SOROTAN: BAHAN BAKAR FOSIL, KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN MASA DEPAN BANGSA INDONESIA
Tulisan ini merupakan kesimpulan dari discussion paper “Fossil Fuel Phase-Out: A Key Contribution to Halting and Reversing Biodiversity Loss” yang diterbitkan oleh WWF-International,
Download full report disini
IUCN faces historic vote on fossil fuels impacts on climate and biodiversity | WWF
Di abad ke-21, Indonesia dan dunia menghadapi dua krisis besar yang saling terkait: perubahan iklim dan kerugian keanekaragaman hayati. Namun sering kali akar penyebab dari kedua krisis ini diabaikan. Untuk itulah WWF International bermitra dengan FFNP Treaty Initiative mensponsori (mengusulkan) Motion 42 yang kemudian diadopsi oleh IUCN. Motion 42 menyatakan bahwa Motion 42: “Addressing the climate and biodiversity crises through fossil fuel supply-side measures and a just transition”
Motion 42 mendorong perlunya pergeseran fokus kebijakan bukan hanya kepada emisi atau permintaan energi, tetapi kepada sisi pasokan bahan bakar fosil, dari ekstraksi hingga pembakaran- sebagai kunci untuk memutus lingkaran antara krisis iklim dan kerugian alam.
Urgensi dokumen ini tidak bisa dilebih-lebihkan. Perubahan iklim bergerak semakin cepat dan dampaknya sudah mengganggu sistem kehidupan manusia dan alam. Pada saat yang sama, keanekaragaman hayati spesies, habitat, layanan alam yang menjadi tumpuan kehidupan manusia semakin tergerus. Laporan global menyebut bahwa perubahan iklim adalah salah satu pendorong langsung hilangnya keanekaragaman.Ketika kita melewatkan kesempatan untuk menangani penyebab utama -yaitu ketergantungan pada bahan bakar fosil kita memasuki lingkaran kehancuran ekologis yang tak terhenti. Dokumen ini menegaskan bahwa jika kita sungguh ingin membalikkan tren kerusakan alam, kita harus menuju ke akar masalah. Ekstraksi dan pembakaran batu bara, minyak dan gas tetap menjadi penyumbang terbesar dalam krisis iklim -dan karenanya dalam kehilangan keanekaragaman hayati. Dokumen ini mendukung gagasan penghapusan bertahap (phase-out) bahan bakar fosil sebagai langkah pusat strategi global: menghentikan pengembangan baru bahan bakar fosil, menghentikan produksi yang ada secara terkendali- bukan sebagai opsi tambahan, melainkan sebagai bagian inti dari strategi.
Bagaimana bahan bakar fosil merusak alam? Ada dua jalur besar. Pertama, jalur tidak langsung
melalui perubahan iklim: kenaikan suhu, naiknya muka laut, kebakaran, gangguan habitat, migrasi paksa spesies, runtuhnya jaring makanan -semuanya memperburuk kerusakan alam.
Kedua, jalur langsung (non-iklim): proses ekstraksi darat atau lepas pantai dari bahan bakar fosil menimbulkan degradasi lahan, pencemaran air dan udara, tumpahan minyak, degradasi habitat yang seringkali sulit dipulihkan. Dengan kata lain, bahan bakar fosil menghancurkan alam baik lewat dampak yang kita lihat secara global maupun lewat dampak lokal-spesifik yang sangat nyata.
Dokumen ini juga menunjukkan bahwa agenda aksi iklim dan perlindungan keanekaragaman hayati tidak boleh dilihat sebagai dua masalah terpisah. Keduanya harus disinergikan -dan titik persinggungannya adalah produksi bahan bakar fosil. Dengan bergesernya fokus ke supply-side, kebijakan energi rendah karbon dan konservasi alam bisa berjalan bersama, bukan saling terpisah. Bagi Indonesia, dokumen ini sangat relevan. Sebagai negara dengan keragaman hayati tertinggi dan terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau, kita memiliki tantangan unik: di satu sisi kita masih sangat bergantung pada batu bara dan energi fosil, di sisi lain kita punya potensi besar dalam solusi berbasis alam (nature-based solutions) dan perdagangan karbon. Jika kita terus menjalankan “business as usual”, kita tidak hanya mempertaruhkan target iklim nasional atau internasional, tetapi juga target keanekaragaman hayati serta ketahanan komunitas local - terutama di wilayah pesisir, kepulauan, dan masyarakat adat. Kerangka kebijakan dan advokasi kita harus menyesuaikan dengan cepat agar transisi energi dan perlindungan alam berjalan selaras.
Tentu, tantangan implementasi di Indonesia besar. Konteks local -ekonomi, sosial, budaya, adat- membuat transisi tidak bisa dilakukan secara seragam. Apalagi di saat target pertumbuhan ekonomi nasional masih tinggi. Ada trade-off sosial-ekonomi yang nyata: pekerja sektor fosil, komunitas lokal, keadilan antar-wilayah. Dokumen ini memang belum menguraikan semuanya secara terperinci dalam konteks negara berkembang, namun menyediakan landasan kuat. Maka tugas kita adalah menerjemahkan kerangka global ini ke konteks Indonesia: menetapkan target penghapusan batu bara lebih cepat, menyusun skenario pengurangan minyak & gas, memastikan transisi yang adil bagi komunitas lokal dan pekerja, serta mengintegrasikan keanekaragaman hayati ke dalam kebijakan energi.
Pesan utama dokumen ini adalah: masa depan alam (dan manusia) sangat tergantung pada pilihan kita sekarang. Kita bisa memilih untuk memperlakukan krisis iklim dan keanekaragaman hayati sebagai dua agenda terpisah, atau kita bisa bertindak pada akar masalah, memilih jalur transisi yang adil, cepat, dan tepat waktu dari bahan bakar fosil. Untuk Indonesia, pilihan itu bukan hanya persoalan lingkungan, tapi juga masa depan bangsa, warisan alam, dan kesejahteraan generasi mendatang. Kini saatnya mengubah pilihan menjadi aksi nyata.