DOBE KAMA, SAGU YANG DISIMPAN DI AREA BERLUMPUR
Masyarakat adat suku Orya di Kampung Garusa, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura memiliki pengetahuan lokal tentang cara mengawetkan sagu. Mereka memanfaatkan tanah yang berlumpur untuk menyimpan sagu. Kebiasaan ini disebut dengan bahasa lokal “Dobe Kama”.
Sagu merupakan salah satu makanan tradisional masyarakat adat Papua. Sebagai makanan pokok, sagu banyak tumbuh di hutan atau permukiman penduduk. Yunus Ters, warga Kampung Garusa menceritakan bagaimana orang tuanya menyimpan sagu di area berlumpur sebagai cadangan makanan. “Dulu orang tua kami menyimpan sagu di dalam tanah,” katanya Hasil sagu sebagian dibawa pulang dan sebagian lagi disimpan atau diawetkan di dalam tanah. Sagu dibungkus dengan daun “hontan ala” (daun bungkus papeda), lalu dikubur di tanah yang berlumpur, di area hutan sagu.
Sebelum mengubur sagu, tanah di sekitar harus digali hingga membentuk lubang. Lubang diberi alas kulit kayu “job sob” (kulit kayu khusus), lalu sagu diletakkan di atasnya. “Sagu yang su bungkus dengan hontan ala dimasukan ke dalam lubang, lalu ditutup permukaannya dengan hontan ala lagi, kemudian dikubur baik,” ujarnya. Cerita pengetahuan tradisional itu disampaikan Yunus Ters kepada Obeth Farwas, staf Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (Pt.PPMA) Papua yang sedang melakukan pendampingan. Ia mendampingi kegiatan kebun pekarangan untuk ketahanan pangan melawan perubahan iklim di Kampung Garusa pada pertengahan Agustus 2022. Kegiatan ini merupakan kegiatan kerja sama mitra WWF-ID, program Suara untuk Aksi Perubahan Iklim Berkeadilan atau Voices for Just Climate Action (VCA).
Obet menjelaskan, Dobe Kama merupakan pengetahuan lokal adat yang menarik dari Kampung Garusa. Pengetahuan itu juga dimiliki beberapa kampung lainnya di wilayah adat Suku Orya, Kabupaten Jayapura, seperti Kampung Boasom, Beneik, Guryad, Santosa, Nandalzi, dan Bebo. Hal yang sama juga disampaikan Daud Dasra, warga Kampung Sawesuma di Kabupaten Jayapura. Ia menjelaskan sejak ia kecil orang tuanya sering melakukan hal itu karena perang suku. Saat perang, warga tidak dapat menokok sagu. Mereka hanya dapat mengambil sagu dari area yang berlumpur.
Menurutnya dengan proses Dobe Kama, sagu dapat bertahan selama beberapa tahun. “Karena saat itu situasi perang suku sering terjadi, makanya Dobe Kama itu kitong pu makanan yang tong makan pas kalau ada perang suku,” kata Daud Dasra di Kampung Sawesuma pada 13 Mei 2023. Karena tak ada perang, kebiasan Dobe Kama itu sudah tidak dilakukan lagi. Tetapi masyarakat masih mengawetkan sagu dengan cara yang mirip proses Dobe Kama walau sedikit berbeda. “Sagu dibungkus dengan hontan ala, diikat dan dibungkus dengan kulit kayu job sob, kemudian disimpan di rumah,” kata Dasra. Hanya saja sagu yang disimpan dengan cara tersebut cuma bertahan paling lama dua sampai empat bulan.
Hal yang sama juga disampaikan Anton Biarawa, warga Kampung Guryad. Ia menceritakan dirinya masih menggunakan praktik penyimpanan sagu di dalam kulit kayu job sob tersebut. “Di kampung kami Guryad, saya biasa menyimpan sagu yang baru ditokok ke dalam kulit kayu job sob, tapi sebelumnya sagu itu dibungkus dengan hontan ala terlebih dahulu. Setelah itu bisa disimpan di bandar kayu di hutan atau dibawa ke rumah. Tapi hanya bisa bertahan empat bulan saja,” kata Anton Birawa di Kampung Guryad pada 15 Mei 2023. Penyimpanan sagu dengan metode Dobe Kama atau menempatkan sagu pada kondisi anaerob adalah metode yang dianjurkan para peneliti barat.
Menyimpan sagu pada kondisi aerob dapat menyebabkan konsumen sagu terserang penyakit hemolitik sagu. Dikutip dari devpolicy.org, sagu yang disimpan dalam kondisi aerobik memungkinkan jamur tumbuh di dalam tepung sagu yang kemudian tanpa disadari dikonsumsi oleh keluarga. Selama pencernaan sagu berjamur, jamur dipecah di dalam tubuh dan menghancurkan sel darah merah atau dikenal sebagai hemolisis. Penderita hemolisis datang dengan keluhan sakit perut yang menyiksa, darah dalam urin, sakit kepala parah, demam tinggi, dan peningkatan kegelisahan dan kebingungan. Meskipun penyakit ini dapat disembuhkan dengan sendirinya, banyak pasien meninggal tanpa transfusi darah. “Dobe Kama adalah pengetahuan tradisional yang sudah dimiliki masyarakat secara turun-temurun. Walau masyarakat kini tahu alasan Dobe Kama karena perang, tetapi sebenarnya masyarakat Orya tahu bahwa menyimpan sagu pada kondisi aerob (terkena udara langsung) akan membahayakan kesehatan,” kata Obeth Farwas, pendamping dari Pt PPMA Papua di Kampung Garusa. (*)