TIM GURANO BINTANG MEMPERKENALKAN BUKU MELALUI PERPUSTAKAAN KAMPUNG
Oleh: Feronika Manohas (Community Outreach and Development Coordinator WWF-Indonesia Program Papua)
Sore itu, 15 Oktober 2018, sambil menunggu anggota tim Dinas perpustakaan daerah Kabupaten Teluk Wondama, ABK KM Gurano Bintang sedang sibuk mempersiapkan kamar-kamar yang akan digunakan penumpang kapal selama lima hari empat malam. Persiapan ini dilakukan dalam rangka mendukung misi perpustakaan keliling yang dibiayai sepenuhnya oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Teluk Wondama (DPAD).
Meskipun trip kali ini mengusung misi perpustakaan keliling dan pembentukan kelompok pengelola perpustakaan kampung di delapan kampung, WWF-Indonesia juga diberi kesempatan untuk menyampaikan isu lingkungan bagi masyarakat yang dikunjungi. Kali ini trip KM Gurano Bintang bersama perpustakaan keliling mengusung tema lingkungan “Sampah dan Dampaknya bagi Kehidupan Masyarakat Pesisir”.
Kampung pertama yang kami datangi adalah Kampung Aisandami. Setelah malam harinya melakukan koordinasi dengan aparat kampung, pada pagi harinya, sebagian tim DPAD telah mengangkut beberapa perabotan untuk membuka perpustakaan Kampung Aisandami. Beberapa masyarakat tampak sibuk mempersiapkan pasar kampung sebagai tempat pertemuan. Pada pukul 10.00 WIT, sekitar 25 orang dan 20 siswa PAUD menghadiri pertemuan itu.
Tim Gurano Bintang kemudian melaksanakan kegiatan mewarnai dengan para siswa PAUD dan SD. Sementara itu, saya bersama Kepala Dinas dan seorang staf senior DPAD memfasilitasi pertemuan masyarakat yang dihadiri oleh kepala kampung dan beberapa tokoh masyarakat. Pertemuan dimulai dengan penjelasan tentang perpustakaan kampung dan dukungan kerja sama tim Gurano Bintang dalam pelaksanaan perpustakaan keliling di kampung-kampung pesisir, pemilihan pengelola perpustakaan kampung, dan arahan tentang tugas dan tanggung jawab pengelola perpustakaan kampung.
Kegiatan seperti itu dilakukan di delapan kampung yang kami singgahi, yakni Kampung Aisandami, Menarbu, Yende, Reyop, Windesi, Sombokoro, Yoopmeos, dan Dusner. Dari delapan kampung yang dikunjungi, ada lima kampung yang telah dilengkapi perlengkapan perpustakaan sedangkan tiga kampung lainnya baru dalam tahap sosialisasi.
Dalam trip ini, WWF menyampaikan misi free ocean plastics. Saya membuat presentasi dan film-film pendek tentang dampak sampah plastik di lautan. Kami mengajak beberapa anak di Kampung Yende untuk menghitung sampah plastik yang telah ia buang ke laut setiap harinya. Kami mengajak anak-anak itu untuk berkomitmen mengurangi membuang sampah langsung ke laut.
Ada banyak pengalaman berkesan selama mengunjungi kampung-kampung tersebut. Di Kampung Yende, saya ditugaskan mendampingi anak SMP yang sedikit kesulitan menghitung jumlah sampahnya namun mereka antusias untuk berusaha mengikuti arahan.
Di Kampung Aisandami, saya berkesempatan menyampaikan tentang dampak sampah yang dibuang langsung di laut kepada masyarakat umum. Saya jelaskan bahwa sampah plastik dapat mengancam kesehatan laut, terutama ikan-ikan yang kita konsumsi. Saat itu juga, sekretaris kampung menyambutnya dengan inisiatif untuk membuat beberapa rencana kegiatan pembuatan bak penampungan sampah sementara di kampung dengan alokasi dana kampung.
Di Kampung Reyop, saya berkesempatan mengelilingi kampung. Penduduk kampung ini berasal dari Suku Sough dengan pekerjaan utamanya berkebun dan memancing ikan di sekitar pesisir. Di kampung ini bermukim dua marga besar, yakni Mokiri dan Arhita. Konon berdasarkan sejarah, mereka berasal dari wilayah dataran tinggi. Kini Kampung Reyop telah dikembangkan menjadi dua kampung, yakni Kampung Womiwarara yang bersebelahan dengan Kampung Reyop dengan jarak tempuh kurang dari 30 menit jalan kaki atau 10 menit dengan menggunakan perahu dayung. Permasalahan dari pemekaran kampung adalah kurangnya fasilitas pendukung, seperti sarana pendidikan dan kesehatan masih berpusat pada kampung lama.
Guru di Kampung Reyop sering mengeluhkan siswa mereka sering terlambat datang ke sekolah bahkan sering absen karena letak rumah barunya yang agak jauh dari sekolah. “Kadang jika hujan, anak-anak sekolah tidak datang belajar dan sekolah menjadi sedikit sekali siswanya,” ucap seorang guru SD Kampung Reyop.
Perjalanan terakhir KM Gurano Bintang pada trip ini adalah mengunjungi Kampung Yoopmeos dan Dusner. Kehadiran kapal berwarna-warni ini membuat para siswa yang saat itu kebetulan tidak beraktivitas belajar mengajar di sekolah merasa senang. “Sekolah kami tutup Kakak Fero karena guru tidak ada,” ucap salah satu siswa.
Dengan antusias, mereka menyambut undangan saya untuk berkunjung ke KM Gurano Bintang. Saya mengajak mereka berkeliling kapal dan memperkenalkan mereka dengan para ABK KM Gurano Bintang. Selanjutnya mereka membaca buku yang disediakan oleh tim DPAD di kapal dan ditambah beberapa koleksi buku KM Gurano Bintang. Usai membaca, mereka menceritakan kembali isi bacaan mereka. Ada yang membaca buku tentang ancaman banjir, tsunami, dan buku rohani. Di akhir kegiatan di kapal, saya menutupnya dengan menceritakan tentang jejak sampah plastik di lautan. Mereka pun kembali ke kampungnya setelah satu jam berkegiatan di KM Gurano Bintang. “Bisakah kami datang lagi ke kapal ini?” tanya seorang anak dari Kampung Yoopmeos.
Trip KM Gurano Bintang dengan kegiatan perpustakaan keliling memberikan kesan kepada masyarakat bahwa mereka tidak ditinggalkan sendiri oleh pemerintah kabupaten dalam membangun kampungnya. Harapannya, pesan lingkungan yang disampaikan oleh tim Gurano Bintang dapat membekas di hati masyarakat untuk bersama menjaga alamnya dan memajukan kampungnya secara mandiri.