perjalanan WWF-Indonesia sebagai organisasi konservasi. Delapan belas dari lima puluh cerita yang ditampilkan dalam buku ini berasal dari Heart of Borneo dan semua cerita menunjukkan efektivitas konservasi ketika masyarakat adat, pengetahuan dan praktik mereka, terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini juga tercermin oleh kisah berikut pada ekspedisi lintas batas yang diselenggarakan oleh Indonesia dan Malaysia, jauh sebelum inisiatif Heart of Borneo tercetus di pertengahan tahun 2000.
Indonesia dan Malaysia bekerja sama di hutan cadangan di perbatasan
Pada tahun 1973, pemerintah Indonesia dan Malaysia bersama-sama mengakui nilai-nilai konservasi di Taman Nasional Betung Kerihun dan Lanjak Entimau. Menyatu sebagai koridor ekologi pusat di Kalimantan, daerah-daerah tersebut meliputi bagian dari Kalimantan Barat (Betung Kerihun) dan Sarawak (Batang Ai/Lanjak Entimau). Kedua taman nasional tersebut berbagi banyak sifat termasuk keindahan alam, daerah aliran sungai, tradisi budaya, dan berbagai jenis flora dan fauna.
Selanjutnya, pada tahun 1993, Komite Kehutanan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menggelar ""Bekerjasama dalam Membangun Hutan Hujan Cadangan"". Acara ini didukung oleh The International Tropical Timber Organization (ITTO) yang fokus pada pentingnya konservasi keanekaragaman hayati lintas batas serta pengelolaan kawasan lindung antara Indonesia dan Malaysia.
Setahun kemudian, pemerintah Indonesia merubah status Cagar Alam Betung Kerihun menjadi Taman Nasional. Langkah berikutnya yang diperlukan untuk mencapai visi dan misi Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) ialah Kementerian Kehutanan Indonesia (Badan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam/ PHKA) bersama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan WWF-Indonesia bekerjasama untuk mengembangkan rencana pengelolaan selama 25 tahun. Untuk mengembangkan rencana, informasi yang berharga pada kondisi sosial, alam dan budaya daerah itu diarahkan ke kegiatan penelitian yang banyak dilakukan selama 1996-1999 termasuk salah satunya ""Ekspedisi Lintas Batas Indonesia-Malaysia"". Perjalanan tersebut melibatkan peneliti, ahli internasional dan lokal, staf Taman Nasional, serta LSM dan masyarakat lokal.
Lintas batas ekspedisi Indonesia-Malaysia
Tahap pertama ekspedisi berlangsung selama bulan September 1997 dan difokuskan pada DAS Embaloh di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Pada bulan November 1997, tahap kedua ekspedisi itu berlangsung di Sarawak, khususnya Miri, Nanga Bloh.
Ekspedisi berhasil mendapatkan data berharga mengenai jenis hutan, botani, tanaman obat, primata, ikan, burung, reptil, amfibi, dan aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Terdapat sejumlah kesamaan antara dua kawasan konservasi yang telah ditemukan termasuk lanskap, tanaman dan hewan, latar belakang dan budaya, khususnya berkaitan dengan alam. Temuan ini membuatnya lebih penting untuk mengelola daerah sebagai salah satu kawasan konservasi lintas batas.
Contohnya, di daerah Betung Kerihun, tim mengidentifikasi 900 sampel tanaman palem dan anggrek, sekitar 29 famili dan 157 spesies burung, dan setidaknya 86 spesies ikan. Para peneliti mengidentifikasi lima jenis hutan: dataran rendah hutan dipterocarp, bukit hutan dipterocarpaceae, hutan sub-montana, hutan montana dan penggunungan puncak. Primata yang ditemukan termasuk Presbytis frontata, P. rubicunda dan Hylobates muelleri, Orangutan (Pongo pygmaeus), dan spesies kera lainnya (Macaca nemestrina dan M. fascicularis). Ekspedisi juga mengidentifikasi sekitar 200 varietas atau spesies tanaman yang berguna untuk masyarakat Iban dan Tamambaloh.
Dalam ekspedisi tersebut ditemukan data ekologi dan botani yang mengejutkan dan berhasil mengumpulkan banyak spesimen termasuk rekor yang langka dan spesies-spesies baru. Di Betung Kerihun, setidaknya tiga spesies baru ditemukan, seperti pisang liar (Musa lawitiensis), kelapa (Pinanga bifidovariegata) dan ikan yang terdapat di Sungai Embaloh, yakni spesies ikan pari Gastromyzon embalohensis. Keseluruh temuan tersebut dicatat dalam ""Laporan Ilmiah - ITTO Borneo Biodiversity Expedition (1997)"", yang diterbitkan pada tahun 1999.
Namun, karena kendala keterbatasan di lapangan, ekspedisi di Taman Nasional Betung Kerihun tidak sepenuhnya menelusuri keseluruhan area. Ekspedisi lain bagi kepentingan survei keanekaragaman hayati ke depannya diharapkan dapat mengungkapkan banyak kekayaan alam yang belum ditemukan di Taman Nasional Betung Kerihun ini.
Keterlibatan masyarakat dalam ekspedisi
Salah satu tantangan terberat bagi peserta selama ekspedisi itu adalah kondisi cuaca. Tahun 1997, fenomena El Nino telah menyebabkan cuaca kering di Kalimantan dengan pembakaran dan kegiatan penggundulan hutan di banyak bagian pulau yang membawa asap tebal dan udara beracun menutupi seluruh Kalimantan.
Kondisi tersebut mengakibatkan ekspedisi itu dipastikan tertunda; tim yang bertanggung jawab atas logistik memiliki waktu sulit untuk memastikan mereka dapat mendukung dan menyediakan transportasi para peneliti di lapangan. Rencana awal adalah dengan menggunakan helikopter untuk mendistribusikan pasokan melalui bukit Bukit Condong (997 meter) akhirnya gagal karena jarak pandang hanya 3 meter dan terlalu berbahaya. Tekad kuat dan dukungan tak kunjung padam dari masyarakat setempat memungkinkan untuk membawa semua peralatan dan perlengkapan dengan tangan ke Bukit Condong sehingga ekspedisi dapat diselesaikan.
Antropolog dan ahli sosial-ekonomi yang juga merupakan bagian dari ekspedisi, mempelajari strategi untuk mengukur hasil pendapatan dan struktur sosial masyarakat setempat. Sebagai contoh, untuk masyarakat lokal di Danau Sentarum, kawasan konservasi terdekat di mana banyak masyarakat yang mencari nafkah dari memancing, konservasi hutan di Betung Kerihun, yang berada dalam DAS yang sama, merupakan cara penting untuk mempertahankan kegiatan mereka menangkap ikan.
Penelitian ini mengungkap persepsi masyarakat lokal terhadap konservasi hutan tercermin dalam konservasi hutan alam sekitar pemukiman mereka, daerah yang mereka sebut kampung galao (di Iban) atau toan palalo (di Tamambaloh).
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi
Mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan menjadi sangat penting karena masyarakat lokal menggunakan area ini dan sangat bergantung untuk mata pencaharian mereka. Selain itu, anggaran dari pemerintah setempat bagi konservasi yang terbatas dan jumlah penjaga hutan yang sedikit. Kearifan masyarakat lokal ini membantu untuk menciptakan rasa memiliki dan hubungan persahabatan serta meningkatkan kerjasama. Untuk memastikan partisipasi efektif, pemerintah mengadakan program pendidikan dan kesadaran untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan kawasan lindung bersama dan konservasi keanekaragaman hayati.
Mengembangkan kegiatan sosial dan ekonomi bersama masyarakat lokal di TNBK, LEWS dan BANP menjadi sangat bermanfaat karena mereka berbagi banyak nilai-nilai bersama dalam hal budaya, tradisi dan cara hidup. Manfaat bersama dapat disampaikan melalui kegiatan ekowisata gabungan dan proyek-proyek yang berhubungan dengan masyarakat bersama yang dapat memberikan pilihan untuk pendapatan alternatif.
Program ini juga memiliki dampak di luar area konsevasi. Beberapa anggota masyarakat sekitar meminta agar hutan yang terdapat di dalam hak adat mereka dipertahankan di bawah status konservasi yang baru dan termasuk dalam ekstensi masa depan kawasan lindung.
Pada tahun 1998, sebuah lokakarya tingkat provinsi yang diadakan di Pontianak merekomendasikan perubahan nama dari Bentuang Karimun ke Betung Kerihun. Usulan ini didasarkan pada informasi dari masyarakat bahwa kedua area tersebut terletak di antara dua gunung, yang salah dieja sebelumnya, Gunung Betung di sisi barat dan Gunung Kerihun di sisi timur.
Dampak abadi ekspedisi lintas batas
Ekspedisi tersebut merupakan tonggak baru dalam kerjasama lintas perbatasan antara Sarawak dan Kalimantan Barat, itu juga merupakan batu loncatan dalam kerjasama kehutanan internasional antara Indonesia dan Malaysia. Banyak publikasi, laporan dari media termasuk International Borneo Biodiversity Expedition (IBBE) ITTO, yang membahas mengenai ekspedisi ini dan temuan-temuannya dengan hasil yang memiliki dampak pada pandangan dunia dan pemahaman banyak pihak di Jantung Kalimantan yang kaya budaya dan masih alami.
Setelah ekspedisi tesebut, pihak manajemen merencanakan diproduksi pada tahun 2001, Kementerian Kehutanan Indonesia, ITTO dan WWF menandatangani MoU untuk memulai tahap kedua dari proyek ""Implementasi Berbasis Masyarakat Rencana Pengelolaan Lintas Batas untuk TNBK Tahap II"". Tahap ini difokuskan pada integrasi konservasi berbasis masyarakat serta rencana jangka panjang untuk TNBK, termasuk pengembangan sistem manajemen yang efektif di kawasan konservasi lintas batas.
Kegiatan lintas-perbatasan akan terus menjadi bagian penting dari konservasi keanekaragaman hayati di pulau Kalimantan.
Daftar Kerjasama Indonesia-Malaysia di bidang konservasi
1973 Pemerintah Indonesia dan Malaysia bersama-sama mengakui nilai-nilai konservasi Betung Kerihun dan Lanjak Entimau
1994 Kawasan konservasi lintas batas hampir satu juta hektar diterapkan di pulau Kalimantan
1993 Komite Kehutanan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menggelar ""Bekerjasama dalam Membangun Hutan Hujan Cadangan""
1997 September - tahap pertama ""Lintas Batas Ekspedisi Indonesia-Malaysia"" fokus pada Embaloh DAS di Indonesia
1997 November - tahap kedua ""Lintas Batas Ekspedisi Indonesia-Malaysia"" di Sarawak, khususnya di Miri, Nanga Bloh
2001 Kementerian Kehutanan Indonesia, ITTO dan WWF menandatangani MoU untuk memulai tahap kedua ""Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lintas Batas Berbasis Masyarakat untuk TNBK Tahap II""
2003 Bupati menyatakan Kapuas Hulu sebagai Kabupaten konservasi pertama di Indonesia
2004 Indonesia dan Malaysia secara resmi mengajukan proposal kepada UNESCO untuk menunjuk tiga kawasan konservasi sebagai Situs Warisan Dunia pada kawasan lintas batas
2007 Deklarasi Jantung Borneo Tiga Negara ditandatangani pada 12 Februari 2007