MEMILIH PANGAN LOKAL, MENJAGA WARISAN BUDAYA DAN KELESTARIAN ALAM
Oleh: Cristina Eghenter dan Ciptanti Putri
Makanan merupakan kebutuhan mendasar dan menjadi hak asasi manusia. Para ahli antropologi dan sejarawan melihat aktivitas mengkonsumsi makanan—baik jenis pilihannya, proses pengolahan, dan cara menyantapnya—sebagai sebuah makna budaya yang mendalam. Lewat makanan, tercermin sejarah, kekayaan tradisi, serta identitas suatu etnis. Makanan menjadi faktor penting penanda setiap perayaan dalam siklus kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh status sosial.
Indonesia memiliki ragam makanan lokal yang sangat kaya. Makanan-makanan tersebut diolah dari bahan pangan yang berasal dari alam Indonesia. Komoditas itu tak sedikit yang dibudidaya secara tradisional lewat cara-cara yang mempertimbangkan siklus yang berkelanjutan dan menggunakan pupuk non-kimiawi. Maka, dihasilkan produk yang tak hanya unggul secara kualitas, namun juga sehat dan ramah lingkungan karena organik.
Sejalan dengan kesadaran untuk menerapkan gaya hidup sehat dan gaya hidup hijau, konsumen perlu juga mengetahui khasanah bahan pangan lokal karena kandungan nilai budaya, nilai ekonomi, nilai solidaritas, hingga nilai konservasinya. Makanan bukan lagi sebuah produk yang anonim; makanan mencerminkan hubungan ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya.
Beras Adan Krayan
Salah satu bahan pangan lokal yang merupakan warisan kekayaan budaya Indonesia adalah Beras Adan Krayan. Beras ini merupakan salah satu varietas unggul yang hingga saat ini masih dibudidayakan di Krayan dan daerah dataran tinggi lainnya di kawasan Jantung Kalimantan (Heart of Borneo). Terdapat tiga jenis varietas Beras Adan: beras putih, merah, dan hitam. Biji-bijian beras ini kecil dan bertekstur halus, serta dikenal memiliki rasa yang enak (pulen). Beras Adan putih diketahui memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, sementara beras hitamnya mengandung mineral tinggi.
Para petani di wilayah Sarawak maupun Krayan membudidayakan Beras Adan dengan cara tradisional dan organik. Tiap keluarga menggarap antara satu sampai lima hektare sawah dengan proses kerja yang intensif. Mereka membangun parit alami atau menyiapkan pipa-pipa dari bambu agar air dari gunung dapat mengalir ke sawah. Kerbau tidak digunakan untuk membajak sawah, namun dilepasliarkan setelah musim panen. Kerbau-kerbau akan menginjak-injak tanah, memakan gulma, dan meninggalkan kotoran sebagai pupuk alami sehingga sawah siap untuk diolah kembali pada musim tanam selanjutnya.
Proses pembibitan biasanya dimulai pada Juli dan penanaman dilakukan setelahnya. Melewati masa lima bulan, sawah akan mulai menguning. Musim panen pun dimulai, yakni sejak akhir Desember hingga Februari. Panen beras ini hanya berlangsung setahun sekali.
Pemerintah Indonesia telah memberi sertifikat Indikasi Geografis (Geographic Indication) pada Beras Adan dari Krayan sebagai pengakuan atas karakteristik unik dari beras lokal ini. Hal itu membuat produk beras dari Krayan saja yang dapat dipromosikan dan dipasarkan dengan nama Beras Adan Krayan. Yayasan Slow Food bahkan telah mencatat Beras Adan varietas hitam dalam “Ark of Taste”, sebuah daftar dunia tentang kekayaan sumber pangan hasil budidaya lokal yang perlu dilestarikan.
Garam Gunung (Tucu’)
Siapa menyangka kawasan dataran tinggi di Kalimantan memiliki banyak mata air bergaram? Tingkat keasinan air di mata air tersebut cukup tinggi. Air itu mengalir dari dalam tanah dan dipercaya sudah terkandung sejak jutaan tahun lamanya saat dataran tinggi di sana masih terendam oleh air laut. Dengan teknologi terapan yang masih sederhana dan tradisional, masyarakat lokal lalu mengolah air tersebut menjadi garam gunung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta diperdagangkan. Mereka menyebut garam olahan ini tucu’.
Diperlukan waktu sekitar dua hingga tiga minggu untuk berproduksi karena lokasi pengerjaannya sering kali jauh dari desa. Namun, kini ditemukan sebuah inovasi baru penggunaan tong logam untuk memasak sehingga kapasitas air yang ditampung dapat lebih besar. Proses ekstraksi garam pun berlangsung dalam tempo yang relatif lebih singkat.
Pengemasan garam gunung dilakukan secara tradisional, yakni dengan memanaskan ekstrak garam dan mengalirkannya ke bilah bambu di atas tungku api, kemudian dibungkus dengan daun. Biasanya garam ini disimpan di tumpukan kayu bakar di atas perapian di dapur. Dengan cara itu balok-balok garam akan terus keras dan kering, serta dapat digunakan selama bertahun-tahun.
Proses produksi garam gunung merupakan bagian penting dari warisan sejarah dan budaya masyarakat dataran tinggi Kalimantan. Garam gunung menjadi komoditas yang berharga dan umum diperjualbelikan di sana. Selain sering dibeli sebagai buah tangan, masyarakat dari daerah sekitar kerap mencari garam gunung karena khasiat pengobatannya.
Yayasan Slow Food telah pula menorehkan garam gunung Krayan di daftar “Ark of Taste”. Hal tersebut merupakan pengakuan dunia atas produk yang tak hanya berkarakter unik dan memiliki cita rasa lokal, namun juga langka dan istimewa.
Temukan Beras Adan Krayan, garam gunung, serta berbagai komoditas lokal Indonesia lainnya di “Festival Panen Raya Nusantara” yang akan diselenggarakan pada 6-7 Juni 2015 di Lapangan Banteng, Jakarta. Produk-produk lokal ini perlu terus kita dukung dan jaga keberadaannya. Temukan juga beragam contoh perilaku ramah lingkungan di seri stiker ""Green Lifestyle WWF"". Unggah segera di Blackberry Messenger Shop.