BABAK BARU PENEGAKAN HUKUM PERBURUAN DAN PERDAGANGAN SATWA LIAR DI LAMPUNG
Maraknya kasus penjualan satwa liar di Indonesia menjadi ancaman terbesar kepunahan satwa dilindungi. Spesies kunci asli Sumatera pun tak lepas dari ancaman ini, termasuk gajah dan harimau sumatera. Baru-baru ini Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang, Lampung menjatuhkan vonis hukuman penjara 3 tahun dan denda masing-masing Rp 50 juta subside empat bulan kurungan kepada lima orang terdakwa yang terbukti menjual organ tubuh harimau sumatera. Harimau yang mereka peroleh berasal dari TNBBS pada Maret dan April 2018. Mereka memasang tali jerat untuk menangkap harimau yang kemudian mereka bunuh untuk diambil bagian kulit, kuku, tulang, dan taringnya.
Kasus yang terbaru adalah penangkapan 5 orang tersangka kasus penyelundupan satwa liar oleh Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung bersama Balai Besar TNBBS, WWF, WCS, dan YABI dengan barang bukti berupa satu buah cula badak di Krui, Pesisir Barat. Selain itu, di Souh pada tanggal 14 November 2018 dilakukan pula penangkapan oleh Petugas Resort Ulubelu Balai Besar TNBBS dengan mengamankan 1 tersangka pemburu sekaligus pedagang satwa liar. Barang bukti yang ditemukan cukup banyak, antara lain sisik trenggiling 7 ons, burung tricok 100 ekor, burung kutilang emas 20 ekor, burung perkutut 88 ekor, burung manyar 28 ekor, burung mantenan 1 ekor, burung cecak keling 1 ekor, 4 keranjang buah dan 1 sepeda motor honda.
Laporan ini langsung disikapi oleh Tim Reaksi Cepat TNBBS yang terdiri dari WCU WCS, RPU YABI, WWF, TWNC dan Balai Besar TNBBS dengan langsung mengamankan pelaku bersama Polsek setempat untuk selanjutnya dilakukan pengembangan dari kasus kepemilikan barang bukti tersebut. Pemiliknya berhasil diamankan dari rumahnya yang berada di Pungkalan Suoh Lampung Barat. Pelaku langsung dibawa ke kantor balai TNBBS dan dimintai keterangan di Polres Tanggamus. Saat dimintai keterangan, pelaku mengakui bahwa barang bukti sisik trenggiling 7 ons berasal dari 3 orang dan saat ini penampung trenggiling juga sudah diketahui namanya.
Sebagai respon atas upaya penegakan hukum tindak pidana perburuan dan perdangangan satwa liar di Lampung, sebelumnya pada tanggal 2 dan 3 Oktober 2018 bertempat di Aula Balai Besar TNBBS, dilaksanakan pertemuan antar pihak. Pertemuan ini dihadiri oleh Kababes TNBBS, Kepala BKSDA SKW III Lampung, Dirjen Gakkum, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, WWF, ILEU-YABI, WCU, Project Coordinator PCU KFW, Direktur Walhi Lampung, Kapolres Bengkunat, Kodim Kab Tanggamus, Polda Bengkulu, dan Polda Lampung. Dalam pertemuan ini, materi pembahasan antara lain terkait kondisi SDM untuk penegakan hukum kejahatan TSL, perundang-undangan yang dianggap masih banyak celah hukum, koordinasi antar Lembaga, sarana dan prasarana penunjang, SOP penanganan perburuan dan peredaran TS, serta penguatan jaringan stakeholder.
Di Indonesia sendiri kejahatan satwa liar menduduki peringkat ketiga, setelah kejahatan narkoba dan perdagangan manusia, dengan nilai transaksi hasil penelusuran PPATK diperkirakan lebih dari Rp 13 triliun per tahun dan nilainya terus meningkat. Saat ini KLHK sedang membangun sistem pemantauan keamanan hutan (SPARTAN) terpadu yang terintegrasi dengan Center of Intelligence Penegakan Hukum LHK. Selain itu, pihaknya juga sedang memperkuat sistem surveillance dan intelijen berbasiskan teknologi informasi termasuk pemantauan perdagangan satwa illegal secara online melalui Cyber Patrol. KLHK bekerjasama dengan pihak kepolisian, kejaksaan dan interpol serta peningkatan kapasitas penyidikan dan pengamanan. Komitmen dari Dirjen Penegakan Hukum KLHK ini juga ditunjukkan dengan menyediakan anggaran untuk kegiatan penegakan hukum di bidang tindak pidana kehutanan terutama penanganan kasus TSL.
UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Perlukah Revisi?
Direktur KKH, Indra Exploitasia dalam arahannya menjelaskan bahwa UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya selama ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku, sehingga ke depannya kita bisa menggunakan UU Bea cukai dan Karantina. Ini akan dikaji dengan Tindak Pidana Tertentu (Tipiter), untuk memberikan arahan penegakan hukum melalui pendekatan multi door. Jaringan harus diperluas untuk bisa mengungkap dari pemburu hingga tingkat pedagang.
Selama ini UU No.5/90 dinilai masih belum efektif menjerat para pelaku kejahatan karena pemberian sanksi yang rendah atas pelanggaran pidana, besaran denda yang sangat rendah, dan masih lemahnya kelembagaan pengelolaan kejahatan satwa liar. Ini menyebabkan pekerjaan rumah untuk penegakan hukum kejahatan perburuan dan perdagangan satwa masih menumpuk. Komitmen dari multi pihak sangat dibutuhkan. Untuk memudahkan koordinasi dan komunikasi yang sinergi di antara para pihak, diharapkan tebentuknya suatu sistem untuk mendukung sinergi dari berbagai pihak. Selain itu, inovasi atas penanganan TSL ini, juga perlu diupayakan, misalnya melakukan operasi jerat. Dirjen GAKKUM menilai bahwa perlu dilakukan review ulang terhadap UU N0.5 tahun 1990. Kasus perdagangan satwa masih terjadi karena beberapa faktor seperti penyuapan, penyalahgunaan dokumen, penyelundupan, dsb. Tahapan penanganan pelaku kejahatan TSL pun cukup panjang. Mulai dari upaya preventif, operasi intelijen, kegiatan operasi represif, proses yustisi, penanganan barang bukti sitaan, hingga ada putusan pengadilan. Pola perdagangan satwa yang saat ini marak menggunakan internet. Oleh karena itu bersama dengan WCS, GAKKUM telah melakukan pendataan barang-barang bukti TSL dan pemblokiran situs-situs yang menjadi wahana perdagangan. Mewakili Balai Gakkum, Aswin mengatakan perlu dilakukan pengawalan oleh media dalam penanganan kejahatan TSL. Selain itu operasi jerat bisa dilakukan dimanapun tanpa harus ada konfirmasi lokasi. Ini bisa menjadi salat satu solusi alternatif dalam pencegahan tindak kejahatan TSL. Namun salah satu yang menjadi tantangan dalam koordinasi antar pihak adalah karena saat ini Pos GAKKUM ada di BKSDA Bengkulu.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Walhi Lampung, Hendrawan, bahwa UUD TSL perlu direvisi. Aturannya tidak diberikan hukuman minimum dan maksimum karena akan menjadi celah dalam penanganannya. Dalam UUD tersebut, tidak ada hukuman minimum, yang ada adalah hukuman maksimum yakni penjara 5 tahun dan denda 100 jt/ kasus. Padahal jika melihat perspektif penanganannnya, harus dilihat case by case. Saat ini perkembangan revisi UU no 5/90, kementerian LHK meminta untuk membahas kembali.
Adapun dari WCU WCS menjelaskan bahwa selama ini para tersangka selalu berdalih bahwa mereka baru pertama kali melakukan. Kendala lainnya adalah pendanaan ketika sudah masuk ke proses hukum. Sementara WWF menilai bahwa jaringan perburuan bisa berawal dari hobi. Kita perlu mengidentifikasi pasar-pasar yang memperdagangkan TSL ini, khususnya perdagangan lewat online. Kita juga perlu menyampaikan kepada masyarakat yang hobi memelihara burung terkait dengan Undanag-Undang TSL.
Pak Haryanto dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bengkulu menyebutkan bahwa ada 216 kasus TSL yang terjadi hingga tahun 2018. Para pihak perlu memperkuat koordinasi dan kerja sama antar lembaga termasuk penanganannya. Menurut Teguh dari BKSDA SKW III, tantangan selama ini adalah sulitnya memastikan barang bukti berasal dari luar atau dalam Kawasan konservasi. Terkait dengan P 92 pun dinamika-nya. Ada permintaan untuk izin penangkaran. Kendala lainnya adalah tidak adanya Balai Karantina di jalur-jalur perdangan dan pendistribusian TSL. Sementara itu, Balai Besar TNBBS mempertanyakan tentang hukuman yang diberikan kepada para pelaku yang masih rendah meskipun banyak kasus yang sudah diselesaikan. Menurutnya hal yang penting adalah memastikan semua pihak menjaga hutan di tingkat tapak dan mengisukan tentang dampak kerusakan hutan.
Upaya Serius dalam Penanganan Kasus Kejahatan Satwa Liar?
Terkait dengan kajian kapasitas penegakan hukum tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar Di TNBBS, beberapa hal yang perlu digarisbawahi menurut Balai Besar TNBBS adalah bahwa TNBBS dan mitra kerja mempunyai pengetahuan, pemahaman serta wawasan yang lebih baik terkait dengan karakteristik kondisi lapangan/tempat tugas, aturan perundang-undangan di bidang Kehutanan serta wawasan dalam menafsirkan aturan perundang-undangan. Kelebihan tersebut menjadi sumberdaya yang dapat digunakan untuk mendukung agar kepatuhan hukum dapat dijalankan dalam setiap penanganan berkas perkara. Selain itu TNBBS dan mitra juga memiliki kewenangan dalam melakukan upaya penegakan hukum di bidang tindak pidana kehutanan, serta adanya komitmen kerja bersama para pihak, meskipun masih ada keterbatasan misalnya dalam aspek koordinasi para pihak.
TNBBS dan Mitra kerja konsisten melakukan upaya penegakan hukum. Sementara upaya preventif mencegah terjadinya tindak pidana kehutanan perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Misalnya kegiatan sosialisasi perlindungan kawasan hutan, tumbuhan, satwa liar, dan penertiban senjata api dan angin yang selama ini telah dilaksanakan, misalnya yang terbaru adalah penertiban senjata api dan angin di daerah Ngambur dan Way Haru pada bulan September 2018.
Kelemahan Penegakan Hukum Kasus Perburuan dan Perdagangan Satwa
Namun disadari bahwa dalam inisiatif ini masih ada beberapa kelemahan. Salah satunya adalah belum terbangunnya kepercayaan dengan aparat penegak hukum lainnya. Hal ini perlu disiasati melalui pendekatan baik secara kelembagaan maupun personal serta dilaksanakan secara formal dan informal, misalnya perlu menjalin hubungan personal yang baik agar terbangun kepercayaan bersama, perlu dilakukan komunikasi untuk membangun trust-building (terutama tim TRC). Semua pihak menyadari bahwa suatu kasus tidak akan mungkin dapat diselesaikan oleh satu pihak sehingga perlu disepakati untuk menjalankan hasil keputusan yang direncanakan bersama. Menjaga komunikasi dengan reskrim secara rutin pun perlu dilakukan. Dan yang paling penting perlu dilaksanakan pertemuan rutin untuk melakukan koordinasi yang lebih baik untuk memperkuat komitmen bersama diantara Dirjen Gakkum, TNBBS, TNWK, KSDA, Dinas Provinsi, WWF, WCS, YABI, WALHI, dan media dalam rangka mendorong tercapainya sinergitas upaya penegakan di bidang tindak pidana kehutanan.
Salah satu hal yang ditekankan dalam pertemuan ini adalah melakukan inovasi dalam mendorong penegakan hukum kejahatan lingkungan dengan lebih baik, misalnya melibatkan media untuk turut serta memantau dan mengawal kasus agar proses penegakan hukum di bidang tindak pidana kehutanan dapat diselesaikan dengan lancar, efektif dan dipastikan kepatuhan hukum sudah dijalankan, menyusun konsep bahan dan materi sosialisasi dan melaksanakannya secara efektif dan tepat sasaran dengan mempertajam dampak negatif akibat yang ditimbulkan dari kerusakan ekosistem kawasan hutan. Perlu ditekankan bahwa bahaya yang ditimbulkan dari kegiatan pelanggaran hukum di bidang tindak pidana kehutanan setara dengan bahaya narkoba dan korupsi.
Penanganan kasus kejahatan lingkungan memerlukan tim yang punya kapabilitas tinggi. Sehingga dibutuhkan pengembangan soft skill petugas, serta kemampuan untuk menjalin komunikasi baik dilakukan secara formal maupun informal dengan pimpinan aparat penegak hukum lainnya. Tim Reaksi Cepat (TRC) yang merupakan tim gabungan Balai TNBBS dan mitra yang telah dibentuk telah menjalin komunikasi informal yang baik dengan Bareskrim Polri. Untuk meningkatkan kemampuan tim, telah dilakukan kegiatan peningkatan kapasitas bagi petugas dan aparat penegak hukum dalam rangka penyamaan persepsi dan pemahaman bersama terhadap data yang dimiliki, kondisi lapangan dan TSL yang ada di kawasan konservasi (TNBBS, TNWK, TAHURA), kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi, kemampuan menafsirkan alat bukti dan pasal-pasal terkait aturan perundang-undangan di bidang tindak pidana kehutanan untuk menghindari bias dalam penanganan suatu kasus baik petugas internal, kepolisian dan kejaksanaan, serta untuk meningkatkan pemahaman petugas dalam menganalisa data dan informasi yang diperoleh proses olah TKP.
Pertemuan koordinasi ini diharapkan dapat menghasilkan strategi penegakan hukum di bidang tindak pidana kehutanan yang bisa menjadi pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam menetapkan arahan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar di TNBBS dalam rangka memperkuat pengelolaan fungsi kawasan hutan di Propinsi Lampung. Sementara upaya preventif mencegah terjadinya tindak pidana kehutanan perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan.
Misalnya kegiatan sosialisasi perlindungan kawasan hutan, tumbuhan, satwa liar, dan penertiban sejata api dan angin yang telah dilaksanakan di daerah Ngambur dan Way Haru pada bulan September 2018. Menurut hasil SMART patrol, Ngambur dan Ngaras merupakan area lokasi yang banyak ditemukan temuan adanya indikasi perburuan satwa liar.
Mari kita berharap babak baru penegakan hukum perburuan dan perdagangan satwa liar di Lampung bisa menjadi angin segar dalam penegakan hukum perburuan dan perdagangan satwa liar. Mari lawan perburuan dan perdagangan satwa illegal dengan menjadi bagian dari kampanye “I Say No! to Illegal Wildlife Trade” dan jika ada kasus perdagangan satwa di sekitarmu, laporkan melalui aplikasi e-pelaporan satwa dilindungi agar bisa ditindak oleh pihak berwajib.