DISKUSI DI BUMI PANDA TENTANG NASIB BADAK JAWA
Oleh: Rosie Ferawati (volunteer Bumi Panda)
Dari lima spesies badak yang masih tersisa di dunia, dua di antaranya ada di Indonesia, yaitu badak Jawa dan badak Sumatera. Walaupun spesies ini nampak kuat karena memiliki kulit bermosaik yang menyerupai baju baja, namun spesies ini statusnya sangat kritis dan mempunyai ancaman kepunahan secara terus-menerus. Karena itulah, pada Sabtu (13/08/2018) yang lalu, WWF-Indonesia mengadakan diskusi yang bertemakan badak Jawa dengan narasumber Yuyun Kurniawan, Project Leader Ujung Kulon WWF-Indonesia. Diskusi bertajuk “Ada Apa dengan Badak Jawa?” tersebut dilakukan di Bumi Panda, Jl. Geusan Ulun No. 3 Dago, Bandung.
Kegiatan diawali dengan pembukaan oleh MC dan pemutaran video dokumenter berjudul “Ekspedisi Cula Baja” yang berkisah tentang seorang mahasiswa yang melakukan ekspedisi ke Ujung Kulon dengan tujuan melihat keberadaan badak Jawa saat ini. Usai pemutaran film, Yuyun Kurniawan atau yang akrab disapa Kang Yuyun memaparkan materi tentang badak Jawa. Materi diskusi diawali dengan pemaparan tiga masalah utama yang sangat mempengaruhi populasi badak Jawa. Tiga permasalahan tersebut adalah dinamika populasi badak Jawa, ancaman terhadap upaya pelestarian badak Jawa, dan isu atau wacana mengenai habitat kedua.
Sulitnya badak bereproduksi menjadi salah satu kendala dalam pertumbuhan populasi badak Jawa. Masa kehamilan badak yang terhitung panjang membuatnya hanya dapat bereproduksi dua atau tiga kali semasa hidupnya. Di sisi lain, sifat pemalu badak betina membuat intensitas bertemunya badak jantan dan betina menjadi sangat minim. Selain itu, biasanya badak betina enggan untuk didekati oleh badak jantan selama anaknya belum dilepas oleh badak betina tersebut.
Di samping permasalahan populasi, terdapat ancaman lain terhadap upaya pelestarian badak Jawa, di antaranya lokasi yang rawan bencana, penurunan daya dukung habitat oleh invasive species (masuknya spesies dari luar), persaingan ruang dan pakan dengan banteng, ancaman penyakit, potensi perburuan, dan populasi yang kecil dan tunggal (perkawinan sedarah).
Salah satu program yang diagendakan oleh pemerintah untuk menyelamatkan badak Jawa adalah membuat habitat kedua yang juga telah dituangkan dalam aturan Permenhut No. 43 Tahun 2007. Maksud dibuatnya habitat kedua itu adalah untuk meningkatkan populasi sebesar 20% dan membangun suaka badak Jawa. Maksud dari habitat kedua ini adalah dengan memindahkan sebagian badak Jawa dari habitat pertamanya untuk dikembangkan di habitat kedua. Wilayah hutan dataran rendah yang cukup sama dengan keadaan di Ujung Kulon yang direncanakan untuk menjadi pengembangan habitat kedua badak Jawa terdapat di wilayah Sukabumi. Diharapkan, tidak hanya sampai pada pengembangan habitat kedua saja, namun bisa dilanjutkan sampai ketiga, keempat, dan seterusnya guna menghindarkan dari kepunahan badak Jawa, khususnya akibat dari wabah penyakit dan bencana alam.
Badak yang tersisa saat ini kurang lebih sekitar 65 individu berdasarkan data tahun 2015. Untuk mengetahui jumlah badak Jawa tersebut, tim WWF pada awalnya hanya mengukur dari tapak badak yang dilakukan dengan dua metode, yaitu metode Schenkel atau metode Nico. Namun metode pengukuran tapak badak ini sebenarnya kurang efektif karena pada umumnya badak memiliki ukuran tapak yang sama sehingga pada saat itu hanya diklasifikasikan berdasarkan umur saja. Saat ini, metode tersebut sudah tidak digunakan. Alat yang saat ini digunakan untuk membantu mengetahui jumlah badak adalah menggunakan camera trap yang dapat menangkap gambar bergerak, termasuk badak.
Diskusi berlangsung hangat. Para peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa di daerah Bandung sangat tertarik dengan informasi yang disampaikan seputar badak Jawa. Sebelum acara diskusi berakhir, salah satu peserta bertanya, “Dari paparan Pak Yuyun tadi, saya menangkap jadi sebenarnya ancaman terbesar saat ini untuk badak Jawa itu adalah lokasi yang rawan bencana dan adanya wabah penyakit ya, Pak? Bukan perburuan?” Pertanyaan tersebut dibenarkan oleh Kang Yuyun. Saat ini, perburuan sudah jarang sekali terjadi, namun yang patut diwaspadai adalah wabah penyakit dan letak lokasi wilayah konservasi Ujung Kulon yang dekat dengan posisi Anak Gunung Krakatau yang masih aktif. Apabila terjadi bencana alam gunung meletus, wilayah Ujung Kulon dapat habis terkena tsunami.
“Badak Jawa perlu mendapatkan perhatian lebih karena pilihannya hanya bertahan atau punah. Kesadaran masyarakat dan pemerintah akan keberadaan badak Jawa di Ujung Kulon sangat diharapkan karena lestari terlahir dari hati,” pungkas Yuyun Kurniawan menutup diskusi