SURVEI PENANGKAPAN LOBSTER DI PANTAI SELATAN JAWA
Oleh Windy Rizki
WWF-Indonesia melakukan survei penangkapan lobster di pantai selatan Jawa di bulan Mei, untuk melengkapi Better Management Practices (BMP) Lobster yang sedang disusun. Sebelumnya survei praktik penangkapan lobster sudah pernah dilakukan di Kendari dan Kolaka (Sulawesi Tenggara) namun berbeda cara dan alat penangkapannya.
Survei praktik penangkapan lobster ini dilakukan di Gunungkidul Pantai Selatan Jawa, tepatnya di Pantai Gesing, Baron,dan Timang. Pantai Selatan Jawa yang berkontur tebing dan terkenal akan lobsternya. Alat untuk menangkap lobster di sini bervariasi mulai dari perangkap (dalam bahasa lokal disebut pelintur), jaring, dan krendet. Yang menarik, ternyata ada banyak cara menangkap lobster menggunakan krendet : bisa dilempar dari kapal ke laut pada spot yang di yakini banyak lobsternya, dilempar dari tebing secara langsung, bahkan ada nelayan yang harus menyeberang antartebing menggunakan kereta gantung tradisional untuk memasang krendet di tebing seberang.
Berdasarkan dari hasil survei ini dapat dilihat bahwa tiap pantai memiliki jenis alat tangkap lobsternya sendiri. Nelayan di Pantai Gesing fokus menangkap lobster dengan menggunakan perangkap atau pelintur, di Pantai Baron menggunakan jaring dan krendet dengan kapal, dan di Pantai Timang nelayan menggunakan krendet dengan cara menyebrang menggunakan kereta gantung tradisional. Masing-masing alat tangkap ini pun memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri. Menurut nelayan menangkap dengan krendet lebih banyak menghasilkan lobster dibanding jaring. Hal ini disebabkan krendet ditaruh di lubang-lubang antara bebatuan yang merupakan tempat tinggal lobster, sedangkan jaring ditaruh di tengah perairan. Namun krendet juga memiliki resiko rusak lebih besar dibanding jaring karena sering tersangkut di batu karang. Oleh karena itu, dari ketiga alat tangkap lobster ini yang dinilai lebih ramah lingkungan ialah jaring karena resiko jaring tersangkut di batu karang lebih kecil dibanding pelintur dan krendet yang sering tersangkut di batu dan kadang tidak dapat diambil kembali sehingga menimbulkan sampah di laut.
Jenis lobster yang menjadi incaran di Gunung kidul ialah Lobster Pasir Hijau, Lobster Batik, Lobster Batu,dan Lobster Mutiara yang memiliki harga paling tinggi dibandingkan jenis lobster lainnya. Yang menjadi isu utama dalam penangkapan lobster yaitu belum ada trik khusus untuk memastikan kaki dan sungut tidak patah karena lobster tertangkap jarring. Hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisasinya adalah lobster yang sudah tertangkap di jaring harus dilepas secara perlahan, bila kakinya tersangkut jaring maka jaring tersebut digunting dari kaki atau sungutnya bukan ditarik.
Selain melakukan survei ke pantai-pantai, dilakukan juga kunjungan ke rumah pengepul lobster setempat yang sudah menjadi pengepul selama kurang lebih 20 tahun. Pengepul lobster di Gunung kidul mempunyai bak penampungan lobster sendiri di rumahnya lengkap dengan alat pengukur salinitas dan alat pengemasan.
Harga lobster tergantung akan musim penangkapan, bila sedang musim sedang bagus, harga lobster tidak terlalu mahal (Rp.170.000-200.000/kg). Namun bila sedang musim paceklik harga lobster akan lebih mahal (Rp.300.000-400.000/kg). Harga lobster termahal yaitu saat Imlek karena permintaan sangat tinggi dan harganya dapat mencapai Rp.500.000/kg. Selain musim penangkapan, harga lobster juga bergantung akan kelengkapan kakinya dan akan jatuh bila 3 kakinya sudah ada yang patah. Tindak lanjut yang akan dilakukan setelah survey ini adalah penyusunan BMP lobster yang diharapkan dapat membantu nelayan dan menjadi acuan dalam melakukan praktitk penangkapan lobster yang lebih baik sehingga menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan menjamin mata pencaharian serta kesejahteraan nelayan.