DISKUSI KONSERVASI: TIDAK ADA ALASAN UNTUK MEMBURU DAN MENGONSUMSI HIU
Hiu adalah ikan predator yang berperan menjaga ekosistem di lautan luas. Keberadaan hiu menandakan lingkungan di sekitar area jelajahnya dalam kondisi baik. Satwa kharismatik ini mengendalikan populasi hewan laut dalam rantai makanan. Hiu memangsa ikan-ikan karnivora sehingga menjamin terjaganya kelimpahan ikan-ikan kecil yang bisa dikonsumsi manusia.
Jika populasi pemuncak rantai makanan itu berkurang, maka kualitas ekosistem laut di sekitarnya akan menurun. Penangkapan hiu besar-besaran menyebabkan ikan karnivora semakin banyak, sementara jumlah ikan-ikan kecil menurun drastis. Kehilangan hiu di satu area perairan juga mengakibatkan ledakan populasi alga yang biasa dimakan oleh ikan-ikan kecil. Alga tersebut akan mengganggu kesehatan karang. Ketika karang rusak, ikan besar dan kecil terancam punah. Pada akhirnya, penurunan populasi hiu dalam jumlah banyak akan berdampak negatif bagi ketahanan pangan nasional.
Ironisnya, ancaman keberlangsungan hidup hiu justru berasal dari manusia. Sebagian orang mendulang untung dari praktik perdagangan sirip hiu yang ditawar dengan harga mahal. Tingginya harga sirip hiu dipicu permintaan dari masyarakat umum hingga pengusaha hotel dan restoran. Bagian tubuh hiu tersebut dibutuhkan sebagai bahan dasar pembuatan sup untuk jamuan pada momen tertentu.
Berdasarkan data, pada tahun 2014-2016, jumlah konsumsi sirip ikan hiu di Jakarta saja bisa mencapai 12.622 kilogram per tahun. “Sementara itu, pada 2016, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara eksportir sirip hiu. Sebanyak 16,8 persen total tangkapan hiu di dunia berasal dari Indonesia,” tutur Vinni Nurizky, Shark Campaigner WWF-Indonesia pada Diskusi Konservasi bertajuk “I Love (hi)U” di Jakarta, 22 Februari 2019 lalu.
Padahal, konsumsi hiu bisa berbahaya untuk manusia. Sebuah penelitan telah membuktikan adanya kandungan merkuri dalam sirip ikan hiu yang bisa tertimbun dalam ginjal manusia. “Pada tahun 2017, WWF Indonesia sudah mengajak industri jasa makanan dan perhotelan di Indonesia untuk menghentikan penggunaan hiu, baik itu sirip, daging, maupun telurnya, sebagai bahan dasar makanan,” tambah Vinny.
Lagipula, konsumsi sirip hiu tidak terkait dengan tradisi apa pun. Sekjen Asosiasi Peranakan Tionghoa, Aji Bromokusuma menjelaskan bahwa sirip hiu memang merupakan hidangan yang sulit didapat sehingga menjadi prestise bagi raja-raja di masa lalu. Kemudian, orang-orang zaman sekarang latah mengikuti kebiasaan tersebut, dan menanggap konsumsi hiu mewakili unsur kemakmuran. “Imlek sejatinya adalah perayaan syukur dan harapan bahwa alam semesta ini masih memberkati umat manusia untuk tahun berikutnya,” jelasnya.
Meski sudah banyak bukti dan alasan bahwa konsumsi hiu tidak dianjurkan, namun perburuan masih terus terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak peserta DisKo. “Jika sudah ada regulasi yang menyatakan hiu dilindungi, mengapa masih ada permintaan (sirip hiu untuk bahan sup)?” demikian pertanyaan yang dilontarkan Denis, salah satu peserta DisKo.
Pertanyaan tersebut dijawab dengan sebuah penjelasan panjang dari Aji. Ia menyebut bahwa sirip hiu mengandung kolagen sehingga dipercaya bisa bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa khasiat sirip hiu antara lain meningkatkan kesehatan kulit, gairah seksual, menambah energi, mencegah penyakit jantung, dan menurunkan kolesterol. ”Sirip ikan hiu dianggap kaya kolagen, padahal di ceker ayam juga ada kolagen, di cingur juga ada. Jadi, saya kira (konsumsi sirip hiu untuk tujuan kesehatan) hanya mitos,” jawab Aji.
Jadi, tak ada alasan untuk memburu dan mengonsumsi hiu. Wujudkan cinta pada hiu dengan membiarkan satwa karismatik itu bebas berenang di lautan, dan menjalankan perannya sebagai penjaga ekosistem.