AJAK MILLENIALS SELAMATKAN NASIB PRIMATA HIDUNG BESAR KHAS KALIMANTAN
Oleh: Nur Arinta
Buat yang pernah berkunjung ke Dufan atau Dunia Fantasi, pasti mengetahui satwa ini, Bekantan (Nasalis larvatus),ya! Monyet berhidung besar ini adalah logo dari Dufan. Bekantan merupakan satwa endemik Kalimantan yang memiliki peran penting dalam ekosistem lahan basah dan hutan mangrove, yakni sebagai pengatur pengendalian kualitas hutan untuk mencapai aspek-aspek yang diharapkan.
Sayangnya, nasibnya kini kian terancam akibat degradasi habitat dan perburuan. Ancaman yang terjadi berdampak pada populasi Bekantan. Statusnya menurut IUCN (lembaga konservasi internasional) adalah terancam punah (endangered/ EN). Padahal, monyet yang memiliki hidung khas ini dilindungi oleh UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan juga spesies kategori Appendix I dalam CITES artinya tidak dapat diperjual belikan.
Karakter monyet berhidung besar ini yang sulit beradaptasi dengan perubahan, sangat berpengaruh dengan jumlah populasinya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa, terjadi tren penurunan terhadap jumlah populasi Bekantan akibat dari aktivitas manusia. Padahal, Bekantan adalah indikator ekosistem yang sehat dan keberadaannya dapat menunjang kesejahteraan manusia. Nasib Bekantan saat ini memerlukan perhatian khusus.
Selasa, 5 Desember 2017, nasib Bekantan di”bedah” dalam acara Bedah Buku “Bekantan: Perjuangan Melawan Kepunahan”. Kegiatan ini diselenggarakan di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. oleh pemangku kepentingan dari berbagai kalangan.
Ada delapan narasumber yang berdiskusi tentang nasib konservasi Bekantan. Mereka adalah Prof. Hadi Alikodra yang merupakan Guru Besar Kehutanan IPB, Ir. Wiratno M.Sc Dirjen KSDAE, Dr. Sofian Iskandar dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan KLHK, Chairul Saleh Species Specialist WWF-Indonesia, Fairus Mulia dari PT. Kandelia Alam, dan Fitrian Ardiansyah dari Inisiatif Dagang Hijau (IDH). Tidak hanya itu, dua figure publik yang juga merupakan supporter kehormatan WWF-Indonesia, Nugie dan Davina Veronica turut berbagi cerita tentang pengalaman mereka saat berkunjung ke habitat Bekantan dan menyampaikan semangatnya untuk mendukung konservasi monyet berhidung besar ini beserta habitatnya.
“Masyarakat dunia turut menikmati keutuhan habitat Bekantan, sebab hutan mangrove yang menjadi habitat Bekantan adalah penyerap karbon yang cukup tinggi” jelas Prof. Hadi Alikodra. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia memiliki ± 3.489.140,68 hektar kawasan mangrove. Luasan tersebut menyimpan 3,24 milyar metrik ton karbon, atau sama dengan sepertiga dari simpanan karbon dunia.
Penyusutan habitat Bekantan terjadi dengan sangat cepat. Padahal, kawasan tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Selama ini masyarakat banyak mengubah hutan riparian yang merupakan habitat Bekantan menjadi area pemukiman dan ladang. Hal ini berdampak pada populasi Bekantan yang terus menurun dan sebaran antar koloni Bekantan menjadi semakin jauh.
Selain itu, stigma yang berkembang di masyarakat bahwa Bekantan merupakan hama juga membuat banyak masyarakat memburu satwa ini. “Masyarakat banyak memburu Bekantan untuk dikonsumsi. Satu pemburu paling tidak bisa mendapatkan lima ekor Bekantan dalam satu hari,” ujar Abdurrahman, seorang pemerhati satwa liar di Kalimantan Barat. Bisa dibayangkan bagaimana besarnya ancaman yang dihadapi Bekantan untuk bertahan hidup.
Sofian Iskandar, salah seorang peneliti Bekantan mengatakan, degradasi habitat dan dampaknya terhadap perburuan dan konversi lahan telah menurunkan populasi Bekantan sebanyak 90 persen dalam 20 tahun terakhir. Sedang di kawasan hutan mangrove, terjadi penurunan habitat sebesar 3,1 persen setiap tahunnya. Selain itu, telah terjadi proses adaptasi Bekantan yang terdesak kea rah perkebunan. Namun tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap sumber air dengan tumbuhan sebagai sempadan sungai atau danau kecil.
Kuatnya tekanan terhadap populasi dan habitat primata endemik Kalimantan ini menjadi dasar pertimbangan untuk mendorong kesadaran dan kepedulian masyarakat luas, terutama pemangku kebijakan untuk turut bersama-sama mendorong upaya konservasi Bekantan di Kalimantan.
Chairul Saleh mengatakan, pemerintah telah memasukkan Bekantan sebagai salah satu spesies prioritas konservasi yang akan ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen. Namun perlu diakui bahwa ini merupakan hal yang berat untuk dicapai, mengingat ancaman yang dihadapi Bekantan sangat besar. Chairul juga mengatakan bahwa komitmen dan kolaborasi semua pihak diperlukan untuk menyelamatkan dan meningkatkan populasi Bekantan.
Inisiatif pengelolaan habitat dan populasi Bekantan secara kolaboratif sudah dimulai di Kalimantan Barat, oleh WWF-Indonesia di bentang alam Kubu Raya, Kalimantan Barat. Inisiatif ini berjalan melalui dukungan dari IDH (Inisiatif Dagang Hijau) dan melibatkan peran pemerintah serta swasta.
Di sisi lain, potensi keanekaragaman hayati pada habitat Bekantan juga dapat dimanfaatkan menjadi potensi pariwisata. Pada acara ini, Nugie dan Davina berbagi pengalamannya ketika berkunjung ke habitat Bekantan. Mereka bercerita tentang betapa seru dan mengasyikkannya dapat melihat keindahan habitat Bekantan dan menyaksikan Bekantan hidup bebas di habitatnya.
Generasi millennial yang sangat menyukai destinasi dengan lokasi instagrammable membuat ekowisata menjadi potensi besar untuk mengenalkan masyarakat terhadap Bekantan dan habitatnya. Nugie dan Davina menghimbau kepada para millennials untuk menjadi wisatawan yang bijak saat berkunjung ke habitat Bekantan. Nugie bahkan mengatakan bahwa diperlukan adanya Standard Operating Procedure (SOP) yang harus dipatuhi oleh para wisatawan saat berkunjung ke objek wisata alam, tentu dengan tujuan agar tempat tersebut tidak menjadi rusak dan tidak mengancam kehidupan satwa liar yang hidup di sana, seperti Bekantan.
Potensi lainnya yang dapat dimanfaatkan dari habitat Bekantan adalah dalam hal penelitian bioprospeksi. Hal ini sangat bermanfaat dalam industri biofarmasi, yang dapat membuka lahan pekerjaan baru bagi masyarakat lokal di sekitar kawasan habitat.
Pada acara ini, komitmen dari Dirjen KSDAE yang menyatakan akan segera meninjau ke lapangan untuk mengetahui secara langsung nasib bekantan di habitatnya, dan menemui stakeholder yang berkaitan dengan konservasi Bekantan. “Tolong di agendakan 2018 nanti, yuk sama-sama kita liat habitat bekantan” ujar Wiratno, Dirjen KSDAE. Selain kunjungan lapangan, pembentukan forum bekantan juga menjadi satu hal yang krusial bagi nasib bekantan kedepan. Buku “Bekantan: Perjuangan Melawan Kepunahan” ini diharapkan dapat menjadi referensi ke depan bagi konservasi dan perlindungan habitat Bekantan. Di samping itu, buku ini juga dapat mendukung implementasi strategi dan rencana aksi konservasi untuk primata berhidung besar khas tanah Dayak ini.