UPAYA MITIGASI BYCATCH BIOTA LAUT TERANCAM PUNAH DAN DILINDUNGI PADA ALAT TANGKAP JARING INSANG (GILLNET)
Sumber daya perikanan rusak disebabkan oleh perkembangan teknologi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (Atmaja et al. 2011). Teknologi penangkapan ikan yang modern diduga mengakibatkan krisis perikanan secara langsung dan tidak langsung, ditambah lagi dengan tertangkapnya spesies lain secara tidak sengaja yang merupakan bagian dari rantai makanan dalam ekosistem tersebut. Hal ini bisa berdampak pada rusaknya keanekaragaman hayati laut sehingga harus segera dicari solusinya.
Sangat penting artinya bagi Indonesia untuk mulai memikirkan solusi untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan tersebut dalam berbagai skala yaitu dalam perikanan artisanal maupun di industri. Di sisi lain, pengelolaan perikanan di Indonesia juga menjadi perhatian masyarakat dunia, khususnya hasil tangkapan sampingan yang merupakan spesies-spesies yang dilindungi, seperti penyu, mamalia laut, dan burung laut. Sangat penting artinya untuk mempertahankan populasi spesies-spesies dilindungi tersebut tanpa mengurangi nilai ekonomi dari industri perikanan. Status dari pengelolaan perikanan di Indonesia akan menentukan posisi tawar produk perikanan Indonesia di pasar dunia.
Wawan Ridwan, Direktur Program Coral Triangle WWF-Indonesia, mengatakan bahwa rantai makanan di ekosistem laut harus tetap dijaga keseimbangannya. Misalnya hiu sebagai top predator. “WWF menghimbau berbagai pihak agar selalu memperhatikan dan menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dengan jumlah populasi di alam.” ujarnya saat membuka Workshop Pelatihan Penggunaan Light Gillnet di Jakarta beberapa waktu lalu.
Mike Osmond dari WWF-US, selaku narasumber dalam workshop tersebut mengatakan bahwa tangkapan sampingan atau bycatch adalah ancaman terhadap keanekaragaman hayati laut. “Bycatch merupakan isu yang perlu diperhatikan karena pengelolaannya sangat rumit, memakan waktu lama, dan biaya yang cukup besar.” lanjutnya. Ia pun berbagi pengalaman tentang kompetisi Smart Gear, yaitu kompetisi dua tahunan yang diadakan WWF-US sejak tahun 2005 hingga 2011 untuk mencari penemuan atau ide-ide teknologi alat-alat tangkap perikanan yang lebih ramah lingkungan untuk mengurangi bycatch. Kompetisi yang diikuti oleh para nelayan serta praktisi-praktisi perikanan ini ternyata sangat membantu dan sudah diterapkan di US.
Akses tautan berikut untuk melihat contoh salah satu teknologi alat tangkap yang muncul sebagai pemenang di kompetisi Smart Gear:
http://www.wwf.or.id/berita_fakta/berita_fakta/news_marine.cfm?23582/smart-gear-2011-burung-laut-tak-perlu-takut-kena-pancing)
Penggunaan Light Stick pada Alat Tangkap Jaring Insang Pantai (Coastal Gillnet) untuk Mereduksi Bycatch Penyu
Perikanan jaring insang banyak digunakan oleh para nelayan didaerah pesisir di seluruh dunia, namun sering menjadi masalah karena dapat meningkatkan hasil tangkapan sampingan (bycatch), terutama penyu. John Wang, dari The National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA,) pada acara workshop yang sama mengatakan bahwa isu penyu merupakan isu global karena penyu-penyu yang berada di Indonesia ini, terutama Penyu Belimbing bermigrasi hingga keperairan di sekitar Amerika.
Mereduksi bycatch penyu dapat dilakukan dengan memanfaatkan pola tingkahlaku dari spesies tersebut. Salah satu solusi yang dikembangkan untuk mengurangi bycatch penyu adalah dengan memanfaatkan karakter visual penyu, yaitu sensitivitas terhadap cahaya.Penyu sangat sensitif terhadap cahaya dan biasa nya menghindar saat melihat pendar cahaya. Karakter ini dimanfaatkan dengan mengembangkan sejenis lampu yang dapat dikaitkan pada jaring insang. Jaring yang terang oleh lampu dapat menciptakan isyarat visual bagi penyu untuk menghindari jarring tersebut. Dengan demikian mencegah penyu tertangkap pada jarring insang.
Kunjungan Lapangan Sebelum Penerapan Light Stick di Paloh
WWF mulai bekerja di Paloh sejak tahun 2009. Pantai Paloh yang terbentang sejauh 63 kilometer merupakan pantai peneluran penyu terbesar di Indonesia dan kedua terbesar di sepanjang semenanjung Malaysia hingga Sulawesi. Kawasan Paloh sendiri merupakan kawasan dengan aktivitas perikanan tangkap yang sangat marak sehingga menjadi tantangan sendiri bagi aktivitas penyu di kawasan tersebut. Secara politis, Pantai Paloh juga berbatasan langsung dengan Negara Malaysia.
Kegiatan kunjungan lapangan ke Paloh sempat dilakukan beberapa hari sebelum pelaksanaan workshop yang meliputi pengumpulan informasi teknis, teori dan pembelajaran dalam penggunaan gillnet dan potensi penerapan light stick pada gillnet di perairan Indonesia, terutama di perairan Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas sebagai lokasi percontohan pengadopsian light stick pada gillnet.
Setelah melakukan diskusi bersama WWF dan NOAA mengenai penggunaan light stick gillnet, sebagian besar nelayan di Paloh mengutarakan keinginannya untuk melakukan uji coba penggunaan light stick untuk menurunkan jumlah bycatch penyu. Nelayan di Paloh mengeluhkan bycatch penyu seringkali menyebabkan kerusakan jaring. Saat penyu tertangkap, nelayan harus menghabiskan waktu enam hingga delapan jam untuk memperbaiki jaring. Selain itu, nelayan di Paloh masih memegang teguh kearifan lokal setempat untuk tidak menyakiti penyu ketika tertangkap. Keyakinan daerah setempat mengajarkan agar hasil tangkapan penyu harus segera dilepas karena dapat membawa sial.
“WWF berharap ini bukan hanya sebuah penelitian, namun menjadi langkah awal terwujudnya teknologi perikanan yang ramah lingkungan.” Ujar Imam Musthofa, selaku Pimpinan Program Perikanan WWF-Indonesia, saat menutup Workshop Pelatihan Penggunaan Light Gillnet.
(Novita Eka Syaputri)