KOMDA PIPB DAN WWF-INDONESIA MEMULAI PROYEK TATA KELOLA LAHAN RENDAH EMISI
Jayapura, 12 Maret 2019 - Pemerintah Provinsi Papua melalui Komisi Daerah Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan Provinsi Papua (KOMDA-PIPB) dan WWF-Indonesia sebagai mitra strategis menggelar pertemuan awal dimulainya Proyek Persiapan untuk Pembangunan Yurisdiksi Rendah Karbon di Papua, Indonesia: Pengaturan Kelembagaan dan Intervensi Strategis. Proyek tersebut merupakan amanat dari Governor Climate Forum (GCF) Secretariat, dimana Provinsi Papua menjadi salah satu inisiatornya. Pertemuan awal yang dihadiri oleh jajaran dinas terkait di Provinsi Papua, Perwakilan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Biak-Numfor-Supiori dan KPH Yapen, serta mitra pembangunan bertujuan untuk membangun pemahaman dan komitmen para pihak dalam mendukung implementasi proyek ini.
GCF hadir sebagai bagian dari komitmen para gubernur yang wilayahnya masih memiliki tutupan hutan yang luas agar ikut berkontribusi terhadap peningkatkan emisi CO2, khususnya yang berasal dari perubahan tutupan lahan (land use change). Provinsi Papua dengan luas 31.406.664 ha, merupakan salah satu provinsi yang memiliki tutupan hutan alam terbilang luas diantara anggota GCF.
Di Papua, terdapat dua lokasi KPH yang dijadikan fokus untuk model proyek tersebut. Kedua model KPH tersebut adalah KPH Biak-Numfor & Supiori dan KPH Kepulauan Yapen. Melalui kegiatan ini diharapkan kedua model KPH tersebut berkomitmen dan sepakat untuk menjadi model proyek GCF selama 18 bulan kedepan.
Gubernur Papua, Lukas Enembe. S.IP, MM, dalam sambutannya saat membuka kegiatan tersebut menyatakan bahwa pembentukan KPH di Papua menghadapi tantangan yang berbeda dari provinsi lain di Indonesia. Dimana pembentukan KPH didasari pada hak kepemilikan tanah adat dan nilai-nilai tradisional yang menjadi identitas masyarakat Papua. Kondisi ini didukung juga dengan fakta bahwa dari hampir tiga juta orang di Papua, 84% bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka, termasuk manfaat sosial dan budaya yang didapat dari hutan. Sebagian besar dari mereka dianggap miskin dan konflik sosial dapat dengan mudah terjadi jika perencanaan KPH tidak mempertimbangkan ketergantungan masyarakat Papua pada hutan. Otonomi khusus untuk Provinsi Papua di Indonesia berdasarkan UU No 21/2001 memberi pemerintah provinsi wewenang penuh untuk mengatur orang Papua sesuai dengan aspirasi dan hak tradisional mereka.
Selanjutnya, beliau mendorong keterlibatan para pemangku kepentingan dari berbagai sektor di tingkat provinsi hingga ke kabupaten, distrik dan kampung untuk dapat secara partisipatif mengimplementasikan kegiatan – kegiatan yang telah direncanakan. Diharapkan melalui dukungan penuh para pemangku kepentingan, pemerintah provinsi Papua dapat memberikan kontribusi dalam upaya tata guna lahan yang berkelanjutan dan mendukung komitmen nasional dan global mendorong penurunan emisi CO2 dan mengatasi perubahan iklim. Lebih jauh Gubernur berharap bahwa keberhasilan di dua KPH ini dapat direplikasikan ke KPH lainnya yang ada di Provinsi Papua.
Sejalan dengan itu, Direktur WWF-Indonesia Program Papua, Benja V. Mambai dalam kesempatan yang sama mengemukakan bahwa mayoritas emisi CO2 di Indonesia berasal dari perubahan penggunaan lahan, sehingga sektor berbasis lahan telah ditetapkan sebagai prioritas untuk memenuhi target pengurangan emisi nasional. Di Papua, tata kelola hutan mengalami banyak tantangan seperti deforestasi dan degradasi hutan akibat pembalakan liar, untuk itu pembangunan rendah emisi diharapkan mampu menjawab tantangan tersebut. Lebih lanjut Benja mengatakan “Program tata kelola hutan yang rendah emisi ini tentu saja mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe dan fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial, budaya dan ekonomi serta lembaga adat, termasuk hukum adat dan batas wilayah adat di Papua.”
-Selesai-