WWF DORONG PRODUKSI KOPI KUYUNGARANG
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Lampung (21/07)-Sejak tahun 2004, WWF-Indonesia memberikan pendampingan kepada kelompok petani kopi di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBS), Lampung untuk menerapkan teknik budidaya kopi secara berkelanjutan. Melalui program kopi dan konservasi, WWF mendorong petani untuk meningkatkan hasil panennya sekaligus memastikan kualitas kopi yang dihasilkan.
Melalui sekolah lapang (field farmers school), WWF memberikan pengetahuan mengenai perawatan kebun untuk mengoptimalkan pertumbuhan buah, mendorong petani untuk tidak lagi menggunakan bahan kimia dalam proses perawatan kebunnya, serta memberikan pelatihan membuat pupuk dengan memanfaatkan bahan-bahan alami yang ada di sekitar mereka.
“Kita latih mereka untuk budidayanya supaya ada peningkatan kualitas dan kuantitasnya, sehinggga pelan-pelan ini akan menambah pendapatan mereka. Intinya kita mengajarkan mereka bagaimana lahan yang satu bidang ini hasilnya sama dengan lahan yang tiga sampai empat bidang di dalam taman,” ujar Community-based Conservation Officer WWF-Indonesia Kantor Lampung Iwan Kurniawan.
Manfaat sekolah lapang tersebut dirasakan oleh Ketua kelompok petani kopi Ngudi Rukun, Prapto. Menurutnya, melalui sekolah lapang, para petani diajarkan untuk menggali potensi yang ada di lingkungan masing-masing mulai dari kalender musim, teknik budidaya, pengembangan agen hayati, pemberian nutrisi terhadap tanaman, sampai teknik pemangkasan.
“Kita belajar membuat Pupuk Organik Cair (POC) , kemudian juga PPC (Pupuk Pelengkap Cair) untuk merangsang pembesaran buah dan akarnya. Kami juga belajar cara pengendalian hama yang baik misalnya dengan menggunakan patogen serangga khusunya jamur B. Bassiana (Beauveria bassiana) dan juga jamur trichoderma untuk mengendalikan penyakitnya itu sendiri. Setelah dipelajari, ternyata kita tidak perlu bersusah payah untuk mencari musuh-musuh alami untuk menyeimbangkan ekosistem yang ada di dalam kebun kita,” jelasnya.
Selain perawatan kebun, WWF juga mendampingi proses panen biji kopi tersebut. Sesuai standar Internal Control System (ICS) yang telah disepakati kelompok petani binaan WWF, 80 % buah kopi yang dipanen adalah “petik merah.” Petani yang awalnya biasa memetik campur (hijau dan merah) karena terdesak kebutuhan, kini hanya memetik buah yang sudah merah saja. Hal ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas biji kopi yang dihasilkan.
Kontrol pasca penen juga tidak luput dari perhatian. Jika sebelumnya para petani biasa menjemur biji kopi di lantai atau di atas tanah, kini mereka menjemur biji kopi dengan menggunakan para-para (bambu) atau menggunakan alas semen. Teknik penjemuran ini dilakukan untuk menjaga kualitas kopi agar tidak beraroma tanah mengingat sifat kopi yang mudah menyerap bau.
Proses selanjutnya adalah biji kopi dikirim ke unit usaha Sekar Sedayu. Kelompok yang terdiri dari kaum ibu-ibu itulah yang nantinya memproses biji kopi tersebut menjadi kopi bubuk Kuyungarang. Di unit ini, biji kopi juga mendapat perlakuan khusus, misalnya ada sortasi untuk memilih atau memisahkan kotoran serta memillih besar kecilnya biji kopi. Kadar air juga dikontrol agar tidak lebih dari 12 %.
Beragam bentuk dampingan yang diberikan WWF terbukti mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas kopi Kuyungarang. Berdasarkan keterangan Prapto, produktivitas kopi meningkat kurang lebih 20 %. Menurut prediksinya, dua sampai tiga tahun mendatang produktivitas kopi bisa meningkat hingga lebih dari 50 %.
“Tahun ini kita sudah dapat dua pesanan, satu di wilayah kita yang jumlahnya mencapai setengah ton untuk jenis kopi super dengan grade 3 dan kadar air 11,8 sampai 12 %..Baru-baru ini kita juga sudah kirim ke Sekar Sedayu biji kopi yang kadar airnya sama, gradenya juga sama. Dengan produktivitas yang demikian, kami optimis mampu memenuhi permintaan konsumen,” jelasnya.