BUDAYA MENJADI KUNCI UPAYA KONSERVASI HARIMAU SUMATERA
Oleh: Nur Arinta
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam subspesies harimau yang masih bertahan hidup di dunia. Sayangnya kehidupan mereka kini tak lepas dari ancaman yang datang dari masih tingginya angka perdagangan illegal bagian tubuh Harimau Sumatera dan berdampak pada maraknya perburuan kucing besar berloreng ini. Tidak hanya itu, menyusutnya habitat karena alih fungsi lahan akibat pembukaan lahan menjadi perkebunan hutan tanaman industri (HTI), perambahan, dan pemukiman masyarakat juga menjadi ancaman besar bagi kelestarian Harimau Sumatera.
Bentang Alam Rimbang Baling merupakan wilayah jelajah Harimau Sumatera. Keberadaan masyarakat lokal di kawasan sekitar habitat Harimau Sumatera menjadikan keterlibatan masyarakat sangat penting bagi upaya konservasi Harimau Sumatera. Seperti yang telah dilakukan WWF-Indonesia kepada masyarakat lokal yang hidup di wilayah Rimbang Baling, Pekanbaru. Bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) dan Indonesian Ecotourism Network (INDECON), serta didukung oleh IUCN dan KFW mengembangkan kemitraan strategis dan mensinergikan program dengan para pihak melalui Integrated Tiger Habitat Conservation Program (ITHCP). ITHCP ini mengusung tagline “Communities for tiger recovery in Rimbang Baling: the Beating Heart of the Central Sumatran Tiger Landscape”. Program ini bertujuan agar Rimbang Baling dapat terus menyediakan ruang bagi Harimau Sumatera dan tautan kritis bagi pergerakan harimau di Sumatera bagian tengah yang dapat dikelola oleh masyarakat lokal. Adanya program ini berupaya membuat manusia dan Harimau Sumatera dapat hidup berdampingan dan tidak saling menyerang satu sama lain.
Jauh sebelum WWF-Indonesia hadir di Rimbang Baling pun, masyarakat lokal memiliki budaya dan ritual untuk menjaga Harimau Sumatera dan habitatnya. Hal ini didasarkan karena masyarakat Rimbang Baling memiliki keterikatan batin dengan Harimau Sumatera. Sedari dulu, Harimau Sumatera selalu dikaitkan dengan hal-hal mistis. Bahkan masyarakat lokal tidak berani menyebut Harimau Sumatera dengan sebutan “harimau”, mereka kerap menyebutnya dengan sebutan “inyiak”.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dodi RA, seorang pemuda Rimbang Baling yang juga merupakan volunteer WWF-Indonesia di sana. “Kami melihat harimau itu sebagai dua hal, yakni secara fisik dan secara batin. Bagi kami, harimau menjadi bagian dari kontrol sosial. Kami meyakini jika terjadi pelanggaran etika atau norma dalam kehidupan, maka Harimau Sumatera akan menampakan diri. Jika harimau masuk ke kampung-kampung, itu adalah pertanda buruk bahwa di kampung tersebut telah terjadi pelanggaran etika,” jelas Dodi. Selain itu, masyarakat sekitar Rimbang Baling juga melakukan tradisi potong kerbau, yang kemudian beberapa bagian tubuh dari kerbau tersebut dipersembahkan untuk Harimau Sumatera. Tradisi ini kerap dilakukan sebelum memasuki bulan Ramadhan setiap tahunnya.
Tidak hanya itu, masyarakat Rimbang Baling juga meyakini bahwa nenek moyang mereka telah melakukan sebuah sumpah yang disebut dengan Sompah Sotie. Sompah Sotie ini merupakan janji hikayat yang berisi kesepakatan antara manusia dan Harimau Sumatera secara batin untuk tidak saling mengganggu dan saling menyerang. Masyarakat berjanji tidak akan memburu atau membunuh harimau, dan harimau tidak akan mengganggu masyarakat atau memakan hewan ternaknya. Bahkan harimau akan membantu memberikan petunjuk jalan pulang ke dusun jika ada manusia yang tersesat di hutan.
Jika perjanjian tersebut dilanggar, manusia yang membunuh harimau akan diusir dari dusun. Jika tidak diusir, masyarakat percaya bahwa aka nada bencana yang dialami masyarakat dan mereka akan diganggu oleh Harimau Sumatera. Sementara jika ada harimau yang mengganggu atau membunuh manusia, mereka percaya bahwa harimau tersebut akan dibunuh oleh harimau lainnya.
Berbagi ruang adalah kunci bagi upaya konservasi dan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan. Banyaknya konflik yang terjadi antara harimau dan manusia disebabkan oleh terganggunya harmoni antara kehidupan manusia dan Harimau Sumatera. Terjadinya eksploitasi terhadap habitat Harimau Sumatera membuat harimau kehilangan habitatnya. Hal inilah yang memicu terjadinya peningkatan konflik antara harimau dan manusia.
Budaya saling menjaga antara manusia dan alam sangat diperlukan untuk menjaga keharmonisan hidup antara keduanya. Karena jika kita berbuat baik kepada alam, alam tentu akan melimpahkan sejuta kebaikannya kepada kita.