#XPDCMBD: MEATIMIARANG, SURGA IKAN KARANG MALUKU BARAT DAYA
Penulis: Noverica Widjojo (WWF-Indonesia)
Tanpa terasa Ekspedisi Maluku Barat Daya sudah memasuki hari kedelapan. Hari ini (8/11), kami berlayar menelusuri Meatimiarang, sebuah atol besar di Maluku Barat Daya yang terletak di antara Pulau Lakor dan gugusan Pulau Luang. Selain merupakan salah satu lokasi wisata selam atau snorkeling yang direkomendasikan, perairan kawasan ini juga dikabarkan sebagai lokasi pemijahan ikan karang – seperti kerapu – terbesar di Maluku Barat Daya. Menurut informasi dari masyarakat setempat yang kami temui selama ekspedisi, di lokasi ini tidak hanya akan ditemui para nelayan Maluku Barat Daya yang sedang menangkap ikan karang, tetapi juga kapal-kapal penampung ikan yang datang dari luar negeri, seperti Hongkong dan Jepang, untuk membeli langsung kerapu hidup dari nelayan setempat.
Berhubung hari ini adalah hari libur, saya bersama Estra, Nope, dan Damora dari WWF-Indonesia; serta Igna dan Budi dari KKP, memutuskan untuk snorkeling di Meatimiarang sembari mencoba menemui nelayan-nelayan yang sedang menangkap ikan karang di lokasi itu, karena dari kejauhan kami melihat sebuah benda yang mengapung di lautan dan berbentuk seperti bilik kecil. Namun, karena sedang ‘meti’, kapal Seven Seas tidak bisa masuk terlalu jauh ke titik yang ingin dituju, sehingga kami harus menggunakan perahu karet bermesin satu.
Di tengah teriknya matahari saat menuju lokasi, kami bertemu dengan seorang pria berumur sekitar 40 tahun keatas bernama Jawa. Pria yang ternyata adalah seorang nelayan kerapu ini, ramah menyapa dan langsung mengarahkan kami ke sebuah bilik kecil itu. Saat kami tiba di lokasi, ternyata tempat tersebut adalah keramba jaring apung untuk berbagai jenis ikan karang, salah satunya adalah kerapu, atau yang dikenal dengan sebutan ‘geropa’ dalam bahasa lokal. Sementara bilik kecil yang mengapung itu merupakan tempat istirahat sementara bagi pemilik keramba. Keramba jaring apung ini disinyalir sebagai bantuan dari pemerintah untuk kepentingan ilmu pengetahuan bagi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Perikanan di Luang Timur. Namun karena tidak pernah dimanfaatkan, keramba itu pun diambil alih oleh Kepala Desa (Kades) Luang Barat sebagai penampungan ikan karang hidup bagi para nelayan setempat.
Saat kapal karet kami mendekat ke salah satu sisi keramba, Estra; Nope; Damora; dan Budi bergegas naik ke keramba. Setelah melihat secara keseluruhan, mereka berempat duduk di bagian keramba dekat dengan perahu kayu milik Jawa yang diberi nama ‘Forever’ itu. Didorong oleh rasa penasaran sekaligus kagum melihat ikan kerapu hidup berukuran diatas 30 cm, mereka berebut melontarkan berbagai macam pertanyaan kepada Jawa. Menurut pria yang berasal dari Desa Luang Barat itu, semua nelayan yang datang ke Metiamarang untuk menangkap ikan karang sejauh ini berasal dari Maluku Barat Daya. Mereka hanya menangkap saat musim penangkapan di bulan September hingga Desember saja. “Selain September sampai Desember, ombak di sini besar,” jelasnya.
Di sisi lain keramba, terlihat Igna sudah naik ke perahu kayu lain dan berbincang santai dengan dua orang nelayan, yang mengatakan bahwa saat musim penangkapan, para nelayan bisa menangkap 10-15 ekor kerapu dalam kurun waktu kurang dari satu jam saja per hari. Dengan kata lain, Meatimiarang bisa disimpulkan sebagai ‘surga’nya nelayan ikan karang di Maluku Barat Daya.
Setelah ditangkap, kerapu-kerapu yang masih hidup tersebut ditampung di bagian lambung perahu kayu yang sudah diberi sekat pemisah dan diisi air laut. Terkait alat tangkap dan umpan, kedua nelayan itu menjelaskan bahwa mereka hanya menangkap kerapu menggunakan alat tangkap pancing sederhana – menggunakan benang dan kail – dengan umpan berupa potongan bagian kerapu anakan, dan jaring apung yang sudah dipasang di keramba tersebut. Jika menggunakan jaring apung, para nelayan cukup menggunakan umpan ikan tongkol atau cakalang hidup yang diiris tidak terlalu dalam bagian tubuhnya. Kedua nelayan yang juga berasal dari Pulau Luang itu, mengatakan, “Geropa sangat suka makan tongkol dan cakalang. Seperti hiu, kerapu punya penciuman tajam terhadap bau darah mangsanya.” Terkait harga, Jawa dan kedua nelayan tersebut menjawab bahwa mereka menjual hasil tangkapan ikan karang sekitar IDR 90.000-150.000 per ekor.
Tak terasa kami sudah menghabiskan sekitar satu jam di keramba dan hari sudah menjelang sore. Kami pun berpamitan dengan Jawa dan kedua nelayan lainnya, kembali ke atas perahu karet, dan bergegas menuju lokasi snorkeling sebelum matahari terbenam.