PPATK: MARI BERSAMA STOP PERDAGANGAN ILEGAL SATWA LIAR DILINDUNGI HINGGA KE AKARNYA
Perdagangan ilegal satwa liar dilindungi merupakan permasalahan global yang serius dan menjadi bagian dari kejahatan transnasional. Berdasarkan laporan Global Financial Integrity yang berjudul Transnational Crime and the Developing World, yang dipublikasikan pada Maret 2017, aliran dana secara global yang berputar dari tindak kejahatan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi mencapai 10 miliar dollar AS setiap tahunnya. Dalam praktiknya, perburuan dan perdagangan gelap ini juga turut melibatkan korupsi dan pencucian uang, yang mana merusak perekonomian global. Tak hanya berdampak pada ekonomi global, kejahatan ini juga berdampak pada lingkungan, keamanan, dan pemerintahan suatu negara, bahkan lintas negara.
Setiap lembaga penegak hukum perlu berkolaborasi dengan membangun kekuatan penyelidikan dan penyidikan yang multidiscipline dengan menggabungkan instrumen-instrumen hukum yang ada. Salah satunya dengan menggunakan instrumen anti korupsi dan pencucian uang berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Anti Korupsi. Kedua perangkat hukum ini dapat digunakan untuk memburu kekuatan keuangan (follow the money) dibalik kejahatan perdagangan ilegal ini sekaligus menelusuri pelaku-pelakunya dari lapangan sampai otak pelaku dan pemilik modal, mengingat motif utama dari terjadinya kejahatan ini adalah kepentingan ekonomi. Oleh karena itu, keterlibatan lembaga penegak hukum seperti Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi sangat penting, untuk dapat menelusuri dan menindak pelaku tindak kejahatan hingga ke sumbernya, dalam hal ini adalah pemodal.
Melihat fakta tersebut, WWF-Indonesia bersama UNDP Indonesia dan Indonesia Working Group on Forest Finance, menyelenggarakan diskusi kelompok terarah (focus group discussion) bertajuk “Pemberantasan Perdagangan Ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar melalui Pendekatan Sistem Anti Pencucian Uang”. Diskusi ini diselenggarakan pada 28 November 2018 di Jakarta, dan dihadiri oleh perwakilan dari beberapa lembaga seperti Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, Unit Tindak Pidana Tertentu – Badan Reserse Kriminal POLRI, dan Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan – Kementerian Kelautan dan Perikanan. Diskusi ini bertujuan untuk menyusun “Pedoman Penggunaan Sistem Anti Pencucian Uang Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Tumbuhan dan Satwa Liar”, serta membangun kerjasama kelembagaan antar-instansi pemerintah dan swasta untuk memutus rantai kejahatan tersebut.
Perwakilan dari Direktorat Kerja Sama dan Humas PPATK, Muhammad Natsir Kongah mengatakan bahwa perdagangan ilegal satwa liar dilindungi merupakan salah satu dari 26 kategori kejahatan asal (predicate crime) yang berpotensi memiliki indikasi tindak pidana pencucian uang. Definisi dari tindak pidana pencucian uang itu sendiri adalah upaya yang dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil kejahatan. Sebagaimana yang terjadi pada kasus perdagangan ilegal satwa liar dilindungi, uang dari hasil kejahatan banyak digunakan untuk melakukan usaha sehingga terlihat seolah-olah uang yang dimiliki pelaku berasal dari hasil usaha yang legal.
Dalam upaya menghentikan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi, PPATK berperan sebagai lembaga penegak hukum yang dapat memantau aliran dana dan melanjutkan proses hukum bila terdapat transaksi mencurigakan. PPATK dapat menjalankan perannya dalam dua cara, yakni analisis proaktif dan analisis reaktif. Analisis proaktif merupakan tindakan yang dilakukan PPATK ketika mengetahui adanya transaksi tidak wajar dan mencurigakan, sedangkan analisis reaktif adalah tindakan pemeriksaan dan penelusuran yang dilakukan oleh PPATK setelah mendapatkan laporan.
“Laporan yang diberikan kepada PPATK tentunya perlu disertai bukti yang ada. Bila kita berbicara tentang kasus perdagangan ilegal satwa liar dilindungi, tentu PPATK perlu berkolaborasi dengan lembaga lain baik pemerintahan maupun non pemerintah untuk dapat mencapai hasil yang maksimal,” tambah Natsir.
Ini merupakan langkah baik untuk upaya pemberantasan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi, dimana pelaku tidak hanya dapat dijerat UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dimana mengandung ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, tapi juga dapat dijerat oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tidak hanya itu, adanya sinergi dari lembaga penegak hukum seperti PPATK juga memberikan titik terang dimana kemungkinan dapat memutus rantai perdagangan gelap ini hingga tingkat pemodal menjadi lebih besar.
Menghentikan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi di Indonesia bukan hanya kewajiban para lembaga penegak hukum, tapi juga kewajiban kita semua. Publik memegang peran besar untuk dapat menghentikan tindak kejahatan ini karena publik berperan sebagai konsumen. Sudah saatnya kita mengubah peran kita menjadi pengawas dan pelapor. Anda bisa melaporkan tindak kejahatan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi melalui aplikasi e-Pelaporan Satwa Liar Dilindungi. Bila sudah melapor, laporan Anda akan segera ditindaklanjuti oleh pihak berwajib. Ayo hentikan tindak kejahatan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi dan menjadi pahlawan konservasi!