#XPDCMBD: DESA USTUTUN, GARDA DEPAN BANGSA YANG (NYARIS) TERABAIKAN
Penulis: Imaniar Pratiwi (IPB)
Hari ini (3/11), Tim Darat akhirnya turun ke darat dan mendatangi Desa Ustutun di Pulau Liran, desa yang dijadikan lokasi pengamatan pertama untuk survei sosial dan perikanan di Survei Cepat Maluku Barat Daya.
Ketika datang, saya dan tim langsung mengunjungi rumah Kepala Desa (Kades) Ustutun untuk permohonan izin melakukan survei terkait aspek sosial dan perikanan ke penduduk setempat. Kades, yang juga dianggap sebagai raja di wilayah itu, menyambut kami dengan hangat. Mereka pun secara terbuka menceritakan sejarah desa dan kondisi Desa Ustutun yang merasa diabaikan oleh Pemerintah Indonesia. Bisa dibilang dengan kedatangan kami, desa ini sepertinya menemukan secercah harapan akan solusi untuk segala macam permasalahan yang sedang mereka hadapi. Karena faktanya, memang sungguh miris ketika diketahui bahwa hampir seluruh kebutuhan sehari-hari desa ini bergantung pada Timor Leste. Bahkan, ikan yang ditangkap oleh para nelayan Desa Ustutun pun dijual ke negara tetangga tersebut karena selain tidak adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) baik di Pulau Liran maupun Pulau Wetar, jarak yang harus mereka tempuh untuk ke TPI di lokasi-lokasi terdekat pun cukup jauh sehingga harus mengeluarkan biaya tambahan transportasi. Sementara itu, jarak Desa Ustutun ke Timor Leste cukup ditempuh dalam waktu 2-3 jam dengan menggunakan kapal cepat.
TPI merupakan salah satu wadah penting bagi para nelayan dalam menjual hasil tangkapannya. Selain untuk kepentingan pendataan dan menjaga keseimbangan harga pasar demi menghindari monopoli dari pihak-pihak tertentu, TPI yang fungsional juga menyediakan gudang pendingin (cool storage) agar hasil tangkapan ikan para nelayan dapat terjaga kesegarannya dan tidak menurunkan harga jual.
Setelah berbincang-bincang cukup lama, Kades mengumpulkan para nelayan dan penjual ikan setempat di Balai Desa Ustutun untuk mempermudah kami dalam melakukan survei. Beberapa saat setelah itu, Kades mengajak saya untuk melihat alat-alat tangkap apa saja yang digunakan para nelayan untuk menangkap ikan. Tanpa ragu, saya pun langsung menyetujuinya dan berkata kepada Kades, “Wah kebetulan, mendokumentasikan alat tangkap ikan memang merupakan salah satu tugas saya hari ini.” Kami pun langsung bergegas ke arah pantai. Setelah itu, Kades menunjukkan sebuah bangunan gereja yang dibangun secara swadaya oleh warga Desa Ustutun. Gereja ini memiliki bangunan yang cukup besar, mengingat 70% penduduk Desa Ustutun adalah penganut Kristen Protestan.
Setelah berkeliling, tanpa disadari, saya sudah berada di depan sebuah rumah dan Kades kemudian mengajak saya untuk masuk ke dalamnya untuk bertemu dengan kepala sekolah SMK Perikanan di Desa Ustutuan. Melihat banyaknya peneliti yang datang dari berbagai bidang dan institusi, Kades bermaksud mengajak seluruh Tim Darat untuk memberikan presentasi sekaligus memacu motivasi para pelajar SMK yang bersekolah ‘meminjam’ gedung SD tersebut terkait isu konservasi dan perikanan. Saya pun lalu memanggil seluruh Tim Darat untuk segera bergabung, memperkenalkan diri masing-masing, dan menjelaskan maksud dan tujuan dari survei ini.
Begitu selesai berbicara di depan para pelajar SMK, hari sudah semakin sore dan air laut sudah pasang. Kami pun memutuskan untuk berpisah dengan warga dan kembali ke kapal. Sama seperti warga Desa Ustutun, saya juga berharap hasil-hasil penelitian dan survei yang diperoleh selama ekspedisi ini dapat memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia, provinsi dan kabupaten dalam realisasi pembangunan desa-desa yang berada di ujung batas negara.