YANG MUDA MENCARI TUNA
Penulis : Maskur Tamanyira (Capture Fisheries Officer WWF-Indonesia)
Rasa khawatir akan ditinggal melaut, membuat saya tergopoh-gopoh di pagi hari pukul 06.00 menuju rumah Bapak Kader, nelayan tuna di Balauring, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Setiba disana, saya disambut oleh beliau yang berselimutkan sarung menginstruksikan saya untuk langsung ke belakang (lokasi kapal bersandar). Saat berjalan bersama, beliau berucap “hari ini saya tidak turun mas, kurang enak badan. Mas nanti ikut keponakan-keponakan saya saja, mereka juga biasa memancing ikan.”
Di belakang rumah saya segera membantu dua keponakan Pak Kader yang akan turun memancing hari ini mempersiapkan bekal dan peralatan. Sekitar pukul 06.15 kami resmi melaut meninggalkan Teluk Balauring. Ditemani pemandangan indah dari Tanjung Baja dan Tanjung Lohu saya berkenalan dengan nelayan muda ini. Nelayan muda pertama, Revin berumur 20 tahun, dan Skin, 23 tahun. “Saya yang mancing mas” Tutur Revin disela perkenalan, “Skin hanya membantu” tambahnya diiringi senyuman yang nampak pada keduanya. Mendengar hal tersebut, saya sedikit meragu apakah nelayan muda ini dapat menampilkan aksi menangkap tuna besar.
Ikan Terbang Pura-pura Hidup
Keluar dari Tanjung Lohu, kami menuju lepas pantai Kalikur untuk membeli ikan terbang yang akan dijadikan umpan. Ikan terbang yang sudah mati dimodifikasi agar terlihat hidup dengan memberikan pemberat (paku) pada mulut ikan dan kemudian sayapnya dijahit agar mengembang. “Menarik” pikir saya. Setelah alat tangkap siap digunakan, kapal mulai dijalankan dengan laju pelan dan berusaha bergerak di depan gerombolan lumba-lumba.
Sambil memegang “alat perang”, Revin mengendalikan kemudi menggunakan kaki menerka arah dan gerakan gerombolan lumba-lumba. Segera Revin mengambil posisi di depan mamalia laut itu sambil berujar “Untuk mencegat tuna mas” Revin berujar seolah mengetahui kebingungan saya. “Di depan gerombolan lumba-lumba, biasanya ada cakalang besar, tongkol dan tuna, mereka sama-sama cari ikan kecil. Makanya saya coba ambil posisi di depan ini karena tuna bergerak lebih cepat dari ikan lumba (mereka memanggilnya begitu) lalu saya lepas umpannya dan coba saya mainkan” (dengan menarik dan menghentak senar pancing, sehingga umpan ikan terbang tadi terlihat hidup dengan melompat-lompat di permukaan air). Inilah yang dinamakan insting yang diperlukan untuk mencari ikan.
Tidak sampai 20 menit bermain dengan senarnya, umpan Revin disambar. Dari belakang kapal ia langsung pindah dengan cepat ke bagian depan, sambil dibantu Skin menggulung senar yang terurai akibat perjuangan Revin menarik ikan. Selang 15 menit kemudian bayangan ikan sudah terlihat, tuna sirip kuning (Thunnus albacares) mulai tampak membesar dan semakin membesar. Ini adalah pertama kali saya melihat nelayan memancing tuna!. “Ah ini kecil mas, paling hanya 40 kilo-an” ucap revin disela takjub saya. Sambil menarik dan mempertahankan ikan dekat permukaan air, Ia lanjut bercerita “saya pernah dapat yang 80 kilo mas”. Dugaan awal saya tidak terbukti sama sekali, kedua anak muda ini lihai dalam menangkap tuna besar!
Setibanya ikan di permukaan, Revin mengarahkan ke tombak yang dipegang oleh Skin. Ketika ikan dipastikan tidak bergerak, ikan dibawa ke atas kapal, lalu bagian kepala dipukul lagi untuk memastikan apakah sudah benar-benar mati, hingga kemudian dimasukkan ke dalam palka berisi es.
Pancing Layangan
Kali ini Skin yang mengemudi dan Revin menyiapkan pancing layangan. Ini merupakan hal baru lagi bagi saya! Konstruksi alat pancing ini adalah layangan biasa yang disambung dengan senar pancing. Pada panjang tertentu juga diikatkan senar tambahan untuk umpan. Cumi buatan menjadi umpan yang dipasang pada perburuan kali ini.
Pancing layang juga memanfaatkan gerombolan lumba-lumba untuk menangkap ikan. Layangan berfungsi untuk menjaga umpan benar-benar berada di permukaan air sehingga saat ditarik pemancing, umpan bergerak lompat layaknya ikan hidup yang lompat untuk menghindari predator. Kapal yang dikendarai Skin (dan diarahkan Revin) bergerak berputar-putar mencari gerombolan lumba-lumba, bergerak di sekitar mulut Teluk Balauring, dari arah Tanjung Baja, Ke Tanjung Lohu.
Jam menunjukkan pukul 14.45 dan layangan belum menunjukkan hasil. “Nanti sore sedikit ikan lumba banyak lagi mas, itu pasti kita dapat ikan lagi” Ujar Revin penuh keyakinan. Selama hampir 2 jam kami semua menunggu, Skin yang memegang kendali kapal sudah mulai terlihat jenuh, sesekali dia menguap.
Tiba saatnya gerombolan lumba-lumba muncul. Laju perahu diarahkan ke depan gerombolan itu sekitar 10 m dari ujung gerombolan. Sambil menikmati laju kapal, di depan, Revin memainkan layangan. Melihat umpan belum juga disambar laju kapal dinaikkan dan disaat Skin hendak melajukan kapal lebih cepat, Revin justu menghentakan kaki agar kapal berhenti, dia bahkan berteriak ke arah Skin memberi tahu bahwa umpan dimakan.
Melihat hal tersebut, dengan sigap Skin mematikan mesin kapal dan melaju ke depan kapal untuk membantu Revin seperti sebelumnya. Kembali saya melihat pertarungan Revin dengan ikan yang terpancing. Kesabarannya membuahkan hasil. Terlihat ikan kali ini lebih besar dari sebelumnya. Gestur tubuh Revin menunjukkan itu. Skin dengan sabar mengurai senar di antara kaki Revin dengan tujuan jika nanti ikan menarik dan Revin memutuskan untuk mengulur, senar tidak tersangkut diantara kaki.
Dua puluh lima menit berlalu hingga bayangan ikan mulai terlihat dan benar saja, melalui bawah kapal kali ini tuna ekor kuning dengan ukuran yang lebih besar. Ukuran sirip kuning identikalnya itu nampak sangat panjang dan melengkung. Indah sekali! Tombakan pertama dan kedua berhasil dielak oleh si tuna. Namun Revin sabar menunggu dan yakin bahwa tuna ini pasti menyerah.
Benar saja, setelah lima belas menit berlalu tuna berukuran kurang lebih 60 Kg menyerah dan pertarungan dimenangkan oleh duo muda Revin dan Skin. Perjalanan pulang Revin masih mencoba mencari tuna, namun tidak ada yang menyambar umpan. Tiada raut kecewa muncul, mungkin karena tangkapan terakhir sangat memuaskan.
Kami pun langsung menuju kapal pengumpul yang berlokasi di Pelabuhan Balauring. Pengumpul inilah yang setiap hari menyediakan es untuk menjaga kesegaran ikan. Imbalan dari es yang nelayan ambil sebelum melaut adalah nelayan wajib mengirimkan ikan hasil mereka hari itu kepada penyedia es. Setibanya di kapal pengumpul, ikan hasil Revin-Skin ditimbang. Ikan pertama berbobot 38 Kg dan Ikan kedua 57 Kg. Hebatnya ini tidak meleset dari dugaan Revin.
Keraguan saya terhapuskan sudah. Sesaat setelah menerima nota pembayaran dari staf kapal penampung Revin segera mengangguk memberikan tanda kepada Skin dan saya “mari pulang, Paman pasti senang” ditutup senyum bahagia si pemuda pencari tuna.