CATATAN #XPDCMBD: DESA ELO
Penulis: Nara Wisesa (WWF-Indonesia)
Pukul 08.00 WIT, Tim Darat bergerak menuju Desa Elo. Kondisi terumbu karang di depan Desa Elo sangat rapat, ‘meti’ masih cukup rendah, lagi-lagi kapal cepat yang ditumpangi oleh Tim Darat kesulitan untuk mencapai pantai desa. Namun karena Kris (DKP Maluku Barat Daya) sebelumnya sudah sempat mengabari Kepala Desa (Kades) Elo via radio SSB, beliau sudah siap menyambut di tepi pantai. Melihat kami kesulitan untuk merapat, kades meminta tolong salah satu warganya untuk menjemput kami satu per satu menggunakan kano. Setelah semua anggota tim mencapai pantai, kapal cepat kembali ke Seven Seas dan siap menjemput Tim Darat saat selesai mengambil data sekitar pukul 12.00 WIT.
Begitu tiba di darat, Tim Darat langsung berjalan menuju rumah kades, yang mana sudah ada beberapa warga yang siap berpartisipasi dalam survei, termasuk kakak kades yang sedang berkunjung dari Kota Ambon. Peserta diskusi kelompok terarah hanya berjumlah sekitar enam orang, akan tetapi hanya 3-4 orang saja yang aktif dalam menjawab, termasuk Sekertaris Desa (Sekdes) Elo dan istri kades.
Warga Elo dan Pulau Sermata pada umumnya, tidak melakukan budidaya rumput laut. Mereka mengandalkan hasil kebun di darat. Seperti desa-desa sebelumnya, masyarakat juga menangkap ikan lebih untuk kebutuhan makanan sehari-hari. Bila tangkapan berlebih, maka akan dijadikan ikan asin. Masih ada warga Elo, yaitu sekitar 15 Kepala Keluarga (KK) yang memiliki tali persaudaraan dengan warga di Pulau Luang, bahkan ada yang berasal langsung dari Luang. Mereka melakukan usaha budidaya rumput laut bersama dengan warga Pulau Luang, yang masih kerabat mereka. Orang-orang ini biasa pulang-pergi dari Elo ke Luang. Komunitas di Elo cukup heterogen dan banyak pendatang dari luar. Ada beberapa warga yang berasal dari Bugis, Jawa, dan bahkan keturunan Arab dari Babar.
Sama dengan desa-desa didatangi oleh Tim Darat sebelumnya, warga Elo juga pernah bermasalah dengan pencuri lola dan pengebom ikan dari luar Maluku Barat Daya. Bahkan beberapa tahun lalu, pernah terjadi insiden ketika polisi dari pusat kecamatan menembak mati beberapa oknum dari luar Maluku Barat Daya tersebut dan menenggelamkan kapalnya. Sejak insiden tersebut, tidak ada lagi orang luar yang dating mencuri sumber daya laut di Pulau Sermata. Masyarakat juga merasa sejak kejadian tersebut, jumlah ikan makin banyak dan karang di sekitar Elo semakin rapat.
Sekitar satu kilometer di sebelah timur desa, terdapat reruntuhan benteng atau bekas kota yang didirikan oleh tentara Portugis zaman dulu. Konon, reruntuhan ini keramat oleh warga Pulau Sermata sehingga tidak ada satu pun orang yang berani mendatangi lokasi tersebut. Namun belakangan ini, warga justru menganggapnya sebagai potensi pariwisata. Sebagian anggota Tim Darat juga sempat menghampiri lokasi menarik tersebut.
Berdasarkan informasi dari warga, beberapa waktu terakhir banyak wisatawan mancanegara yang datang dengan kapal liveaboard berkunjung ke Desa Elo. Warga pun menyambut mereka dengan tari-tarian adat dan menjadi pemandu wisata untuk hiking menjelajahi wilayah desa, snorkeling, dan bermain di pantai. Para wisatawan mancanegara tersebut harus mengocek kantong sebesar IDR 2 juta per orang untuk menikmati semua hiburan tersebut.
Setelah selesai melakukan pengambilan data sosial dan perikanan, Tim Darat melepas lelah dengan aktivitas snorkeling di perairan depan Desa Elo, sore harinya. Seperti yang dilihat saat berada di atas kapal cepat menuju desa di pagi harinya, kondisi karang di daerah tersebut memang sangat rapat, dengan jumlah ikan yang cukup melimpah. Tim Darat pun berkesempatan untuk melihat langsung warga yang sedang menyelam, atau ‘molo’ dalam bahasa lokal, untuk menangkap ikan menggunakan panah. Sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan!