PERUBAHAN IKLIM IKON BARU POLITIK LUAR NEGERI RI?
Indonesia akhir-akhir ini kelihatan sangat prihatin dengan perubahan iklim bumi yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) baik oleh industri, pertanian, dan deforestasi, serta pengaruhnya terhadap pengelolaan kelautan dan kehutanan Indonesia. Deforestasi di dunia ditengarai menyumbang 20% terhadap total GRK dunia. Perusakan lingkungan juga akibat tindakan manusia sendiri seperti illegal logging, illegal fishing, dan eksploitasi kekayaan alam, baik di darat maupun di laut, tanpa memperhatikan sustainabilitas atau keberlanjutannya bagi generasi sekarang dan akan datang.
Perubahan iklim dunia juga ditengarai telah menyebabkan pemanasan global dan naiknya permukaan laut. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh bagi Indonesia yang wilayahnya sebagian -besar terdiri atas laut dengan ribuan pulau-pulau besar dan kecil disertai garis pantai yang puluhan ribumil panjangnya dan terletak di tengah-tengah jalan raya samudra antara Samudra Pasifik dan Hindia.
Para ilmuwan memperhitungkan, jika permukaan laut naik 56 cm menjelang 2050, Indonesia akan kehilangan 30.120 km? wilayah daratnya, dan jika permukaan laut naikl.lmeter dari sekarang menjelang 2100, Indonesia akan kehilangan 90.260 km? wilayah daratnya. Lapangan terbang Soekarno-Hatta bisa terendam menjelang 2030 atau sebelumnya.
Menjelang 2015 temperatur Pulau Jawa saja akan naik 1°C dari sekarang dan ini akan dapat mengangkat tingkat banjir, badai, dan tanah longsor, serta kesulitan persediaan air bersih yang sekarang pun sudah kelihatan mengalami krisis. Hal ini akan berpengaruh terhadap pertanian dan penyebaran penyakit menular seperti diare dan malaria. Peningkatan permukaan laut juga akan memengaruhi ekosistem pantai, termasuk kerusakan terumbu karang, kehilangan habitat dan jenis-jenis kehidupan laut lainnya, serta produksi perikanan.
Secara global pemanasan bumi yang menyebabkan naiknya permukaan laut antara lain juga karena dengan mencairnya lapisan es di kutub utara Samudra Arcticdan Greenland), di kutub selatan/ Benua Antartika, di puncak Himalaya, Kilimanjaro (gunung tertinggi diAfrika),sertadi pegunungan Puncak Wijaya di Papua.
Jika temperatur bumi meningkat sampai 2°C menjelang2050,hal ini dapat menimbulkan kenaikan permukaan laut sampai 50 cm yang dapat membawa kerugian sampai USD28 triliun terhadap 136 kota/ pelabuhan terbesar di dunia.
Sebagai contoh, pada akhir musim panas September 1980 kutub utara ditutupi oleh 3,01 juta mil? es. Pada akhir musim panas 2008, kutub utara hanya ditutupi 1,81 juta mil? es atau sudah kehilangan kira-kira 40%. Demikian pula halnya dengan di Antartika.
Sementara itu, Greenland diperkirakan sudah kehilangan 273 biliun ton es setahun sejak 1957. Andaikata es di Antartika Barat dan Greenland mencair seluruhnya, diperkirakan akan dapat menaikkan permukaan laut antara 6-7 meter. Dan 85% dari es yang menutupi puncak Kilimanjaro pada 1912 sudah habis, dan diperkirakan akan habis seluruhnya dalam masa 20 sampai 30 tahun mendatang.
Hal yang sama juga dialami oleh lapisan es di Himalaya yang telah membawa pengaruh besar terhadap sungai-sungai yang berasal dari padanya seperti Sungai Mekong. Antartika diperkirakan telah kehilangan 189 biliun ton es setahun sejak 2007.
Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (HUKLA1982) mewajibkan negara-negara untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut (Pasal 192) dan bekerja sama, baik secara regional maupun global, dalam merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut (Pasal 197 dan 200). Negara-negara berkembang perlu diban tu melalui bantuan teknis dan cara-cara lain untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut (Pasal 202 dan 203).
Indonesia telah meratifikasi Konvensi HUKLA PBB 1982 dengan Undang-Undang No 17/1985. Karena itu Indonesia menjadi salah satu dari 160 negara di dunia yang telah terikat dan wajib melaksanakan konvensi. Perlu dicatat bahwa Konvensi HUKLA PBB 1982 telah mengakui kedaulatan wilayah Indonesia atas perairan Nusantara serta hak-hak Indonesia atas kekayaan alam dan kewenangan lain di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 200 mil lagi sampai ""ke seluruh lanjutan alamiah"" wilayah darat Indonesia di dasar laut sampai ke dasar samudra, jika masih ada di luar 200 mil ZEE.
Konvensi HUKLA PBB 1982 telah memperluas wilayah laut Indonesia sampai kira-kira 30 kali dari wilayah laut Indonesia pada waktu proklamasi serta memperluas hak-hak Indonesia atas kekayaan alam DiZEE dan landas kontuien dengan 30 kah lagi dari wilayah laut Indonesia pada waktu proklamasi .Tambahan pula Indonesia tetap dapat dan harus menjaga kepentingan-kepentingannya di samudra luas di luar ZEE dan landas kontinen khususnya di bidang perikanan, pelayaran, serta ikuts erta dalam prospek penambangan mineral di samudra luas, khususnya di Samudra Hindia dan Pasifik.
Pada 2009 memperlihatkan inisiatif Indonesia yang cukup menonjol di dunia di bidang pemeliharaan lingkungan-lingkungan - laut ini. Setelah diundangkannya UU No 27/2007 pada 17 Juli 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pan tai dan Pulau-Pulau Kecil.yang menekankan aspek sustainability dan keberhati-hatian, Indonesia mulai mencanangkan ide/inisiatif untuk mengembangkan kerja sama antara enam negara untuk melindungi terumbu karang di kawasan yang sangat penting dalam rangka pengelolaan lingkungan laut. Terumbu karang di enam negara tersebut yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste (Coral Triangle Countries) adalah pusat terumbu karang dunia yang sangat kaya.
Walaupun perairan di ""Coral Triangle"" tersebut hanyalah 2% dari permukaan samudra dunia, daerah tersebut mengandung 76% dari semua jenis karang di dunia yang mencakup lebih dari 600 spesies, kira-kira 300 spesies perikanan dan 50% dari spesies perikanan karang. Kawasan ini didiami oleh sekitar 120 juta manusia yang sangat terancamoleh pemanasan global, illegal and over fishing, pengembangan kawasan pantai yang tidak mi m ama bel .dan pencemaran laut, baik yang berasal dari darat maupun laut.
Se jalan dengan pentingnya melindungi terumbu karang tersebut, Indonesia juga menargetkan untuk menciptakan Marine Protected Areas (MPA) di wilayah laut Indonesia yang diharapkan pada 2010 akan mencakup 10 juta hektare MPA dan 20 juta hektare MPA menjelang 2020.Sungguh menggembirakan bahwa pada 2009 im Indonesia sudah mencapai dan mengumumkan 13.4 juta hektare MPA di seluruh Indonesia, yang terakhir di Laut Sawu, dan dengan demikian telah melampaui target 2010.
Tahun 2009 juga mencatat diadakannya Pertemuan Tingkat Puncak dari enam negara segitiga koral tersebut di Manado yang menghasilkan kesepakatan enam negara untuk melindungi terumbu karang di kawasan mereka dan bekerja sama melindungi terumbu karang di kawasan.
Kesepakatan ini didukung oleh sumbangan finansial dari negara-negara yang bersangkutan serta bantuan kerja sama dan keuangan dari beberapa partner, terutama Amerika Serikat, Australia, World Bank, Global Enviromental Fund (GEF), Asian Development Bank (ADB), serta berbagai organisasi nonpemerintah seperti Conservation International (CI), The Nature Conservancy (TNC), dan World Wildlife Fund (WWF).
Akhir-akhir ini juga telah tercapai kesepakatan untuk mendirikan sekretariat bersama CTI tersebut di Manado. Saya berharap agar Sekretariat CTI akan dapat bekerja dan berkembang secara efektif dan sekaligus menyebarkan pembangunan kelautan ke kawasan Indonesia bagian timur.
Tahun 2009 juga mencatat diadakannya World Ocean Conference (WOC) di Manado yang tema pokoknya adalah mengaitkan perubahaniklimduniadengan kelestarian samudra. Konferensi juga sudah merumuskan komitmen untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut dan -.jmuilru. serta berharap sidangke-15 United Nations Framework Conference on Climate Change (UNFCC) di Kopenhagen pada Desember 2009 ini juga memperhatikan dimensi kelautan dan perlindungan pantai dalam membahas perubahan iklim dunia.
Disayangkan bahwa dimensi kelautan kelihatannya kurang menonjol dalam UNFCC-15 dibandingkan dimensi kehutanan yang antara lain didorong oleh konsepsi reduction of emission from deforestation and degradation (REDD). Dalam hal ini, Presiden SBY telah menargetkan akan mengurangi pelepasan CO2 dengan 26% atas usaha sendiri menjelang 2020, dan dengan 41 % jika mendapat bantuan dari negara/pihak lain.
Sejalan dengan inisiatif di bidang kelautan di atas. Indonesia juga mulai kelihatan lebih sungguh-sungguh mencegah illegal fishing dan ikut bersama-sama menanggulangi masalah tersebut, baik secara regional maupun internasional. Indonesia misalnya mengembangkan kerja sama dalam kaitannya dengan Laut Arafura dan Laut Timor dengan Australia dan Timor Leste dalam konteks Arafura and Timor Sea Experts Forum (ATSEF) dan di Laut Sulawesi dan Laut Sulu dalam konteks Sulu Suluwesi Eco-Region (SSME).
Indonesia juga telah menjadi pihak dari beberapa pengaturan perikanan regional, khususnya dalam Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan dalam Commission for The Conservation of Southern Bluef in Tuna (CCSBT i. Pada Mei 2008 Indonesia juga sudah meratifikasi UN Fish Stock Agreement 1995. Namun disayangkan bahwa Indonesia masih belum meratifikasi Honolulu Convention tahun 2000 yang didirikan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
Sungguh disayangkan bahwa dewasa ini Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan WCPFC yang belum menjadi anggota dari organisasi regional tersebut.Indonesia diharapkan akan menjadi anggota dalam waktu dekat mengingat kepentingan lndonesiayangsangat besar dalam mengelola perikanan tuna di Samudra Pasifik bagian barat dan tengah tersebut.
Dengan demikian, kita mencatat besarnya perhatian Indonesia terhadap pengelolaan lingkungan laut pada 2009. Tema ini kelihatan telah menjadi ikon baru dalam kebijakan Indonesia. Meski demikian, tingkat kemampuan Indonesia untuk melindungi lingkungan laut dan memanfaatkan secara berkelanjutan kekayaan laut belum tumbuh secara maksimal.
Tingkat kemampuan memanfaatkan energi dari laut belum terlihat secara nyata. Padahal pemanasan global sebagian besar disebabkan oleh pemakaian fosil energi yang telah menyebabkan meningkatnya karbon/CO2 di udara.
Biofuel mungkin membantu untuk sementara, tetapi kini juga telah menimbulkan kritik, seolah-olah biofuel malah dapat mengalihkan fungsi dan kelestarian hutan. Pemikiran ke arah ""re-newable"" energi alam perlu lebih dipertimbangkan, baik matahari, angin, panas bumi, apalagi energi dari laut, yang semuanya banyak di Indonesia. Perhatian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ocean energy ini perlu lebih dikembangkan.
Akhirnya perlindungan lingkungan laut memerlukan peningkatan kemampuan penegakan, hukum dan kedaulatan Indonesia di laut. Indonesia harus punya visi kelautan untuk 50 tahun ke depan yang mampu memanfaatkan dan melindungi kepentingannya bukan saja di laut-laut yang menjadi wilayah dan hak berdaulat dan kewenangannya, tapi juga untuk menjaga kepentingannya di samudra luas.
Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan segala potensinya sehingga harus menjadi salah satu negara maritim yang besar di dunia yang mampu memanfaatkan ruang dan kekayaan laut dan samudra di mana pun secara bertanggung jawab dan sustainabel.
Inilah tantangan Indonesia di masa depan, paling tidak untuk 50 tahun kedua sejak Deklarasi Negara Kepulauan/Nusantara Indo-nesia,13Desemberl957.(*)